Mission 17 - Suara

5.6K 673 17
                                    

Zen masih terus setia menemani Sasi dari pagi hingga malam. Ia tak pernah meninggalkan Sasi dari pengawasannya sedikit pun. Sudah hampir dua minggu lamanya ia dan Sasi membolos sekolah. Untunglah kepala sekolah sekaligus ketua yayasan, pak Aldi, yaitu ayahnya Cindy mengetahui kondisi Sasi dan Zen dari Mia serta Aldo, jadi ia bisa memakluminya dan juga memberi izin, bahkan memberikan keringanan untuk mereka.

Zen menatap Sasi yang berbaring dikasur menatap langit-langit. Sejak ia sadar, ia tak mengeluarkan suara sedikitpun, itu membuat Zen bertambah cemas. Belum lagi, walaupun ia sudah bangun, ia terlihat seperti orang mati. Memang raganya hidup, tapi matanya kosong, itu seperti jiwanya tak berada didalam tubuhnya.

"Sasi..'' Zen duduk dipinggir kasur dan memanggil namanya berkali-kali dengan lembut.

Sasi mungkin mendengarnya, tapi ia sama sekali tak menoleh sedikitpun, bahkan melirikpun tidak.

Perlahan Zen menggenggam tangan Sasi dan terus menyebut namanya.

Ia benar-benar takut kalau Sasi tak bisa kembali. Ia sangat takut kalau Sasi kehilangan jiwanya dan menjadi gila, dan yang paling ia takutkan jika Sasi melupakannya.

Ia tak ingin semua itu terjadi, karena itu... ia tak akan menyerah. Ia akan mencoba segala cara untuk melindungi Sasi, gadis yang saat ini tanpa sadar menjadi sangat berharga untuknya, dibandingkan dengan nyawanya sendiri.

***

"To..tolong... tolong...aku.. jangan..bunuh..

Zen terbangun mendengar isak tangis seseorang. Ia kaget saat mendapati Sasi terisak dalam tidurnya.

"Sasi.. Sasi.. bangun..'' Zen mengguncang pelan bahu Sasi.

"Jangan..bunuh..aku.. hiks..to..long..''

"Sasi! Kumohon bangunlah!'' Zen terus mengguncang tubuhnya sambil terus memanggilnya.

"Sasi!'' Teriak Zen akhirnya, dan langsung membuat Sasi membuka matanya dan terduduk dikasur.

Tubuhnya gemetaran, nafasnya tersengal-sengal dan air matanya terus mengalir. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya ketakutan setengah mati.

"Sasi..'' panggil Zen lembut, membuat Sasi menatapnya lewat sela-sela jarinya.

"Ze..zen? Aku..mendengar suaramu..'' katanya lalu memeluk Zen yang berada dihadapannya.

"Aku kira..aku akan mati.. hiks.. syukurlah itu cuma mimpi..'' ia semakin mengerutkan pelukannya dengan ketakutan. "Aku..nggak mau mati.. Zen..''

Zen balas memeluknya dengan lega. Ia sangat lega kalau Sasi baik-baik saja. "Aku akan melindungimu, kamu nggak akan mati.''

"Aku mendengar suaramu saat tertidur... kau terus memanggilku.''

Zen mengangguk "Hmm, aku terus memanggilmu.''

"Dia mengejarku Zen, aku yakin ia akan membunuhku.'' Sasi melepaskan pelukannya.

Zen tersenyum menatapnya lalu mengelus kepalanya, ''Tenang saja, sudah kubilang aku akan melindungimu.''

Sasi mengangguk.

"Sudahlah, lebih baik kamu tidur lagi. Ini masih tengah malam. Aku tak akan kemana-mana.'' Zen kembali duduk di pinggir kasur sambil menggenggam tangannya.

***

Tok..tok..

Merry membuka matanya terganggu dengan  suara ketukan pintu kamarnya. "Hmmh, siapa? Masuk aja.'' Teriaknya lalu melihat ke jam bekernya.

07.13

"EHHHH! JAM 7 LEWAT! aku telat!'' Ia melotot kaget tapi kemudian kembali menarik selimutnya. "Yaudah, bolos aja sekalian. Jarang-jarang bisa bolos.'' Katanya berbicara sendiri tak menyadari seseorang telah berdiri diambang pintu kamarnya.

Guardian KidsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang