*****
Arsya mengerjapkan matanya, berusaha menerima terpaan sinar matahari yang mengenai wajahnya. Lalu berusaha menyenderkan punggungnya pada kepala ranjang. Dahinya mengernyit, berusaha mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelum 'tertidur'.Tangannya langsung memegang dadanya yang bergemuruh ketika mengingatnya. Laki-laki berjubah merah yang rupawan namun sepertinya jahat ketika Arsya mengingat senyum sinis dan tatapan puas itu, sebelum dirinya benar-benar tak mengingat apapun.
Arsya terdiam sejenak, siapa semua orang yang ada dimimpiku? Tanyanya dalam hati. Arsya mengingat semua yang terjadi dialam mimpinya itu. Semuanya terasa nyata, dan Arsya merasa semuanya pernah terjadi dihidupnya. Tapi Arsya tak yakin, karena Arsya hanya perempuan biasa yang akhir-akhir ini hidupnya penuh keanehan.
Pintu yang berdecit, terbuka dan menampilkan ibunya yang membawa nampan, berisi dua potong roti berselai kacang dan segelas susu stroberi. "Syukurlah kau bangun. Ibu benar-benar khawatir dengan demammu semalam. Temanmu, semalam mengantarkan dirimu kesini. Katanya kau baru saja diperiksa dari rumah sakit. Ayahmu juga sudah menceritakannya pada ibu." Tulipia tersenyum menenangkan.
Arsya menatap ibunya dengan wajah polosnya. Bibirnya yang pucat dan wajahnya yang kusam, dia bertanya, "Temanku? Siapa?"
"Dia memperkenalkan namanya Aura. Kata ayah dia anak pemilik sekolah."
Arsya mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Dia terdiam sejenak, berusaha menenangkan pikiran dan perasaannya dengan semua yang terjadi. Dia bertekad untuk mengikuti semuanya, mencoba mencari jawabannya dan mencoba menerima segala resikonya. Seperti kata orang yang ada dialam mimpinya, coba ikuti semua alurnya. Yakin dan percaya, suatu saat kau akan mengerti dengan sendirinya.
Arsya melirik jam didinding, jam enam lewat lima belas menit. Masih ada waktu empat puluh lima menit sebelum bel berbunyi. Dia beranjak dari kasur.
"Kau ingin kemana?" Tanya Tulipia melihat anaknya beranjak meninggalkan tempat tidurnya.
Arsya berusaha tersenyum lemah menatap ibunya. "Mandi, hari ini Arsya ingin sekolah."
"Hari ini liburlah dulu. Kamu masih pucat, Arsya. Ibu gak mau kamu kenapa-napa." Ujar Tulipia dengan wajahnya yang sedikit memohon. Melihat wajah pucat dan tidak semangat anaknya itu membuat dirinya tak tega.
"Tidak, bu. Arsya tidak pa-pa." Arsya menggeleng pelan. Lalu berlalu menuju kamar mandi setelah mengambil handuk.
Tulipia menghela nafasnya jengkel. Dia lupa jika putrinya itu keras kepala, sama seperti ayahnya. Dia keluar dari kamar anaknya, namun ketika dia ingin membuka pintu, pandangannya tak sengaja melihat kalender yang tertempel didinding sebelah pintu.
Lingkaran merah yang melingkar di angka 25 di bulan Maret hari minggu dengan kalimat 'my sweet seven teen' itu membuat Tulipia menepuk keningnya keras lalu mengaduh kesakitan.
Dia lupa jika besok ulangtahun ke 17 Arsya. Dengan senyum mengembang, dia berjalan dengan semangatnya menuju kamarnya yang tepat didepan kamar Arsya.
*****
Koridor sekolahnya ramai. Penuh dengan siswa dan siswi yang memakai seragam khas SMA 71. Arsya memegang pelipisnya dan memijatnya pelan, dia masih sedikit terasa pusing. Wajahnya juga terlihat masih sedikit pucat.
Banyak teman-temannya yang menyapa dirinya. Arsya hanya melempar senyum tipis untuk membalasnya.
Banyak yang bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan Arsya akhir-akhir ini? Sifat ceria dan petakilannya hilang dan terganti dengan wajah yang selalu terlihat lesu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Mine
ФэнтезиArsya Yunita Girlion. Itu namaku. Perempuan yang masih duduk dibangku SMA kelas XI. Umurku belum mencapai 17 tahun. Dan semua temanku berkata, aku adalah perempuan cantik dan pecicilan di sekolah. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. ...