*****Pandangannya menatap ke depan dengan sendu. Ingatannya terulang kembali mengingat masa lalu. Sejujurnya bukan ini yang Arsya mau. Dia ingin melupakan, namun mengapa takdir seakan tak mengizinkan?
Langkahnya berhenti. Tangannya mengusap pipinya yang terasa basah, lalu mengerjap untuk menghalau air mata yang akan jatuh kembali. Dia lelah, sungguh. Tak adakah yang dapat memberitahukan jika ini hanyalah mimpi?
"Nona, mengapa berhenti?"
Pandangan Arsya langsung menatap wajah Ano. Memandanginya dengan pandangan yang sulit diartikan. Arsya menggeleng dengan wajah datarnya. Berusaha untuk menghalau segala pemikiran mustahilnya. "Apakah pemukiman manusia masih sangat jauh?" Ujarnya berusaha untuk mencari topik pembiacaraan yang lain.
Kaki Arsya yang terbalutkan sepatu kulit menginjak dedaunan kering, menimbulkan gemerisik bercampur suara hewan kecil seperti jangkrik di dalam hutan ini. Angin malam yang dingin membuatnya mengeratkan jaket berbulu didaerah kerahnya.
"Tidak, nona." Jawab Ano singkat. Dia kembali melangkahkan kakinya yang tadi sempat terhenti karena merasa Arsya berhenti mengikuti dibelakangnya. "Apakah kau sudah lapar, nona?"
"Jangan panggil aku nona, cukup Arsya." Jelas Arsya. Dia melangkah pelan mengikuti Ano didepannya. "Tidak, hanya saja aku menginginkannya," Sambungnya.
Ano tak menjawab. Dia sibuk menebas rumput-rumput liar yang tumbuh menghalangi jalan setapak ini, menyebabkan siapapun melewatinya akan sulit.
Bahkan, cara dia memegang sebuah pedang saja benar-benar sama. Batin Arsya terucap.
"Apakah benar kau bukan Julian?" Dengan lirih, Arsya melontarkan pertanyaan itu tanpa dicegah. Walaupun lirih, Arsya yakin jika Ano mendengarnya. Terbukti dari laki-laki itu yang menghentikan langkahnya secara tiba-tiba.
Tubuh Ano membeku. Tangannya tergantung diudara memegang pedangnya untuk menebas rumput-rumput liar itu. "Maaf, nona?" Tanyanya tanpa membalikkan tubuhnya.
"Apakah benar kau bukan Julian? Julian Putra Tirtana? Mate-ku?" Tanyanya ulang. Dia melangkah mendekat ke arah Ano. Dan tiba-tiba, entah kenapa, Arsya memeluk tubuh Ano dari belakang dengan eratnya dan suara isak tangisnya terdengar. "Katakanlah bahwa kau Julian, orang yang aku rindukan selama 65 tahun ini,"
Pedang yang dipegang oleh Ano terjatuh begitu saja. Raut wajahnya tak terbaca, namun tatapannya itu menatap kedepan dengan sendu. Tangan kanannya terangkat, berniat untuk menyentuh kedua tangan Arsya yang memeluknya erat dari belakang.
"Nona, maaf sebelumnya, tapi saya bukanlah Julian yang anda maksudkan. Saya Ano Hasyanitira. Prajurit bawahan yang hanyalah seorang penyihir lemah di kerajaan ini." Jelas Ano sembari melepaskan tangan Arsya yang ada diperutnya. Lalu berbalik menatap Arsya yang sembab dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Tangan Ano terangkat, mengusap air mata di pipi Arsya. "Saya hanyalah penyihir lemah yang bernasib beruntung untuk menjadi prajurit di Kerajaan Palangyta. Mungkin karena Ratu Aneta yang terlalu kasihan pada saya yang hidupnya sudah tak memiliki siapa-siapa lagi." Tambah Ano. Tangannya menyentuh pundak Arsya lalu mengusapnya, berniat untuk menenangkan Arsya.
Arsya terdiam. Benar yang dikatakan Ano. Laki-laki itu adalah seorang penyihir. Bukanlah seorang vampir. Dan satu lagi, jika Ano itu Julian, seharusnya Arsya bisa menghirup aroma pethrichor dari Ano.
Arsya menghadap ke kanan. Menghapus jejak air mata dengan kasar. Lalu kembali menghadap Ano dengan menerbitkan senyum kecil. "Kau benar. Mungkin aku yang salah, menganggap orang lain bahwa dia adalah orang yang aku rindukan. Aku minta maaf, Ano. Mungkin rasa rinduku membuat diriku berpikir entah kemana. Kau benar, kau hanyalah seorang penyihir, sedangkan dia adalah seorang vampir." Ujarnya lirih dikalimat terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Mine
FantastikArsya Yunita Girlion. Itu namaku. Perempuan yang masih duduk dibangku SMA kelas XI. Umurku belum mencapai 17 tahun. Dan semua temanku berkata, aku adalah perempuan cantik dan pecicilan di sekolah. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. ...