Jika Takdir - 27

448 12 1
                                    

"Jadi, kak?"

Ia menoleh. Seperti biasa dengan kerudung hitamnya yang membuat kulit putihnya semakin terlihat bersinar.

Senyum malu-malu tersirat dari wajahnya, bahkan matanya kelihatan tersenyum. Saking senangnya.

Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Lalu ia menyerahkan salah satunya pada Cahya, di hadapannya saat ini.

"Insyaa Allah dua pekan lagi."

Cahya membeliakkan bola matanya. Menatap nama yang tertera di kertas undangan itu. Betul, benar-benar nama akh Aris dan kak Dwi.

"Maasyaa Allah..." ucap Cahya, lirih. Sungguh tidak menyangka, bahkan ia merasa jantungnya sangat berdebar dan kulitnya merinding.

"Maha Suci Allah yang akan segera menyatukan kalian dalam rumah tangga.." kali ini yang berucap kak Fira. Ia pun tak luput dari rasa terharu dan semringah, dilihat dari wajahnya, Cahya lihat.

"Datang ya kak Fira, Cahya," Dwi menoleh pada keduanya.

"Insyaa Allah," jawab keduanya, bersamaan.

"Untuk yang ikhwan dan alumni-alumni, sudah dikasih?"

"Sudah insyaa Allah, akh Aris yang sebarkan."

"Masih panggil akhi aja, belum boleh manggil mas say yaa.." ledek kak Fira sambil terkikik sendiri.

Sedangkan kak Dwi cuma tersenyum simpul, malu-malu.

***

Gimana sih, rasanya suka sama orang, eh orangnya nggak peka! Nah, itu yang lagi dirasain Arsya.

Dia ngerasa Cahya tuh, ngga peka banget. Biasanya kan cowok ya, yang nggak peka-an. Ini mah cewek. Dia juga tau kalau si Cahya ini disukai oleh dua orang pesaing yang tidak kalah kece dari dia.

Andra, punya kelebihan senyum yang menawan dan lumayan alim. Adem kalau liat dia. Emang ya sosok-sosok cowok yang ibadahnya lumayan, wajahnya sejuk dipandang. Apalagi kalau habis wudhu.

Rahmat, punya fisik yang, kalau kata Cahya, fisiknya tipe cowok idamannya. Tinggi, nggak begitu kurus, bermata sipit. Sifatnya lebih dewasa juga. Walaupun seumuran sih sama Arsya.

Yah, Arsya juga agak-agak bermata sipit sih. Kulitnya putih, lagi. Ada keturunan chinese juga dia, dari neneknya nenek ibunya (jauh amat silsilahnya). Cuma emang dia kurus banget kayak orang kurang gizi. Dikata alim pun... enggak. Walaupun sholat lima waktu Alhamdulillah selalu dijalankan. Tapi dirinya nggak merasa sealim Andra ataupun sekeren Rahmat. Hopeless.

"Sya, besok gue ke rumah lo, ya?"

"Hah?" Arsya tersadar dari lamunannya, dan baru sadar juga dia masih di kelas. Padahal temen-temen lain udah pada bubar.

"Iya, gue ke rumah lo, ya? Gue mau pinjem buku lo yang buat pelajaran elektronika dasar..."

"Dah, nggak usah. Besok gue bawain. Lo mau yang apa aja bukunya?"

Zeze beralih mengambil bangku di samping Andra, lalu mendudukinya.

"Makanya gue ke rumah lo aja, biar gue bisa milih."

"Gue fotoin deh buku-buku yang gue punya, ya? Ntar lo liat sendiri.. "

"Kagak. Gue pokoknya nanti ke rumah lo, oke? Lo keluar jam 2 kan? Gue tungguin di parkiran deket motor lo," Zeze menepuk pundak Arsya pelan, sambil bangkit dari bangku yang didudukinya. Lalu melangkah keluar kelas dengan tangan kanannya menggenggam tas laptop.

Arsya mendengus kesal. Ia malah makin menyandarkan kepalanya ke atas meja di bangku kuliah yang ia duduki.

Arsya bukannya nggak suka Zeze atau teman lainnya main ke rumahnya, tapi dia malu. Bukan karena rumahnya kecil atau kumuh. Yah, pokoknya dia nggak suka aja.

Jika Takdir Telah DitentukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang