Kedua mata cowok ini mengerjap kaget begitu mendengar nada yang tidak asing. Dia berdecak, lalu memejamkan mata lagi. Tapi, tangannya terulur dengan malas, meraba-raba sekitarnya dan meja nakas. Kemudian didapatinya ponselnya masih berbunyi dan terus begetar.
“Dimana lo?”
Orion mengerjap makin malas mendengar suara si penelepon. Dia menguap lebar, dan berniat tidur lagi. “Apa sih lo?”
“Bolos lo, heh?” suara Karel lagi samar-samar menyentak Rion. “Kemana lo semalem?!”
“Gue pulang,” balas Rion serak. “Gue males sekolah.”
“Gue telfon Bi Pipin, lo gak pulang dari kemarin,” kata Karel menjurus. “Dimana lo sekarang?!”
Rion memilih terdiam dulu, masih dengan memejamkan matanya. Dia ingat tentang party-nya kemarin. Party yang rutin diadakan untuk bersenang-senang dengan teman-temannya, termasuk Karel—sebelum cowok itu pulang duluan. Berlokasi di bar biasanya, bar yang bisa diakses keluar-masuk dengan lancar oleh Rion and the genk—tanpa permasalahan batas umur dan lain-lain—karena bar itu milik om-nya Rion sendiri. “Gue di hotel.”
“Lo ngamar gitu aja tanpa mau nyariin Kana?” tanya Karel, dengan nada-nya yang sumbang.
Rion mendadak terbelalak kaget. Dia baru ingat... “Kana kenapa?!!”
“Lupa lo sama dia?”
“Brengsek. Kana kenapa?!”
“Tau,” jawab Karel cuek. “Gue cuma di chat katanya jangan nungguin pulang. Temennya dari Amsterdam udah pindah ke sini, katanya mau jalan.”
Tangan Rion mengepal tiba-tiba. Pikirannya melayang, mengingat beberapa orang di beberapa kejadian yang lalu. “Si Bastian?!”
“Mana gue tau.”
Rion langsung bergegas. Dia beranjak dan membenarkan pakaiannya. “Sekolah bubar kapan?”
“Setengah jam lagi.”
“Lo bolos pelajaran dimana?”
“Di atap.”
Tut.
Sambungan diputuskan oleh Rion. Cowok itu dengan buru-buru langsung menyambar jaket dan kunci mobil. Sebelum benar-benar keluar dari pintu kamar hotel, dia menaruh beberapa lembar uang ratus ribuan ke atas meja nakas, sebagai bayaran untuk perempuan yang tidur di ranjang yang sama dengannya semalam—perempuan yang sudah menemaninya.
***
Keenan baru saja melangkahkan kaki keluar kelas dengan santai. Pandangannya kini terarah kemana-mana begitu dia di koridor utama. Bibirnya bersiul sana-sini, dan lirikan matanya jail menggoda beberapa siswi-siswi yang melihatinya dengan kagum.
Iseng, Keenan tersenyum manis pada beberapa siswi-siswi tersebut, yang kemudian mereka langsung histeris sendiri. Keenan sontak tertawa dalam hati. Kejadian seperti ini sudah seperti hiburannya tiap hari.
Mendadak Keenan teringat sesuatu. Untuk itu dia meraih ponsel di saku celana seragamnya. Dia perhatikan hari dan jam sekarang, sebelum akhirnya dia bersorak lalu berubah arah ke koridor sebelah timur.
***
“Gue gak nyangka, kita satu sekolahan lagi, Bas.”
Cowok dengan semburat wajah ganteng itu melirik sambil tersenyum. Tangannya terulur, mengacak rambut indah milik gadis itu. “Tapi seneng, kan? Udah gak usah munafik. Mata lo jawab semuanya. Ada bintang-bintangnya tuh ketemu gue, si artis idola.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy
Подростковая литератураKana; Cewek berumur 17th yang berstatus sebagai pacarnya Orion sejak 2tahun yang lalu, penyayang, lemah lembut, sabar banget ngadepin Orion, orang yang paling mengerti Rion Orion; cowok berumur 20th tetapi masih duduk dibangku SMA, playboy, pemaksa...