*
Cahya hampir saja tertawa lebar-lebar jika dia tidak segera menutup mukanya dengan kertas. Mia sudah menduga Cahya akan menertawai kebodohan, entah yang bodoh dirinya atau si cowok bersenyum kemanisan itu.Mereka sedang berada di ruangan gedung V yang kemarin, mendengarkan penjelasan mengenai sistem perkuliahan, sistem pembayaran, pengenalan rektor dan kepala-kepala jurusan, dan hal-hal terkait perkuliahan di kampus itu.
Masa orientasi di kampus itu tidak seperti kampus-kampus lainnya yang maba (mahasiswa baru) nya diperbudak senior atau disuruh bawa yang aneh-aneh, atau hal-hal nggak berguna itu. Masa orientasi ya, benar-benar orientasi, pengenalan kampus dan isinya.
Cahya melihat muka Mia yang murung. Ia jadi bersalah juga menertawai Mia.
"Maaf Mi, yang aku tertawakan itu bukan kamunya, tapi cowok itu. Lagi sok-sok an kenal kamu terus anggep kamu mbak warungnya." Cahya masih sedikit geli mengimajinasikannya.
"Jadi penasaran tuh ekspresi cowok itu setelah dia tau dia yang salah."
"Itu orangnya di deretan kita!" Mia menunjuk dengan dagu , pada seseorang yang dia yakini cowok nyebelin yang bikin dia malu itu.
Cowok berkacamata dengan list hitam, berkulit sawo matang, mengenakan baju yang sama seperti mereka, daaann... lihatlah! Dia juga menoleh ke arah dimana Mia menunjuknya dengan dagu tadi.
Mia refleks melengos kembali, mengarahkan wajahnya ke hadapan Cahya. Cahya masih berusaha mengamati orang yang ditunjuk Mia tadi, tapi samar-samar kelihatannya. Maklum, penglihatan Cahya minus, tapi tadi pagi dia kelupaan bawa kacamatanya.
"Jangan liat lagi!" Mia mendekap wajah Cahya dan mengarahkan kembali lurus menatap dirinya.
"Dia juga liatin kita, tau!"
"Bukan kita, tapi kamu!" bisik Cahya sambil terkikik pelan.
Sungguh Mia nggak mau lagi berurusan sama cowok itu, titik!
***
Cahya masih bingung dengan lorong-lorong dikampusnya. Terlalu banyak dan terlalu rumit. Rasa-rasanya seperti berada dalam labirin.
Cahya mendengus kesal. Harusnya tadi dia minta ditemani Mia saat pergi ke toilet. Setidaknya kalau ketinggalan rombongan begini, nggak sendirian. Ini kampus besar loh! Banyak pohon-pohonnya lagi.
Cahya agak khawatir juga mencari jalan menuju kembali ke gedung V tempat tas beserta handphonenya tertinggal. Dia bukan tipe cewek yang gampang buta arah, namun karena tadi saat berangkat berombongan menuju salah satu kelas yang akan ditempati anak-anak jurusannya, dia dan Mia masih ngomongin si cowok tadi, Cahya jadi nggak tau arah mereka pergi tadi kemana.
"Hai!" sapa seseorang dari arah samping kirinya.
Saat ini Cahya sedang duduk di salah satu anak tangga antara gedung II dan gedung III. Orang itu melangkah dengan langkah tegap. Posturnya tidak terlalu tinggi untuk ukuran standar seorang cowok mahasiswa.
Orang itu berdiri tepat di depan Cahya sekarang.
"Kamu jurusan apa?" tanya cowok itu sambil memasukkan tangan kirinya ke kantong depan celana panjangnya.
"TI" jawab Cahya singkat. TI itu untuk singkatan dari teknik industri.
"Gue jurusan otomotif" sahutnya, tanpa ada yang bertanya. Tiba-tiba dia tersenyum, lalu duduk di sebelah kiri Cahya, yang memang agak lebar.
"Nama lu siapa?"
Cahya mengerjapkan matanya. Jadi begini modus cowok mengajak cewek berkenalan di kehidupan nyata? batin Cahya sambil sesekali melirik ke kanan dan kiri. Cahya takut kalau mereka benar-benar hanya berdua.
"Cahya."
Cowok itu mengulurkan tangannya, hendak menjabat tangan Cahya.
"Gue Rahmat" dia tersenyum lagi. Matanya masih melirik Cahya, seolah memberi kode untuk membalas uluran tangannya.
Ragu-ragu Cahya membalas uluran tangan Rahmat, masih dengan ekspresi datar.
"Woy Rahmat!" teriak seseorang , yang ditujukan pada cowok disamping Cahya ini.
"Gue cariin lu ke toilet eh malah dua-duaan sama cewek"
Cahya buru-buru bangun dari duduknya, lalu hendak melangkah menjauh dari Rahmat dan sebelum temannya itu mendekati dia.
"Tunggu, Cahya!" panggil Rahmat. Cahya berbalik badan, menoleh penuh tanda tanya.
"Boleh minta nomornya?"
Rahmat menyerahkan secarik kertas dan pulpen ke arahnya.Cahya diam. Antara ingin mengambil atau tidak. Tiba-tiba timbul ide iseng Cahya.
"Nomor apa? nomor mahasiswa? Gue nggak hafal."
"Nomor hp lah" jawab Rahmat, lagi-lagi sambil tersenyum.
Cahya mengambil kertas dan pulpen itu, lalu nyengir iseng lagi.
"Nomor gue atau nomor nyokap gue?"
Temannya Rahmat tertawa ngikik namun terdengar pelan.
"Nomor hp kamu Cahyaaa" Rahmat hampir saja tertawa lepas mendengar pertanyaan konyol Cahya.
Cahya menghela nafas, memilih mengalah dengan menuliskan nomor hp nya di kertas itu. Itung-itung nambah temen dari jurusan lain, pikir Cahya, positif.
Ia menyerahkan kembali kertas dan pulpen itu ke tangan Rahmat.
"Makasih ya Cahya. Nanti malam aku SMS."
Cahya hanya nyengir, tanda mengiyakan. Iya aja deh terserah lu, batin Cahya.
"Neng, giginya dipagerin segala. Takut kabur ya?" temannya Rahmat meledek behel Cahya yang tadi terlihat sedikit saat dia nyengir.
Cahya mendelik tidak suka. Apa sih? Nggak jelas jadi orang, umpat Cahya dalam hati.
Cahya meninggalkan mereka berdua, menuju arah yang sekiranya dia ingat akan menuju ke gedung V.
***
Herawan baru saja keluar dari kamarnya ketika Andra hendak membuka kunci kamarnya.
"Dra, kemaren siang ketok-ketok kamar gue ya?"
Pintu kamar Andra sudah terbuka. Tapi Andra masih memegangi handle pintu, belum jadi masuk. Andra menutup kembali pintu kamarnya, lalu menghampiri Herawan dan mendorong-dorong badannya agar masuk kembali ke kamarnya sendiri.
Herawan menurut, lalu duduk dekat pintu, sedangkan Andra duduk persis membelakangi pintu yg terbuka.
"Lu pernah ke warung situ ngga?" Andra menunjuk warung sederhana di seberang kos mereka.
"Pernah, emang kenapa? Gue kalau makan disitu terus."
Andra menceritakan kejadian kemarin pada Herawan.
Tanggapan Herawan sungguh diluar dugaan Andra. Herawan menepuk pundak Andra kemudian berkata pelan,
"Bro, siapa nama cewek itu?"
"Siapa ya? Mia atau... Nia gitu. Kenapa? Lu kenal?"
"Siapa tau dia jodoh lu bro!" bisik Herawan, kemudian kabur keluar kamar diiringi Andra yang membawa sebelah sendal Herawan buat menggetok kepalanya.
Assalamu'alaikum! Lagi semangat banget nih bikin ini cerita update setiap hari. Ikutin terus ya ceritanyaa. Jangan lupa like, bintang, dan komentarnya 😄😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Takdir Telah Ditentukan
EspiritualJika Takdir Telah Ditentukan Jika takdir telah ditentukan oleh-Nya, tidak ada manusia yang bisa melawan. Bukan, lebih tepatnya semua makhluk hidup dan segala yang diciptakanNya di dunia ini, tidak ada yang bisa melawan takdirNya. Walaupun ada takdir...