Jika Takdir - 12

973 29 0
                                    

***

Twitter menjadi salah satu tempat Andra mencurahkan perasaannya.
Lihat saja, hampir setiap postingan yang dia buat dalam 24 jam bisa dua sampai tiga kali, itu pun minimal. Mulai dari foto teman sekelasnya, kata-kata mutiara dari peristiwa yang sedang terjadi, pendapatnya soal politik, dan masih banyak lagi.

He's enjoy his life. Ya, sejak ayahnya meninggal sewaktu ia SMP, Andra tidak mau terlihat sedih ataupun ingin merasa dikasihani. Ia mau sukses, semangat, bahkan kalau bisa memotivasi orang-orang untuk tetap semangat.

Lewat akun twitternya, @im_and_ra, ia memfollow banyak akun menarik dan mengikuti setiap event yang diadakan atau diskusi yang menarik dengan para pemilik akun. Maka tidak jarang Andra jadi dekat dengan para pemilik akun, yang kebanyakan orang-orang penting atau orang yang dapat mensponsori acara.


Rahmat melihat-lihat sebelah kiri laman akun facebooknya. Berderet rekomendasi teman yang bisa ditambahkan.

Rahmat berhenti ketika melihat satu nama dengan foto yang mirip dengan sesorang.

Ia membuka profil akun tersebut. Namanya akunnya I'm Andra (Muhammad Syailendra). Tapi fotonya sok-sok menghadap belakang gitu. Dari bentuk-bentuk tubuhnya sih memang si Andra bocah sok alim itu. Iya, bocah yang bahkan kelihatan dewasa di mata wanita yang dikaguminya. Lebih dewasa darinya, mungkin?
Tuh kan, susah move on, ih, dari Cahya.

Rahmat mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, lalu mendesah pelan.

Sebuah panggilan mendadak muncul dari handphonenya. Rahmat melirik sekilas handphone yang tergeletak disamping kanan netbooknya itu.

Aih, si cewek aneh lagi, keluh Rahmat. Ia tidak mereject panggilan itu, tidak juga menjawabnya. Ia hanya memasang mode silent, lalu melempar asal handphonenya itu ke atas kasur.


Renata di ujung sana memencet nomor yang sama hari ini, sudah ke dua belas kali. Ia menempelkan handphone di telinganya.

Renata hanya ingin tau kebenaran dari penjelasan Cahya. Cahya sudah menjelaskan bahwa dia tidak punya hubungan apa-apa dengan Rahmat, bahkan Cahya bilang bahwa Rahmat lah yang duluan mengajaknya berkenalan, kemudian terus mendekatinya dengan berbagai cara.

Sedih. Biarpun dia cewek tomboy, tapi tetap saja dia cewek. Perasaannya halus dan mudah tersakiti. Memang bukan salah Cahya, tapi bukan salah Rahmat juga jika yang dikatakan Cahya itu benar. Semuanya, mungkin, salah hatinya.

Menyukai orang yang ternyata menyukai orang lain, diibaratkan Renata memayungi Rahmat di kala hujan, tetapi Rahmat justru memayungi Cahya.

"Besok gue harus cari Rahmat, kemanapun!" gumam Renata, bersikeras.

***

Cahya memasukkan beberapa lembar kertas berisi CV. Kata Rahmat, CV ini salah satu syarat melamar menjadi anggota UKM Finch Radio.

Ia ditawari Rahmat ketika dirinya sedang menunggu Mia di taman seberang pos satpam.

"Gue ikutan UKM radio sih, gue mau jadi penyiar," kata Rahmat kala itu.

"Gue udah punya pengalaman kerja di radio juga sebagai penyiar. Makanya gue mau lanjutin lagi hobi gue."

Cahya mengangguk-angguk.

"Lo mau ikutan? Gampang kok, lo bikin CV kayak orang mau ngelamar kerja aja. Data pribadi, pengalaman organisasi, prestasi. Ya lu tau kan? Nah, terus lampirin kartu mahasiswa, KTP, sama foto ukuran 4x6 dua lembar. Jangan foto selfie ya. Fotonya yang formal. Oh ya, cek aja twitter sama facebooknya, search Finch Radio. Lo disitu bisa lihat kegiatan-kegiatan UKM itu." Rahmat menjelaskan dengan semangat, layaknya sales lagi nawarin barang jualannya. Suaranya lantang, sampai-sampai mahasiswa di sekitar mereka berdua yang sama-sama sedang duduk, menoleh ke arah Rahmat.

Jika Takdir Telah DitentukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang