Jika Takdir - 7

1.3K 50 0
                                    

**

Cahya!" Rahmat melambai-lambai, agar Cahya melihat padanya.

Isyaratnya berhasil, Cahya menoleh lalu memberikannya senyuman.

Rahmat tersenyum balik, senyum tulus dari hatinya. Ya, hati yang tiba-tiba terasa sangat hangat saat bertemu dengan seorang yang disukainya. Cahya telah memberikan cahaya di hatinya, sungguh, ia juga heran kenapa bisa seperti ini.

Rahmat ingat saat pertama kali mereka bertemu di depan masjid Al Bayyinah, saat keduanya hampir bertabrakan. Rahmat memang tidak memperhatikan wajahnya, namun Rahmat merasakan auranya, tiba-tiba membuat Rahmat ingin menoleh, memperhatikan wanita yang mulai melangkah menjauh itu, walaupun hanya sekilas. Ia dapat mengingat ciri fisik dan auranya.

Maka itu, saat ia bertemu lagi dengan Cahya di depan gedung II dan gedung III waktu itu, Rahmat langsung memanggilnya. Seolah takdir yang telah mempertemukan dia dan Cahya, dan takdir yang telah memberikan hatinya suatu perasaan berbeda dari biasanya.

~
Rahmat sedang berlatih drama dengan teman-teman barunya, hanya dalam waktu dua setengah jam. Waktu yang tidak lama, namun hasilnya jangan sampai malu-maluin. Begitu kata mentor  mereka masing-masing.

Penutupan masa orientasi sekaligus peresmian para mahasiswa baru ini akan dimulai jam tujuh malam.

Cahya sendiri merasa tidak punya bakat seni semacam drama, menyanyi, ataupun menari. Ia cuma tau dirinya suka menulis dan kreasi prakarya.

Padahal sewaktu kecil, setiap ada acara di kompleks rumahnya, ia selalu aktif berpartisipasi, baik itu menari ataupun menjadi pembawa acara. Saat sudah beranjak dewasa, sifat pendiamnya muncul kembali, ditambah dengan rasa mindernya karena ia tidak merasa cantik. Kulit sawo matang dengan postur pendek dan sedikit gemuk, bukankah standar kecantikan dimata manusia tidak ada satupun di dirinya? Kalau dimata Allah sih, Cahya sangat yakin semua manusia yang Dia ciptakan itu cantik dan ganteng, hanya setiap individunya memiliki kekhasan masing-masing.

Hermawan alias Awan, panggilan barunya mulai hari ini yang telah disetujui dan disahkan oleh para senior pos 3 barusan.

Sebenarnya Hermawan ini biasa dipanggil Heri dirumah, tapi dia tidak menggunakan nama itu sejak namanya dijadikan lirik lagu anak-anak ketika dia memperkenalkan diri sewaktu SMP.

Heri, gukgukguk, kemari, gukgukguk. Ayo lari lari...

By the way, Awan ikut serta dalam drama untuk acara penutupan masa orientasi ini. Tapi dia beda kelompok dengan Rahmat. Perannya sih singkat, sebagai ustadz. Cocok sih dengan penampilannya. Wajah kalem, berjanggut tipis, rambut ikal mendekati keriting. Tinggal dikasih peci sama sarung, cucok lah.

Kalau Andra? Sibuk menelpon sang umi dipojok teras masjid Al Bayyinah. Sudah setengah jam lebih dan Andra masih saja bercerita banyak hal pada uminya itu sambil sesekali tertawa sendiri.

Andra juga merasa, drama atau pentas-pentas begitu bukan bakatnya. Masih mending dia disuruh marawis di depan umum, apalagi kalau ada duo penyanyi nasyid favoritnya, Edcoustic. Impian menyanyi bareng dengan sang idola menjadi salah satu impian jangka pendeknya.

***

4 hari kemudian.

Hari pertama masuk kuliah yang sebenarnya. Bukan masa pengenalan lagi. Bukan masa malu-malu lagi, tapi sudah beralih ke masa malu-maluin. Aishhh...

Assalamu'alaikum Cahya, hari ini ada jadwal kuliah? Gue tunggu depan masjid Al Bayyinah ya nanti.

Begitu bunyi SMS yang dikirimkan Rahmat pagi ini. Mood Cahya yang sudah cukup baik, menjadi turun 30% pagi ini. Entah kenapa setiap melihat Rahmat, ia selalu ingat akan mantan gebetannya di SMA itu. Orang yang sudah mem-PHP-kan perasaannya. Maka itu Cahya masih kesal dengan orang itu, eh ternyata takdirNya mempertemukan lagi orang itu dengan dirinya, dalam wujud dan nama yang berbeda. Itu juga alasan yang menjadi penyebab Cahya agak menjauhi si Rahmat ini.

Jika Takdir Telah DitentukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang