****
Arsya melihatnya. Penobatan Aaron menjadi Raja Tirtana. Dari sebuah kaca milik Julifer yang dapat menembus waktu, Arsya berdiri didepan kaca itu dengan tatapan dinginnya. Melihat bagaimana sumpah Aaron untuk berlaku semanamestinya sebagai raja.Bukan ini yang ingin dilihatnya. Seharusnya, yang duduk disinggasana raja itu adalah Julian, bukan Aaron. Seharusnya, yang memakai mahkota dan jubah Kerajaan Tirtana itu adalah Julian, bukan Aaron.
Sebuah tepukan dipundaknya menyadarkan lamunannya dari kaca itu. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Julifer bersama Hyta. "Apa yang kau rasa melihat Aaron yang sudah menjadi raja?" Tanya Julifer.
"Biasa saja," Jawab Arsya datar dan menatap sinis Julifer. "Aku tak gembira atas pengangkatan Aaron menjadi raja." Tambahnya. Dia melangkah pergi meninggalkan ruangan kecil nan sedikit redup ini. Namun tangannya ditahan oleh Hyta.
"Aku tau, apa yang kau pikirkan." Ujar Hyta. Dia menatap sendu Arsya.
Arsya melepas pelan cekalan tangan Hyta lalu mengambil nafas panjang. "Tak ada yang aku pikirkan. Karena aku sadar, ini memang sudah takdirnya."
Arsya melesat cepat menuju kamar keterdiamannya. Dia duduk di jendela besar dan menatap awan hitam kelam tanpa ada yang menghias. Angin malam menerpa kulitnya yang pucat.
Air matanya menetes ketika melihat kejadian tadi. Tentang pengangkatan Aaron menjadi raja. Pikirannya selalu berkata, seharusnya bukan Aaron yang menjadi raja, melainkan Julian.
Dadanya bergemuruh, dia menekan kuat dadanya yang sesak. Isak tangisnya terdengar. Dia menenggelamkan kepalanya pada lekukan kakinya.
Dia rindu Julian yang selalu ada untuknya. Dia rindu Julian yang selalu disampingnya. Pada intinya, dia merindukan Julian sekarang.
Arsya menyerah dengan keterpurukannya. Hatinya lemah pada kenyataan yang menyakitinya. Jika boleh memilih, seharusnya dia tak harus berinkernasi jika pada akhirnya dia menderita begini.
Aku menyerah. Luka ini sungguh tak ingin sembuh. Aku rapuh, asal kau tahu. Bisakah untuk terulang lagi waktu? Aku ingin hidup bahagia, mengukir masa yang tak terlupa dengannya. Sampai pada akhirnya, kami binasa bersama.
Nyatanya, perasaan Arsya untuk Julian tetaplah sama. Dan harapan Arsya adalah Julian tak benar-benar pergi dari hidupnya.
*****
Arsya melangkahkan kakinya hendak menemui Julifer di ruang utama. Tangannya mendorong pintu besar berwarna emas pucat itu dan melangkah masuk sampai dirinya berdiri dihadapan Julifer. Setelah memberi hormat, dia menatap Julifer dengan serius.
"Aku ingin pergi ke Tirtana." Ujarnya langsung.
Julifer mengernyitkan dahinya. "Untuk apa?" Tanyanya sedikit curiga.
Arsya tersenyum sinis, memperlihatkan seringainya yang misterius. "Ada sesuatu yang harus aku selesaikan disana." Ujarnya.
Tatapan tajam Julifer menatap Arsya dengan penuh selidik. "Aku tak percaya," Ungkapnya. "Aku tau kau pasti tidak akan pergi ke Tirtana. Setahuku, kau tak pernah ingin lagi menginjakkan kaki ke kerajaan itu." Tambah Julifer.
Arsya terdiam, dia tak menjawab apa-apa. Karena apa yang diucapkan Julifer benar adanya. Arsya tak ingin ke Tirtana, melainkan ke Kerajaan Langit untuk memenuhi undangan Rhea dalam gulungan surat itu.
Sial! Bagaimana ini? Aku memang tak bisa membohongi Julifer, Ungkapnya dalam hati.
"Kau ingin pergi kemana, Arsya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Mine
FantasyArsya Yunita Girlion. Itu namaku. Perempuan yang masih duduk dibangku SMA kelas XI. Umurku belum mencapai 17 tahun. Dan semua temanku berkata, aku adalah perempuan cantik dan pecicilan di sekolah. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. ...