Jika Takdir - 24

862 32 0
                                    

"Ana sudah bersama akh Aris, yang akan memberikan jawabannya. Untuk itu ana persilakan kepada akh Aris, untuk langsung berbicara dengan ukhti Dwi lewat hijab ini."

Cahya menoleh lagi pada Dwi.
Ini ada apaan sih?

**

"Assalamu'alaikum, ukhti?"

Dwi menjawab salam tersebut dengan suara yang hampir tidak terdengar. Sangat lirih.

"Ana sudah melihat CV anti. Juga sudah membacanya. Alhamdulillah, dari situ ana sedikit mengenal anti. Ana mau bertanya lebih dulu. Apakah anti merasa sudah cukup mengenal ana?"

Dwi terdiam. Ia bingung juga kalau ditanya apakah sudah cukup mengenal Aris. Ia hanya menyukainya karena ia melihat kriteria laki-laki yang ia suka, ada pada diri Aris.

Aris itu beda satu tahun angkatan dengan Dwi. Istilahnya, Aris itu seniornya Dwi. Jurusan kuliah yang berbeda. Dwi hanya mengenal Aris di Al Bayyinah, dan beberapa kali di kampus saat tidak sengaja bertemu.

Aris orang yang ambisius dan tegas. Hampir tiap adzan dzuhur dan ashar, Aris yang mengumandangkan. Pernah juga Dwi mendengar lantunan bacaan Al-Qur'an Aris ketika dia qiro'ah di suatu acara seminar Al Bayyinah. Merdu, dan lembut. Terdengar begitu menghayati setiap katanya.

Beberapa orang tidak menyukai Aris karena mereka menganggap Aris itu individualis. Ketika dia punya pemikiran yang menurut dia adalah yang paling benar, dan orang lain tidak setuju, dia tetap melaksanakan pemikirannya itu. Kebanyakan memang benar, dan selalu sukses. Kekurangannya itu bahkan menurut Dwi, tidak menutupi kelebihan yang Aris punya.

Tapi Dwi tidak tau siapa orang tua Aris, latar belakang keluarganya, dan sesuatu dibalik diri Aris.

Dipikir-pikir, Dwi agak gegabah juga mencoba 'mengajukan diri' pada Aris.

"Afwan.." suara Dwi keluar juga, setelah beberapa menit sunyi tanpa ada suara apapun dari keduanya.

"Begini.." ucap Aris akhirnya, "ana akan berikan CV ana, dan silahkan ukhti pelajari. Istikhorohkan. Ketika ukhti sudah merasa siap memberikan jawabannya, ukhti bisa kabari murobbiah anti, biar murobbiah anti akan sampaikan ke murobbi ana. Gimana?"

Dwi mengangguk. Padahal anggukannya juga nggak bakal kelihatan, kan tertutup hijab pembatas.

Aris memberikan amplop coklat tipis berisi CV nya, lewat celah di bagian bawah hijab. Dwi mengambilnya, lalu menatap amplop itu beberapa detik. Padahal di bagian luar amplop itu tidak ada tulisan apa-apa.

"Jazakillahu khoiron katsiron, ukhti Dwi. Wassalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh."

"Wa jazakallahu khoiron katsiron, akhi.. Wa'alaikumussalam.." Dwi menjawab pelan. Matanya masih mengarah pada amplop coklat yang dipegangnya erat itu.

Cahya ikut menatap amplop coklat itu, lalu menatap wajah Dwi yang terlihat sumringah, tapi juga terlihat sedih.

"Kak.." tangan kanan Cahya memegang lengan kanan Dwi, dan tangan kirinya mengusap-usap punggung Dwi.

"Jangan bilang ke kak Fira ya, dek?"

Cahya menatap Dwi dengan tanda tanya.

"Kak Fira tidak terlalu suka, aku menyukai akh Aris. Entah karena ada ketidaksukaan pribadi atau gimana, aku nggak ngerti. Kalau dia tau, bahkan aku yang sampai 'mengajukan diri' ke akh Aris, aku khawatir kak Fira marahin aku.."

"Ehm, terus kak Dwi kenapa, nekat kasih CV ke akh Aris?" pertanyaan itu terucap juga, setelah tadi Cahya mengambil kesimpulan dari peristiwa yang terjadi.

Jika Takdir Telah DitentukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang