19: Mimpi Yang Nyata

1.9K 142 5
                                    


****


"Rara? Lala?" Tanya Antonio. Dia menghampiri dan memeluk keduanya secara bersamaan.

"Kami pulang," Dengan senyum mengembang, dua orang perempuan itu menjawab bersamaan.

"Sudah lama sekali kalian tidak mengunjungi istana. Kalian terlalu menikmati menjadi manusia, hm?" Antonio memberi senyum hangat pada dua perempuan yang didepannya ini. Terlihat jelas jika dia menyayangi mereka.

Kalian ingat mereka? Dua orang yang pernah membuat Julian hampir ketahuan bawa Julian adalah Vampir ketika pertama kali laki-laki masuk sekolah di sekolah Arsya bertahun-tahun lalu. Kemudian dengan perintah Julian, Frilon menghabisi dua orang itu. Namun mengapa mereka berdiri dengan gembiranya didepan Frilon?

Pandangan Frilon tak lepas dari mereka. Meneliti setiap lekukan wajah yang dia anggap tak berubah sama sekali dari 65 tahun yang lalu. Frilon masih ingat jelas saat dia membunuh mereka yang dia anggap hanya manusia biasa.

Rara –perempuan berambut panjang berwarna ungu pucat itu menatap Frilon dengan wajah dibuat-buat terkejut. Dia menghampiri Frilon dengan gaya paling membuat laki-laki paruh baya itu muak melihatnya.

"Wah, kita lihat siapa ini, La?" Rara berjongkok didepan Frilon. Dengan tangannya membelai rambut putih Frilon pelan, lalu tiba-tiba menjambak rambut yang tipis itu, Rara melanjutkan ucapannya. "Seorang yang dengan bodohnya membunuh dua orang yang menjadi teman seorang Putri Arsya yang berinkernasi menjadi manusia lemah."

Tepuk tangan yang berasal dari Lala terdengar. Dengan gaya modisnya, dia menghampiri Rara. "Ah, aku ingat. Dia yang dengan keji menebas kepala orang yang menyerupai. Dan dengan bodohnya dia tidak menyadari bahwa orang yang dia penggal bukanlah kita, melainkan dua orang yang kita sihir sedemekian rupa seperti kita." Setelah berkata, Lala tertawa riang mengingat kejadian itu.

Tubuh ringkih Frilon membeku. Pantas saja waktu itu dia tidak bisa mencari tau siapa mereka sebenarnya sebelum membuh Rara dan Lala. Ternyata...

"Kalian penyihir?" Frilon langsung bertanya tanpa takut.

Suara tawa meremehkan berasal dari Antonio yang sedari tadi hanya diam menyaksikan dengan tangan bersedekap didepan dadanya. Dia menghampiri tiga orang itu dan berdiri menjulang dengan angkuh dalam jubah kebesaran Kerajaan Agathaya.

"Dia adalah Rara Kinolastiagathaya dan adiknya Lala Kimolastiagathaya. Dua orang yang menjadi adikku. Mereka penyihir dengan kemampuan melebihi rata-rata. Bahkan aku yang menjadi rajapun kalah dengan mereka. Kenapa, Frilon? Kau terkejut?"

Frilon diam membeku. Dia tak menyangka masalahnya akan menjadi serumit ini. Disini dia merasa menjadi makhluk vampir paling bodoh. Seharusnya dia tetap setia pada pangerannya, Julian. Tetap mengabdikan diri pada Kerajaan Tirtana. Dan masih bisa hidup bersama kedua anaknya yang tumbuh dengan bahagia. Seharusnya, seharusnya dirinya tidak terhasut oleh omong kosong Antonio.

"Kenapa baru sekarang menyesalinya, Tuan Frilon? Semuanya sudah terlambat. Kedua anakmu membencimu karena kau menghilang sbertahun-tahun. Bahkan pangeran yang seharusnya sekarang menjadi rajapun sudah binasa ditangan kakakku. Arsya? Dia dibawah naungan Kerajaan Dunia Bawah. Dia bukanlah Arsya yang baik, lemah lembut, dan ceria lagi semenjak Julian mati."

Tangan Frilon terkepal. Dia menunduk saat jambakan tangan dirambutnya terlepas begitu saja. Menyisakan denyutan perih. "Kalian sungguh makhluk tak punya hati. Tak puaskan kau hanya membohongiku saja? Tak puaskah?!" Teriaknya dengan geram diakhir kalimat.

Seringai Antonio terlihat keji. Dia berjongkok didepan Frilon. "Aku tak akan pernah puas sampai aku benar-benar menghancurkan Tirtana, hingga kerajaan itu hanya tinggal nama dan hanya ada dalam sebuah sejarah. Ini belumlah seberapa dengan apa yang dilakukan Tirtana terhadap Agathaya dulu."

The Roses MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang