Jika Takdir - 26

1.9K 28 6
                                    

"Jadi, saya mesti ulang mata kuliah kewirausahaan dasar?"

Dosen bertubuh kurus itu mengangguk dengan ekspresi angkuh, seperti biasa. Bisa dibilang, wajahnya itu, bikin ngajak ribut, kalau kata mahasiswa yang nilainya bermasalah dengan dosen tersebut.

"Saya boleh pilih dosennya? Eh, ehm maksud saya, saya boleh pilih kelasnya sendiri kan? Bukan ibu yang tentukan?"

"Silahkan," jawab dosen itu lagi.
Kemudian bangkit dari duduknya sambil membereskan tumpukan buku yang sebenarnya tidak perlu dibereskan. Gesture sok sibuk untuk mengusir Arsya dari hadapan wanita itu.

"Baik. Saya permisi, Bu. Assalamu'alaikum," Arsya bergegas balik badan menuju pintu keluar, tanpa merasa perlu bersalaman atau sekedar senyum kepada dosen di hadapannya barusan.

Wajah kusut tampak di wajahnya. Kesal, masa' nilai kewirausahaan dasar-nya dikasih D sama itu dosen? Bahkan nggak bisa ditawar lagi! Kesalahannya waktu itu hanya karena pernah sekali tidak mengumpulkan tugas, dan saat tugas akhir, yaitu praktek wirausaha di sekitar kampus, dia diberi nilai C oleh dosen tadi. Padahal dagangannya laku, dan ide usaha untuk kelompok wirausahanya waktu itu dari dia sendiri. Teman-teman sekelompoknya malah dapat B+, bahkan ada yang dapat A. Padahal mereka kurang ada usaha buat dapat ide jualan atau sekedar bikin proposal awal untuk wirausaha.

Ini kalau boleh su'udzon, jangan-jangan si dosen ada dendam tersendiri pada Arsya. Atau ternyata suka sama Arsya makanya Arsya nggak dilulusin.

Arsya menggeleng kepalanya. Merasa konyol dengan alasan di otaknya itu tentang mengapa dia dapat nilai D dari si dosen.

***

Dengan beberapa buku di tangannya, Cahya keluar dari perpustakaan dengan wajah bersemburat merah. Dua 'kakak-beradik' itu bikin dia malu. Si Andra konyol, dan si Rahmat kepo-an maksimal.

"Udah dapet?"

Mia lewat tepat ketika Cahya masih mematung di depan pintu perpus.

"Hm? Buku? Oh, udah. Iya ini udah dapet semua," jawab Cahya gelagapan.

Mia mengangguk.

"Kantin, yuk?"

Cahya turut mengangguk. Ia menggamit lengan kiri Mia dengan tangan kanannya, karena tangan kirinya dipenuhi buku.

**

"Gegara elu, bang!" sungut Andra, masih sebal dengan 'mulut ember' Rahmat.

"Lah, abis lu nggak mau cerita. Terus lu pake ngigau nyebut-nyebut nama dia. Ya gue ambil kesimpulan aja, kalau lu suka sama... "

"Aaaaa... Ssssttt.." Andra membekap mulut Rahmat. Suaranya itu nggak bisa ya dikontrol, udah tau perpus sepi begini, suara maksimal.

"Ya udah. Gue ceritain deh. Sini, duduk," Andra menepuk bangku sebelah kirinya.

"Gitu dong dari kemaren!" Rahmat antusias menyambutnya. Sedangkan Andra masih memasang tampang manyun.

**

"Masa' sih?" Mia terperangah. Setelah Cahya menceritakan perihal tadi di perpus.

Rada jealous juga sih Mia. Ya kan, dia suka sama Andra, gitu. Eh ralat, ngefans. (Apa bedanya -_-)

Cahya, yang seingatnya, tau kalau Mia masih ngefans sama Andra dengan senyum kemanisannya itu, melanjutkan kata-katanya.

"Gue beneran biasa aja ke Andra. Ke Rahmat juga sama."

Padahal tadi Cahya sampai malu gitu, waktu Rahmat bilang,
"Andra suka tuh, sama kamu, Ya."

Kadang mulut sama perasaan nggak sinkron.

Jika Takdir Telah DitentukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang