Jika Takdir - 20

775 40 0
                                    

**

"Aku... aku menyukai kamu, Andra.. "

Andra terdiam, spechless. Dia sendiri bahkan tidak tau, dimana dirinya sekarang.

Latar mereka berdua saat ini, sepertinya hutan. Di bawah alam sadarnya, dia bingung mengapa bisa dia berada di hutan belantara, sepi, dan hanya ada dua orang ini di hadapannya. Keduanya wanita.

"Ndra, jawab dong! Kamu juga menyukai dia ngga?"

Salah satu cewek menepuk pundak cewek yang berada di sebelah kirinya, sedangkan cewek yang ditepuk ini menunduk, mengalihkan pandangannya pada guguran daun berwarna cokelat kemerahan yang berserakan.

Andra masih saja diam. Ia ingin mengatakan' ini dimana sih?', sebelum menjawab pertanyaan aneh, yang dikeluarkan wanita di hadapannya ini.

Bukan aneh kalimatnya sih, tapi yang aneh, wanita ini siapa?
Wajahnya ibarat gambar disensor, blur, buram. Ia hanya dapat mengetahui bahwa wanita ini, berkhimar panjang dan berjilbab alias memakai gamis. Warnanya pun, samar, bagi Andra.

Pun, sosok teman di wanita itu, juga blur. Hanya saja, dari suaranya, si teman wanita itu bersuara lantang dan cempreng.

Lidah Andra masih saja kaku. Ingin berucap, tapi bahkan kedua bibirnya terkatup dengan rapatnya.

.

"Andraaa... subuh, Ndraaa..."

Suara berat Awan bergema di telinga Andra. Temen sebelah kamarnya ini semalam menumpang nginap di kamar Andra karena mau pinjam laptop Andra, buat ngerjain tugas.

Padahal Andra membolehkan Awan membawa laptop ke kamarnya, tapi si Awan kekeuh mau ngerjain di kamar Andra.

"Andraaaa...., subuh du..."

"Hmmmhh.." Andra menggumam keras, tanda dia sudah bangun. Biar mingkem si Awan, nggak mengganggu pendengarannya.

Andra duduk, menengadahkan tangannya. Berdo'a setelah bangun tidur. Usai mengusap kedua tangannya ke wajah, ia bangkit, lalu melangkah menuju toilet.

Herawan yang baru melek tadi, dengan posisi tengkurap, langsung bangun begitu menyadarinya. Meraba sekitar pipinya. Khawatir berliur kemana-mana.

Entah kenapa saat baru terbuka matanya tadi, refleks memanggil Andra, membangunkannya untuk sholat shubuh, seperti biasanya.

Sudah sebulan ini dia membangunkan Andra --seringnya Andra memang sudah bangun sebelum Awan memanggil -- untuk jama'ah subuh ke masjid.

Ia melirik handphone nya yang tergeletak dekat pintu.
Duh, siapa lagi yang nendang hape gue sampai pintu gitu? batin Awan, gusar.

Ia berdiri, lalu meraih handphone itu. Melihat jam.

"Lah??" pekiknya, kaget.

Andra baru saja keluar toilet dengan wajah serta kaki dan tangannya basah, sehabis wudhu.

Awan heboh menghampiri Andra, masih dengan hape di tangannya.

"Ndra, maaf banget. Gue baru liat jam. Ternyata masih jam dua tiga puluh.." cengirnya, malu-malu.

Andra menaikkan sebelah alisnya.

"Lah, berarti lu ngigo ya ngebangunin gue shubuh?"

"Kayaknya, iya Ndra.. hehe.." cengirnya lagi.

"Pantes nggak kedengeran adzan atau iqomat, atau sholawatan dari masjid," Andra berjalan meraih sajadah dan sarung yang ada di belakang pintu.

"Tapi nggak apa sih. Makasih ya? Gue jadi bangun buat qiyamul lail," Andra menepuk bahu Awan, yang keliatan masih kusut wajahnya.

Jika Takdir Telah DitentukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang