Jika Takdir - 22

736 31 0
                                    

Taqobalallahu minna wa minkum
...
Selamat beraktivitas lagi setelah Ramadhan :)
Ikutin update cerita ini terus yaa

***

flashback
~

Cahya baru saja menyelesaikan editan tulisannya untuk mading Al Bayyinah.

Ia melenturkan punggungnya ke belakang, dengan kedua tangan mengangkat bebas ke udara. Melemaskan badannya yang hampir tiga jam lebih duduk dengan posisi yang sama, di depan layar netbook.

Selanjutnya ia save artikel itu, kemudian mengirimnya ke email kak Fira, seperti biasanya.

Fira sebagai penanggung jawab divisi syi'ar bagian akhwat, bertugas mengecek setiap artikel atau media apapun yang akan diterbitkan para anggota ke hadapan publik. Terutama untuk tulisan.

"Assalamu'alaikum kak, sudah aku kirim materi mading minggu ini ya, ke email kakak. Syukron :)"

Cahya tinggal menunggu jawaban persetujuan dari kak Fira lewat SMS, seperti biasa.
Ia beranjak keluar dari kamar, untuk berwudhu. Adzan Dzuhur sudah berkumandang lewat speaker musholla yang cuma berjarak beberapa gang dari rumahnya.

*
now
~

Rahmat melangkahkan kakinya dengan gontai. Baru saja ia berkunjung ke rumah teman masa kecilnya, dengan terpaksa.

Kalau saja dia tidak bertemu ibunya Renata saat menemani neneknya belanja di pasar tadi pagi.

Betapa gembiranya Renata ketika mendengar dirinya mengucap salam lalu menjejakkan kakinya di teras rumah cewek tomboy itu, bersama ibu Renata.

Sebuah getar dari saku celana jeansnya. Ia merogoh sakunya itu, mengeluarkan handphone dari sana. Sebuah pesan.

"Lusa ada tanggal merah kan ya? Nanti mampir ke rumah aku lagi ya, Mat?"

Rahmat memasukkan kembali handphonenya ke dalam saku. Beralih mengambil botol air minum dari pinggiran ranselnya. Ia duduk di bangku depan sebuah minimarket, lalu menenggak habis air dari botol itu, yang tadinya terisi air setengah botol.

"Bang?"

Rahmat menoleh refleks, kaget sebenarnya. Lagi asik-asik minum, eh ditepuk pundaknya tiba-tiba. Untung air di mulutnya nggak nyembur ke wajah orang yang memanggilnya.

"Eh, lo, Dra.." jawab Rahmat, setelah menelan air dengan lega.

"Kok disini? Emang rumah bang Rahmat sekitar sini?"

Rahmat menggeser duduknya karena Andra mendesaknya untuk bergeser. Dia hendak duduk samping Rahmat.

Rahmat tersenyum kecut, dipaksakan.

"Abis dari rumah temen tadi."

Andra menganggukkan kepalanya, paham. Ia meletakkan plastik belanja bulanannya di samping bangku ia duduk. Lumayan berat padahal isinya cuma kecap, sambal botol, sarden, dan mie instan. Ada peralatan mandi juga sih.

"Kirain ke rumahnya Cahya, bang."

Rahmat tambah memanyunkan bibirnya.

Andra cekikikan sendiri.

"Bang, Cahya sekarang pakai kerudung, makin manis ya?"

Andra menaik turunkan kedua alisnya, mengarahkan wajahnya ke depan muka Rahmat.

Rahmat mendelik.

"Masa sih? Dia pakai kerudung sekarang kalo ngampus?"

"Lah, kirain udah tau bang? Kata anak-anak lain kan, abang sering bareng Cahya?"

Jika Takdir Telah DitentukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang