Jika Takdir - 2

4.1K 117 0
                                    

*

Rahmat berjalan santai dengan ransel tipis di punggungnya dan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana panjang hitamnya. Di kantongnya ada beberapa lembar uang. Ia mengeluarkannya dari kantong sebelah kanan dan menghitungnya. Kemudian memasukkannya kembali ke dalam kantongnya sebagian, dan beberapa lembar uang di tangannya ia genggam. Ia mempercepat langkahnya menuju warung sederhana samping gerbang kampusnya.

~
Cahya baru saja hendak keluar dari gerbang masjid yang terletak tak jauh dari gerbang kampusnya ketika hampir saja bertabrakan dengan seseorang berpakaian sama dengannya, kemeja putih dan celana hitam.

"Maaf maaf..." Cahya hanya bisa mengatakan itu sambil menunduk tanpa memperhatikan wajah orang yang hampir ditabraknya.

Salah orang itu juga sih, tau-tau muncul pas banget gue melangkah, sungut Cahya dalam hati.

Sedangkan orang yang hampir ditabrak Cahya hanya melirik sekilas sambil tetap memegang tali ransel hitam tipisnya dengan satu tangan, lalu acuh berjalan menuju masjid bagian ikhwan.
Ia duduk di terasnya lalu membuka sepatunya beserta kaos kaki yg melekat, setelah itu membawa semuanya untuk diletakkan di rak sepatu yang tersedia.

"Rahmat!"

Orang itu menoleh ke belakang. Dilihatnya orang yang memanggil namanya tadi. Tapi dia hampir tidak mengenalinya.

"Ini gue, Cahyoko!" Cahyoko meletakkan tangannya ke pundak Rahmat. Mencoba memastikan bahwa dirinya dikenali orang tersebut.

"Weh, Joko! Apa kabar nih? Tambah ganteng aja lu hahahaha" kelakar Rahmat.

"Baik bro, lu juga apa kabar? Ngampus disini juga lu? Bareng dong kita."

Rahmat memperhatikan baju yang dikenakan Cahyoko, yang akrab ia panggil Joko itu. Tapi ia tidak mengenakan kemeja putih dan celana hitam seperti dirinya.

"Lu jurusan apa bro? Gue teknik mesin." Cahyoko cengar cengir nggak jelas.

"Kok lu nggak pake kemeja putih sama celana hitam? Serius lu kuliah disini?"

"Lah, serius Mat!" seru Cahyoko lalu baru menyadari sesuatu.

"Oiya, gue sekarang semester 3 Mat! Gue udah masuk dari tahun lalu."

Rahmat mengangguk paham. Dia dan Cahyoko dulu teman sekelas sewaktu SMA di Karawang. Ketika sama-sama lulus SMA, kemungkinan si Cahyoko ini langsung daftar kuliah, sedangkan dia sendiri karena tidak punya biaya untuk kuliah, memilih untuk melamar kerja. Beruntung saat ini ia kuliah karena bertemu seorang nenek yang ia tolong saat ditodong preman-preman kampung. Sebagai balas jasa, nenek itu yang telah ditinggalkan anak-anak kandungnya itu, mengangkat Rahmat sebagai anaknya. Ia memenuhi segala kebutuhan Rahmat mulai dari makan, tempat tinggal, sampai membiayai kuliahnya. Sejak itu Rahmat tinggal di Ciputat, di rumah sang nenek jutawan.

"Berarti rumah lu di sekitar sini bro?" Rahmat bertanya sambil menepuk pundak Cahyoko.

"Gue ngekos Mat, di gang belakang kampus. Rumah gue, ralat, rumah ortu gue masih di Karawang. Tepatnya, masih satu kampung sama rumah ortu lu."

"Iya gue tau rumah lu disana mah. Ya udah, gue sholat dulu ya? Udah sholat belum lu?"

"Udah dari tadi gue. Makanya tadi gue tidur-tiduran disitu tuh, abis adem banget ini masjid. Di dalem adem, di luar juga adem gini. Godaan banget ya buat yang lagi dengerin khotib khutbah sholat Jum'at disini, pules bro! hahahahaha" Cahyoko tertawa geli dengan imajinasinya sendiri.

"Ck, ada-ada aja lu. Duluan ya Joko!" Rahmat mengangkat tangan kanannya bermaksud melambai pada Cahyoko.

Sedangkan si Cahyoko cuma cengar cengir.

Jika Takdir Telah DitentukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang