“Liv, tolong ambilin itu dong kuas yang itu.”
Oliv menoleh. Dia melipat sedikit satu halaman novel yang dia baca, sebelum akhirnya membantu Kana mengambil sebuah kuas yang berukuran agak besar. “Kaki lo udah bener, belom? Kok kayaknya bengkak gitu sih, Ka?”
Kana tidak langsung menjawab. Gadis itu malah meraih kuas yang diambilkan Oliv tadi, lalu menyocolkan ke arah cat minyak yang warnanya sudah ia campur-campur terlebih dahulu. Setelah itu, dia menorehkan kuasnya pada kanvas. Membentuk sebuah objek, tanpa melalui sketsa dari pensil terlebih dahulu. Sesuai kebiasaannya. “Yang penting gue masih bisa jalan dikit-dikit. Bengkak mungkin karna infeksi.”
Oliv mengangguk saja, lalu meraih sebuah kursi kayu dan memposisikannya di samping Kana duduk. “Jadi hot news deh lo, karna sekolah pake sandal gini.”
“Ya gue kan milih pake sandal karna kalo pake sepatu entar kaki gue keteken-teken. Sakitnya bisa gak sembuh-sembuh, dong?” balas Kana, dengan guratnya yang santai. Tangan kanannya itu terlihat lihai menggerakkan kuasnya ke sana-sini, membiarkan cat berwarna kebiruan itu membentuk suatu bentuk sesuai imajinasinya. “Terus oleh-oleh buat gue mana? Enak aja lo ke Jogja terus balik gak bawa apa-apa.”
“Ada tuh banyak. Diambil Oliver semua. Dateng aja deh ke rumah gue, rebut dari Oliver.”
“Ogah!” tolak Kana langsung, yang malah membuat Oliv terkekeh. Seolah tau bahwa sahabatnya itu sudah pasti akan menolak. “Pulang-pulang bisa disate Karel kali gue.”
“Lebay lo, gak segitunya kali!” tukas Oliv kemudian. Dia lalu kembali meraih novelnya yang sempat dia tinggalkan di atas meja tadi. “Oh iya. Lo masih aja tuh ngelukis pake cat minyak. Mana lo gak bikin sketsanya dulu, lagi! Entar kalo salah gimana? Gak bisa dihapus, tau!”
Mendengar itu, Kana tersenyum. Raut wajahnya terlihat santai sekali. “Kayak gini yang namanya ngelukis sebenernya,” ucapnya pelan. “Cat minyak emang gak bisa dihapus, karna permanen. Bisanya cuma diperbaikin. Ya, kayak kehidupan. Gak akan bisa dihapus deh tuh apa yang udah terjadi. Bisanya cuma diperbaikin biar berusaha jadi yang lebih, lebih, lebih baik lagi.”
Oliv mengernyit. Sejujurnya dia belum paham betul apa yang sudah dikatakan Kana barusan. Tapi dia seakan iya-iya saja. Biar cepat. “Lo tahan gitu, sama baunya? Nyengat gini, Nyet!”
“Selama gue seneng-seneng aja sih itu gak masalah, tau!” kilah Kana, masih bernada sama. Pandangannya begitu fokus ke kanvas, seakan tak mau terlewatkan sedikitpun imajinasi dalam bayang pikirannya itu. Gadis ini memang pandai melukis. Sering menghabiskan waktunya untuk berada di depan kanvas. Sering memenuhi dinding rumahnya dengan lukisan-lukisan yang sudah dia bingkai dan dia jadikan hiasan.
“Terserah lo deh.” ucap Oliv akhirnya. Beberapa menit kemudian, keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Oliv hanyut dalam tata bahasa novel ditangannya, sedangkan Kana sibuk menyelesaikan lukisannya.
Hingga, Oliv berkata lagi, “Eh, enak juga ya, gara-gara kebakaran yang lo bilang itu, sekolah kemarin libur. Ya walaupun kemarin gue masih di Jogja, tapi hari ini juga pas masuk malah jamnya banyak yang kosong. Pada ngapain sih gurunya? Mungutin barang-barang di gudang itu?”
“Yaelah, lo gimana sih. ini kan sekolah mahal. Apa-apa bisa jadi berita. Kabarnya kan udah kesebar kemana-mana. Ya otomatis guru-guru lebih mentingin kasus itu dulu lah sampe selesai. Paling nggak, sampe tau karna apa kok tiba-tiba gudang kebakar gitu. Mereka sih katanya juga masih jaga-jaga gitu, katanya takut ada ‘serangan’ lagi.”
Oliv hanya manggut-manggut saja. “Katanya kebakaran ini emang disengaja ya, Ka? Katanya sih emang ada orang yang punya rencana bakar gudang itu. Tapi kok aneh, dalangnya gak ninggalin jejak apa-apa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy
Teen FictionKana; Cewek berumur 17th yang berstatus sebagai pacarnya Orion sejak 2tahun yang lalu, penyayang, lemah lembut, sabar banget ngadepin Orion, orang yang paling mengerti Rion Orion; cowok berumur 20th tetapi masih duduk dibangku SMA, playboy, pemaksa...