CHAPTER 24

1.8K 156 4
                                    

Abaikan typo. Buru-buru publish nggak dibaca lagi. Ntar gue edit kalo ada waktu ya.

---

Sudah seminggu ini Mitha mengurung diri dikamarnya. Tidak keluar walau hanya untuk makan. Rio dan Sarah yang bergantian mengeceknya hanya mendengar suara tangis Mitha setiap kali mereka mengetuk pintu. Kehilangan bertubi-tubi membuat Mitha kehilangan kekuatan untuk bertahan. Ia bahkan tidak datang ke acara pemakaman Adam. Mitha hanya menangis dan mengurung diri di kamar. Harusnya Mitha tidak minta dijemput. Harusnya Mitha menerima tawaran Rio dan Sarah untuk pulang bersama. Adam seharusnya masih hidup jika Mitha tidak terlalu manja meminta jemput segala.

"Dasar perempuan manja goblok!"

Mitha melempar vas bunga hingga membentur tembok. Pecahan vas yang berantakan dikamarnya menambah suram pemandangan didepannya. Mitha berjalan melewati pecahan vas bunga. Diinjaknya pecahan vas itu tanpa takut terluka. Ia sudah tidak peduli. Urat sakitnya sudah mati. Mitha berdiri didepan cermin menatap wajahnya yang berantakan karena air mata. Hidungnya yang memerah dan rambutnya yang berantakan. Mitha tertawa getir memandang wajahnya sendiri.

"Lo itu harusnya MATI! Lo tuh udah nggak punya apa-apa. Nggak berharga jadi mati aja! Sahabat lo pergi karena lo brengsek. Calon suami lo meninggal karena lo sok manja minta jemput. Harusnya lo yang mati tau nggak."

Mitha menunjuk wajahnya sendiri dicermin. Mengeluarkan kata-kata kasar untuk dirinya sendiri, memaki dirinya sendiri. Kemudian Mitha tertawa sendiri menatap wajahnya yang seperti orang gila.

"Jadi mati aja ya. Lo potong tuh nadi lo. Janganlah terlalu sakit. Mending minum racun. Racun tikus."

Air mata Mitha berlarian di pipinya membuat emosinya semakin tidak karuan.

"Brengsek!" Mitha mangepalkan tinjunya dan memukul cermin didepannya menggunakan tangannya. Pecahan kaca terdengar nyaring. Darah segar mengalir dari tangannya. Tangis Mitha semakin menjadi ketika melihat tangannya berdarah.

"Mitha!! Mitha!! Buka pintunya. Kamu ngapain? Itu suara apa?"

Terdengar Suara Rio berteriak dibalik pintu kamarnya. Berulang kali Rio menggedor pintu kamarnya namun Mitha tidak merespon. Mitha jatuh terduduk dilantai memandang tangannya yang terluka dan pecahan kaca disekitarnya. Mitha berantakan. Hidupnya berantakan. Kenyataan dan takdir memaksanya untuk kehilangan dua hal penting dalam hidupnya berturut-turut. Mitha hilang akal sehat. Jika seandainya Mitha tidak ingat papa dan mami, mungkin Mitha akan benar-benar mengakhiri hidupnya.

"Mitha!! Buka pintunya atau gue dobrak! Mitha!"

"..."

"Mitha tolong buka sebentar gue pengen liat lo. Gue pengen mastiin lo baik-baik aja. Tolong."

"..."

Setelah beberapa lama akhirnya suara Rio hilang. Baguslah mungkin sekarang Rio sudah pergi.

***

"Yang, kamu coba hubungin Radith coba," Sarah meremas tangannya sendiri. Sarah bingung, khawatir, panik, takut. Semuanya. Ia mengkhawatirkan Mitha. Sangat.

"Udah yang, tapi nggak diangkat. Udahlah emang Radith nggak mau ikut campur urusan Mitha lagi. Biarin aja. Kita usaha sendiri ya."

Sarah menghela nafas panjang. Sarah memijit keningnya yang berdenyut, "aku takut kalo Mitha--"

Belum sempat Sarah meneruskan kata-katanya, Rio berdiri dari tempat ia duduk ketika mendengar suara pintu terbuka. Dilihatnya Mitha sedang berjalan keluar dari kamar. Sarah dan Rio segera berlari ke arah Mitha.

"Astaga Mitha! Tangan lo kenapa!!" Sarah menjerit histeris ketika melihat tangan Mitha yang bercucuran darah.

"Yang, ambilin kotak P3K. Di deket kamar tamu depan. Cepetan!" Sarah mengangguk menuruti perintah Rio sedangkan Rio langsung melepas kemejanya dan membungkus tangan Mitha menggunakan kemejanya. Mitha menatap Rio yang wajahnya memerah entah karena panik atau marah. Tangan Rio dengan cekatan membersihkan darah ditangan Mitha. Tak berapa lama kemudian Sarah datang membawa kotak P3K dengan setengah berlari. Rio langsung menarik tangan Mitha masuk lagi ke dalam kamarnya. Namun langkah Rio dan Sarah sempat terhenti melihat betapa hancurnya kamar Mitha.

"Astaga Mitha!" suara Sarah terdengar lirih diantara tangisnya yang tertahan. Rio tidak menghiraukan Sarah dan terus menarik Mitha ke tempat tidur.

"Duduk!" suara Rio terdengar tegas dan memerintah. Matanya menatap Mitha tajam seolah hendak menghantamkan tabung gas elpiji 3 kg ke kepala Mitha. Mitha menurut tanpa berkata apa-apa.

"Ambilin air, yang" Sarah mengangguk dan berlari mengambil air dikamar mandi. Setelahnya Rio dengan hati-hati membasuh tangan dan kaki Mitha yang terluka, mencucinya dengan revanol, memberi betadhine kemudian membungkus dengan perban. Mitha bisa merasakan jika Rio marah. Begitu juga dengan Sarah. Namun sarah diam saja. Ia tahu Rio sedang khawatir.

Setelah selesai, Rio membereskan semua perlengkapan P3K, memasukkan semua perlengkapan ke dalam kotaknya dengan kasar dan sedikit membanting. Rio menutup kotak P3K kemudian melemparkan ke tembok. Membuat semua peralatan yang telah tertata kembali berantakan. Sarah membekap mulutnya melihat Rio yang terlihat begitu emosi. Rio tidak pernah seperti ini.

"Elo cewek paling goblok yang pernah gue temuin! Lo masih punya gue for fuck's sake! Lo anggep gue apa? Lo anggep Sarah apa?"

Mitha bungkam tidak menjawab pertanyaan Rio bahkan tidak berani menatap Rio yang berdiri didepannya. Mitha beranjak dari tempat ia duduk dan berjalan ke arah dimana Rio melempar kotak P3K. Mitha berjongkok kemudian memunguti obat-obatan yang tercecer di lantai, mengumpulkannya kemudian memasukkan kembali ke dalam kotak. Mitha kembali berdiri kemudian berjalan menuju posisi dimana ia duduk. Mitha menyembunyikan wajahnya dari Rio.

"Maaf."

Hanya itu yang terucap dari mulut Mitha. Namun kata itu berhasil membuat sarah menangis sejadi-jadinya. Sarah berlari ke arah Mitha dan memberikan pelukan untuk sahabatnya. Memberitahu Mitha lewat sentuhan bahwa ia tidak sendirian. Mitha masih punya Rio dan Sarah. Mitha tidak akan pernah menghadapi kesakitan ini sendirian. Tangan Mitha perlahan terangkat dan membalas pelukan Sarah.

Sebuah gerakan kecil yang membuat Rio bernafas lega. Setidaknya Mitha sudah mau membuka diri walau hanya sedikit.

***

"Maaf mi, pa."

Mitha bersimpuh didepan papa dan maminya. Memeluk kaki mereka memohon maaf atas semua kelakuannya. Mitha merasakan tangan lembut mami membelai punggungnya.

"Ora popo nduk. Kamu yang sabar ya. Yang kuat. Ini sudah takdir Tuhan. Ndak bisa kita cegah. Ikhlaskan, lanjutkan hidupmu. Mas Adam sayang kamu, sampai kapanpun akan begitu. Jangan salahkan diri sendiri, Tuhan nanti marah. Bangkit ya nduk. Bikin mami sama papa bangga."

Mitha menangis didalam pelukan mami, pelukan yang mengingatkannya kepada Adam. Sedangkan papa hanya diam dengan sesekali tangannya membelai rambut putri kesayangannya.

"Lanjutkan hidupmu, nak. Berbahagialah."

Bagaimana bisa aku berbahagia jika semua orang yang aku sayang pergi.

Mitha mengangguk pelan dengan air mata berjatuhan di pipinya. Dipeluknya kaki ke dua orang tuanya seolah memohon restu dan doa kekuatan.

⚫️⚫️⚫️

TROUBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang