The Bad Boy [22]

5.8K 312 37
                                    

“Bisa?”

Gadis ini balas tersenyum tipis dengan bibirnya yang masih sedikit memucat. Perlahan-lahan dia berdiri, tanpa menerima bantuan uluran tangan yang mengarah padanya seolah siap melindunginya setiap saat. Kana mendongak, “Liat?”

“Aku seneng kamu sembuh,” ucap Rion tulus, sambil merangkul bahu gadisnya hangat. “Tapi jangan terlalu dipaksain ya, Sayang. nanti kalo gak kuat, bilang aja. Jangan keburu-buru, ya.”

Kana mengangguk pelan, dia balas merangkul pinggang Rion di sampingnya. Dari kursi roda yang sengaja diletakkan kembali ke dalam mobil, keduanya berjalan pelan masuk ke lobby gedung apartemen.

“Ambil lagi aja ya, kursi rodanya?” kata Rion tiba-tiba, setelah keduanya berada di koridor. Cowok itu menatap cemas ke arah Kana yang berusaha berjalan normal seperti biasa, walau Rion tau itu pasti susah sekali. Kedua kaki Kana masih kaku untuk digerakkan, efek racunnya yang terlanjur merangsang urat-urat kakinya.

“Bentar, aku ambil dulu. Tunggu sini bentar, ya?”

Tapi tangan lembut Kana makin menahannya, “Gak usah, Riom. Aku gak mau bergantung terus sama kursi roda,” ucapnya sungguh-sungguh. Sejujurnya menahan ringisan sakit. “Aku bisa kok.”

“Jangan dipaksain,” gumam Rion khawatir. “Aku gak mau kamu kenapa-napa, Sayang.”

“Ri, aku gak pa-pa. Liat, aku bisa jalan banyak kayak gini kok, apa gak ngebuktiin kalo aku udah baik?” sahut Kana, lalu tersenyum lagi. “Aku gak bakal kenapa-napa, Rion. Selama ada kamu, aku gak bakal kenapa-napa.”

Rion akhirnya menghela napas, dan menurut. Dia makin mengeratkan dekapannya pada tubuh gadis itu dan memapahnya masuk ke dalam lift. Begitu lift terbuka, Rion dengan sangat hati-hati menggiring Kana ke arah ruangannya. Membuka passwordnya, dan masuk ke dalam.

“Liat, kan? Aku bisa sampe sini,” senyum Kana lagi, merekah saat dia sudah duduk di pinggiran ranjang dan diikuti Rion setelahnya.

Rion balas tersenyum, dan mengusap rambut panjang gadis itu lembut. “Iya, Sayang. Pamer terus ih.”

“Iya dong,” balas Kana bangga. “Kamu gak pernah tau rasanya kejebak di kursi roda itu. Kamu gak tau rasanya seluruh badan kamu kerasa kayak lumpuh karna racun itu. Dan sekarang aku udah bebaaaas!”

“Jangan seneng dulu. Kamu masih harus rajin-rajin minum obatnya, loh.”

Seketika gadis itu merengut, “Buat apa, sih? Aku kan udah sembuh gini. Gak ada gunanya lagi kan, obatnya? Udah aja lah.. obatnya banyak banget, gak enak semua lagi.”

“Yang, itu kaki kamu aja masih kaku. Kamu jangan ngeyel gini dong,” balas Rion masih dengan nada lembutnya yang sama. Sorot matanya menatap Kana penuh perhatian. “Biar kamu bisa lari-larian lagi besok. Gak mau cepetan sembuh, hm? Nurut ya, sebentar doang kok.”

Kana berdengus, namun akhirnya mengangguk. “Ya udah-ya udah. Biar aku bisa sekolah lagi, lah. Ketinggalan banyak banget ini pasti.”

Sekolah?

“Ng.. Yang,” panggil Rion tiba-tiba, dengan raut muka yang seketika berubah mendengar kata tadi. Dia hendak melarang, namun ini jelas-jelas masalah pendidikan yang penting. Dan Rion tidak akan bisa lagi mengatur apapun tentang masalah ini, sekalipun dia hanya ingin melindungi Kana. “Serius, mau sekolah lagi?”

“Ya iya lah,” jawab Kana mantap. “Ngapain gak serius? Bentar lagi aku ujian kenaikan kelas, kok. Terus kelas tiga, terus lulus deh.”

“Iya, aku tau bentar lagi kamu ujian. Tapi, bisa gak, ikut ujian online aja di sini?” kata Rion hati-hati. “Jadi kamu gak perlu ke sekolah. Kamu bisa kerjain di sini aja.”

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang