PROLOG

16.8K 1K 30
                                    


****


Julian Putra Tirtana. Dia murid baru di sekolahku. Satu kata untuk menggambarkannya, dia tampan. Seperti pangeran-pangeran dicerita dongeng anak-anak. Bahkan, saat aku pertama melihatnya, aku mengira dia adalah pangeran yang melarikan diri dari istana gara-gara ingin dijodohkan oleh putri kerajaan. Hahaha, aku terlalu berkhayal.

Dia dipuja, dikagumi, dan diperlakukan sangat istimewa di sekolah. Terkadang aku heran, kenapa bisa begitu? Ayahku, yang menjabat sebagai kepala sekolah di sekolahku bahkan terlihat sangat menghormatinya. Seperti si Julian adalah atasannya. Padahal dia hanya seorang murid baru yang mungkin diciptakan memiliki wajah diatas rata-rata oleh Tuhan. Aku bingung.

Diawal bulan maret kemarin, Julian masuk untuk pertama kalinya di sekolah, tepatnya masuk ke kelasku. Awalnya aku terpesona, sama dengan teman-teman perempuanku yang terpesona. Jujur, aku menganggumi sosok rupawannya. Namun berjalan satu minggu dia sekolah, aku merasa ada yang janggal. Aku merasa... dia berbeda. Penuh aura kuat dan dingin setiap aku melihatnya, atau bahkan ada didekatnya.

Sudah kesekian kalinya yang tidak bisa dihitung lagi, aku memergokinya menatapku dengan intens. Bukan GR, tapi tatapannya itu seperti memendam dan ingin mengungkapkan sesuatu yang dia tahan. Aku tidak mengerti.

Dua hari yang lalu, sewaktu aku sedang berjalan membawa makanan menuju meja tempat teman-temanku berkumpul di kantin, tidak sengaja kakiku tersandung kursi. Karena terkejut, aku berteriak dan memejamkan mata pasrah akan tubuhku yang ingin jatuh ke lantai. Namun yang ku terima adalah pekikan orang-orang kantin yang terkejut. Setelah beberapa detik tak merasakan apapun, aku membuka mata.

Mataku berkedip beberapa kali, mencoba membenarkan penglihatanku yang sepertinya salah. Tapi tidak. Ini sungguhan. Aku disanggah, bukan, tapi dipeluk oleh Julian agar tidak jatuh ke lantai.

Mulutku terbuka sedikit. Mataku melotot. Tanganku menyentuh dadaku, tepatnya jantung karena aku merasa detaknya sedang jedag-jedug tidak karuan. Oh Tuhan, kenapa aku ini? Kenapa aku merasa nyaman dipelukannya?

"Lain kali, berhati-hatilah. Aku tidak ingin kau terluka ataupun merasa sakit, mine."

Itu sungguh mengejutkanku. Bukan kata-katanya yang ambigu, tapi kata terakhir yang diucapkan yang sampai sekarang aku pikirkan. Mine. Maksudnya apa? apa kalian bisa membantuku untuk menjelaskan?

Sejak kejadian itu, aku berusaha bersikap wajar. Tertawa dan bercengkerama dengan teman-temanku. Tapi, yang kudapat justru ketakutan. Katanya-katanya terus terputar diotakku. Entah kenapa, aku justru menyukai nada keposesifannya? Aish, aku memang gila.

Aku memasuki kelas yang sepi. Pagi ini aku berangkat sekolah agak pagi karena belum mengerjakan tugas rumah. Karena apa? malas. Yah, kalian pasti merasakannya sebagai pelajar.

Masih dalam keadaan sedikit mengantuk karena jam setengah enam aku sudah berangkat tadi, aku duduk dibangku. Mengambil buku, pulpen dan kawan-kawan, mulai serius aku mengerjakannya.

Suara deheman membuat aku mendongak. Dan terlihatlah sosok Julian dengan seragam khas SMA 71, tas dipunggungnya, rambut hitam yang acak-acakan. Jadi, menambah kesan ketampanannya. "Oh, hai Julian. Eh?!" Aku berdiri. Jadi tadi aku menilai penampilan Julian?

Aku mengedarkan pandanganku. Tidak ada siapa-siapa di kelas ini. Hanya ada aku dan Julian. "Ya? Memangnya kau kira siapa?" tanyanya dengan suara datar dan dingin. Jadi menambah kesan seramnya bagiku.

"Ti-tidak. Tidak siapa-siapa." Jujur aku gugup. Berdua didalam kelas dengan sosok tampan namun penuh aura misterius membuatku bingung, gugup, dan takut.

Aku menatapnya. Meneliti wajahnya. Ah, aku baru sadar kalau wajahnya pucat. Bahkan sangat pucat, tapi bibirnya itu merah, bukan deh, tapi merah muda, seperti bibir perempuan. Alisnya tebal. Hidungnya mancung yang membuatku iri. Iris matanya hitam legam, jadi sorot matanya terkesan tajam dan menusuk. "Julian, apakah kau sakit? Kenapa wajahmu sangat pucat?" aku bertanya. Jujur aku khawatir, walau selama seminggu dia sekolah disini dengan wajah yang sedikit pucat, tapi tidak sepucat ini.

"Tidak."

"Lalu, kau kenapa? Ayo, aku bawa kau ke UKS saja. Kau harus istirahat." Aku memegang telapak tangannya. Ya, ampun. Tangannya dingin sekali. "Julian. Sepertinya kau benar-benar sakit. Nih, pakai jaketku agar kau lebih hangat." Aku melepas jaketku yang berwarna hitam. Aku memang mengenakan jaket karena cuaca yang dingin dipagi hari ini. Tanganku menyodorkan jaketku pada Julian.

Bukannya mengambil jaketku, Julian malah menarik lenganku dan memeluk tubuhku dengan erat. "Tidak. Aku hanya butuh kehangatan darimu. Butuh pelukanmu untuk aku bertahan hidup disampingmu. Arsya, you're mine."

Dan kalian tau apa kelanjutannya? Jangan tanyakan padaku. Karena aku juga tidak tau apa-apa setelah itu.

*****

Haiii:)
jumpa lagi denganku:*

Sengaja aku bikin prolog dengan POV Arsya, dan setelah ini aku bakal updute chap 1. Siapa diantara kalian yang penasaraaaannn? *Senyamsenyumgakjelas.

Trimakasih sangat untuk kalian yang mau nunggu crita ini:) Kalau kalian kecewa dengan crita versi terbarunya, silahkan komen agar aku tau keluh kesah kalian terhadap crita ini. Siapa tau aku bisa memperbaikinya. (Omongan gue baku banget yak? Wkwkwk)

Yuk vote dan komentar pendapat kalian sama crita abal ini.

Salam,
Inda:*

The Roses MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang