*****
Pagi yang menjengkelkan menurut Arsya. Lagi-lagi Ayahnya meninggalkannya ke sekolah. Dan lagi-lagi dirinya harus naik angkutan umum yang menyesakkan. Bukan itu saja, ibunya pergi entah kemana sepagi ini. Kata pembantu yang ada dirumahnya, ibunya itu sudah berpakaian sangat rapi saat subuh.Dengan wajah kesal, dia memasukkan roti gandum ke mulutnya. Mengunyahnya kesal lalu menelannya kasar. Diminum susu rasa stroberi kesukaannya dengan tidak sabaran.
Setelah berpamitan pada pembantu dirumahnya dengan berteriak, dia menutup pintu rumahnya dengan kencang. Ingat, dia masih kesal dengan perlakuan kedua orangtuanya.
Dia memilih untuk naik taksi. Karena sungguh, Arsya benar-benar kapok sudah naik angkot yang sesak kemarin. Berhubung ini masih setengah tujuh pagi dan bel sekolah setengah jam lagi, Arsya menunggu taksi yang lewat dengan santai.
Sampai di sekolah, dia memasuki kelasnya yang sudah penuh dengan teman-temannya yang bercanda ria. Arsya membalas sapaan temannya yang menyapa dirinya, entah perempuan atau laki-laki. Arsya memang bukan pribadi yang sombong, dia memegang teguh pendiriannya. Kalau gak mau disombongin, jangan sombongin orang lain.
Saat dia meletakkan tasnya di meja, tak sengaja pandangannya menatap meja dibelakang tempatnya duduk, tempat duduk Julian. Sudah ada tas diatas meja itu, namun tidak ada orang yang menempati kursi itu.
"Wita, nyontek PR fisika, dong. Gue belom ngerjain." Teriak Arsya pada temannya yang ada didepannya, sedang memainkan ponsel sembari menunduk.
"Ah, lu kebiasaan, deh. Pinter tapi jarang pake banget buat ngerjain PR." Dengan wajah dibuat sangar, Wita menyerahkan buku tulis bersampul putih plastik.
Arsya membalasnya dengan cengiran tanpa dosa, menjadikan wajahnya lucu seperti anak kecil. "Lo kayak gak tau gue aja. Males banget buat ngerjain PR di rumah."
Lima menit sudah dia mengerjakan, tanpa disadari oleh Arsya, seseorang berdiri disamping mejanya dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celana seragam. Orang itu berdehem sedikit kencang dan membuat Arsya mendongak.
"Julian?!" Ucapnya dengan nada sedikit terkejut. Dia mendapati Julian, sosok laki-laki yang terlihat tampak baik-baik saja setelah kejadian kemarin.
"Mengerjakan tugas rumah, hm?" Julian membungkukkan tubuhnya, mengarahkan bibirnya ke telinga Arsya lalu berbisik pelan, "Haruskah calon ratuku menjadi malas mengerjakan kewajibannya sebagai pelajar?"
Setelah mengucapkan itu, Julian berjalan ketempat duduknya. Bibirnya menyeringai. Mengerjai perempuan yang dia cintai itu tidak masalah, kan? Lagi pula ini adalah bagian dari rencana untuk mendekati Arsya.
Arsya hanya terdiam. Meresapi setiap kata yang diucapkan Julian tadi. Ada kata-kata yang terdengar aneh baginya. Calon ratuku? Apa maksudnya? Batinnya bertanya-tanya.
Julian mendengar apa kata hati Arsya. Biarkan Arsya bertanya-tanya, suatu saat jika memang waktunya tepat, dia akan menjelaskannya. Dia hanya sedikit 'bermain' dengan drama yang dia buat ini.
Bel berbunyi, tanda mulai pelajaran pertama dimulai. Arsya menggeleng untuk mengusir pertanyaan-pertanyaan aneh dikepalanya tentang ucapan Julian. Dia tidak mau memikirkan terlalu jauh sampai-sampai otaknya mau pecah. Arsya menganggap jika ucapan Julian itu hanya candaan. Ya, hanya candaan.
*****
"Tumben dua bersaudara itu gak masuk. Ada apakah gerangan?"
Arsya, Wita, Angel, dan Karen sedang berkumpul di tempat duduk Arsya. Membentuk sebuah lingkaran yang ditengahnya banyak makanan ringan dan beberapa minuman dingin. Saat ini, mereka memasuki palajarn kedua yang gurunya berhalangan hadir. Sebenarnya guru piket sudah memberikan tugas, namun tidak ada yang mengerjakannya. Kecuali Lilis yang notabene-nya murid paling rajin dan pintar setelah Arsya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Mine
FantasíaArsya Yunita Girlion. Itu namaku. Perempuan yang masih duduk dibangku SMA kelas XI. Umurku belum mencapai 17 tahun. Dan semua temanku berkata, aku adalah perempuan cantik dan pecicilan di sekolah. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. ...