The Bad Boy [13]

6.9K 273 10
                                    

Ps : ini chapter terpanjang yang pernah gue ketik. Jadi kalau kalian bosenan, kalian cukup vote aja, oke.

Happy reading!

Gadis ini masih terus bersiul senang semenjak keluar dari kelasnya tadi. Langkahnya tergerak ringan sampai ke lobi depan sekolah, dengan headset putih yang tersambung pada iPod di saku rok pendeknya. Sedangkan bibirnya itu terus bersiul tenang, mengikuti irama lagu. Entah kenapa, bel pulang sekolah yang dibunyikan beberapa menit yang lalu tadi kali ini sanggup membuatnya begitu bahagia.

“Oliippp! Lo pulang gimana? Ada yang jemput gak?”

Gadis ini menoleh santai. Meski kedua telinganya tersumpal headset begitu, dia masih bisa mendengar teriakan rada cempreng suara sahabatnya, Kana. “Gue gampang sih, lo duluan aja.”

“Serius nih.” kata Kana lagi, yang di sampingnya sudah ada Rion. “Kalo gak ada mendingan bareng aja, yuk? Kasian lo sendirian. Ini mau ujan juga.”

Oliv menggeleng tenang. “Nope,” jawabnya pendek. Dia sempat melirik Rion, sosok cowok preman yang sangat dikesalkannya itu. “Gue gak sudi jadi obat nyamuk!”

Kana di sana sempat nyengir, namun tidak dengan Rion. Cowok itu hanya diam, dan berkali-kali Oliv sempat memergoki si spikey itu tengah memandang ke arahnya sendiri. Memandangi Oliv dengan tatapan aneh yang tak bisa diterka. Namun, ketika Oliv balik menatapnya, Rion selalu memalingkan wajah dan sekarang ini malah beralih merengkuh pinggang Kana mesra.

“Mau ujan, Lip!”

“Gue gak takut ujan. Emangnya elo, sekali ujan-ujanan terus sakit,” seringai Oliv dengan santainya. “Udah sana lo balik. Gue masih mau di sekolah lagian. Entar juga bisa minta jemput sama Oliv—eh, sodara gue. Gampang, lah. Lo kira gue anak kecil apa?”

Kana akhirnya menyerah. Dia sebenarnya mengaku kalah jika harus berdebat dengan teman baiknya yang tidak pernah mau kalah ini. “Ya udah terserah. Entaran kalo ada apa-apa lo telfon gue, ya? Gue belom ganti nomer!”

“Iya, kampret! Udah sono lo!”

Kemudian, pasangan yang nge-hitz satu sekolahan itu meninggalkan tempat tadi. Oliv kembali menatap ke depan, lalu menghela napas pendek. Sebenarnya hari ini dia bingung harus pulang bagaimana. Biasanya dia dijemput Aldi, tapi cowok ganteng itu tadi pagi bilang belum tentu bisa menjemputnya sore ini. Dan gadis itu malas sekali menghadang taksi di jam-jam seperti ini. Pasti banyak taksi yang sudah penuh.

“Telfon Oliver kali ya?” desis gadis itu dalam hati, sambil meraih ponselnya sendiri. “Ah males. Palingan ogah juga dia jemput.” timbangnya lagi, lalu memilih untuk berjalan ke dekat gerbang depan sekolah. Tapi, belum sempat dia melewati gerbang itu, mendadak sebuah  tangan dingin berhasil mencekal lengannya.

Oliv menoleh. Menemukan Keenan yang menatapnya tajam. Gadis itu bertukas galak, “Apa sih? Minggir!”

“Pulang sama gue!” kata Keenan berseru. Dan terdengar begitu memaksa. Tangan dinginnya pun menarik paksa lengan Oliv, membawa gadis itu ke arah mobil putih Keenan yang berhenti tak jauh dari gerbang sekolah.

“Gak mau! Lo apa-apaan sih maksa gitu?” ketus Oliv ogah-ogahan, sambil terus menepis tangan Keenan yang mencengkramnya kuat. “Gue mau pulang sendiri!!”

Tapi Keenan tak peduli. Dia tetap menggiring—atau lebih tepatnya, menyeret Oliv untuk masuk ke dalam mobilnya yang dimodif-modif itu.

“Gila lo brengsek!!!” bentak Oliv menggebu, tak mau dipaksa masuk oleh Keenan. “Gue bilang gak mau, ya gak mau!”

Cowok berambut coklat itu menatapnya tajam, lalu kembali menutup pintu mobilnya lagi. Dia menghadap Oliv sekarang. “Gue gak mau lo kenapa-napa, bego!”

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang