“Gue gak bisa bantu kalo masalah ini,” ucap Oliver, dengan segala nada penuh penyesalannya yang terdengar natural, meski dari raut wajahnya dia berusaha bersikap datar. “Sori, Fey.”Fey menghela napas. Bola matanya memutar seolah dia tau inilah jawaban Oliver—sepupunya itu. “Gak pa-pa deh, gue cukup seneng kok waktu lo nelfon gue dan ngasih tau kalo ini rumah yang dipake Alvaro.”
Oliver mengangguk pelan. “Lagian gue juga harus jagain Bastian.”
Fey memejamkan matanya sejenak. “Menurut lo, apa Bastian punya niat yang sama kayak gue?” gumamnya perlahan. “Gue yakin, Bastian gak rela Kana ada sama Alvaro kayak sekarang ini.”
“Bastian lagi sama Jana kok. Kalo gue tebak sih, mungkin Bastian lagi bujuk cewek itu buat kabur,” sahut Oliver. “Walaupun sebenernya entar Bastian yang menang, soalnya dia bisa bawa Kana pake alesan kesehatannya dia. Alvaro tau kalo cuma sama Kana, Bastian baru mau dirawat. Alvaro gak mau kan, liat Bastian sakitnya tambah parah? Kakak lo licik-licik gitu, gak mau keluarganya sengsara, Fey.”
“Ya..” angguk Fey lemah. “Tapi buat sekarang, alasan Bastian gak berguna. Lo tau sendiri, gimana Alvaro kalo udah menang diegoisnya. Dia gak akan sungkan-sungkan, Ver. Cara apapun bakal dilakuin.”
“Iya sih,” balas Oliver kemudian. Kedua matanya kini menerawang, memperhatikan sekeliling ruang tamu pada rumah yang sebenarnya banyak orang-orang berbadan besar—anak buah Alvaro itu. Tapi anehnya, seolah seluruh orang di rumah ini tau bahwa Oliver dan lain-lain akan datang, mereka mengizinkan Oliver dan Bastian, beserta Fey masuk ke dalam.
Mendadak Oliver memicing. Ada yang ganjil.
“Lo tebak, sekarang Rafael lagi dimana?”
Fey diam-diam ikut memperhatikan sekitar. “Ada di dalem kamar samping kamar tempat dia nyekap Kana. Gue yakin,” jawab Fey dengan desisan. Tapi kemudian matanya melotot sempurna saat pintu kamar yang diincarnya mendadak terbuka. “Oh sial, Alvaro dateng!”
“Nggak heran,” gumam Oliver di sebelahnya, berbisik pelan sekali. “Gue sempet liatin salah satu bodyguard itu ngasih info ke Alvaro kok. Emangnya lo gak curiga, kita bisa masuk ke sini secara mulus-mulus aja?”
Fey tidak menjawab lagi—atau lebih tepatnya, dia belum sempat menjawab karena keduanya sama-sama awas saat Alvaro dengan langkah santai datang bergabung.
“Wah-wah udah pada dateng aja nih,” seru Alvaro dengan lagak seperti tidak ada apa-apa. Tapi Fey tau, senyum sinis kakaknya itu benar-benar meremehkannya. “Kok bisa, kumpul-kumpul tanpa ngajakin gue? Lo pikir gue bukan keluarga lo lagi?”
“Sampe sekarang gue gak sudi ngakuin lo kakak gue,” desis Fey tajam, yang sepertinya sudah bercampur emosi. Dibalik kacamata minus itu, kedua bola matanya menatap Alvaro sangsi. “Licik bener. Kayak cewek di dunia ini cuma Kana aja!”
Senyuman sinis Alvaro berubah seringai yang menyebalkan. “Gue gak keberatan kalo kenyataannya kayak gitu. Pada dasarnya, kolam yang penuh sama ikan ganas, gak akan nolak buat dikasih bibit cantik,” ucapnya. “Dan elo? Oh iya lupa, lo kan kacungnya si Karel itu. Gampang ya ternyata kalo cuma memperbudak lo tuh.”
“Ini gak ada sangkutannya sama Karel, Ro!” bentak Fey nyalang. “Gue cuma gak mau lo kayak gini, ngerti gak sih? Lo itu kakak gue, jelas apa yang lo lakuin bakal jadi urusan gue! Gue gak suka lo kayak gini, gue gak suka lo bersikap bocah kayak gini!” semprotnya, menyembur tanpa bisa dicegah lagi. “Lo itu udah dewasa, Ro, bukan anak-anak lagi. Harusnya lo bisa jadi contoh yang baik, bukan kayak gini. Oke lo dendam, tapi lo sendiri tau kan, kalo ini bukan jalan terbaik buat nyelesaiin semuanya? Plis Ro, demi apapun, bebasin Kana sekarang dan biarin takdir ini berjalan dengan semestinya. Lo gak usah bertingkah lagi.”

KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy
JugendliteraturKana; Cewek berumur 17th yang berstatus sebagai pacarnya Orion sejak 2tahun yang lalu, penyayang, lemah lembut, sabar banget ngadepin Orion, orang yang paling mengerti Rion Orion; cowok berumur 20th tetapi masih duduk dibangku SMA, playboy, pemaksa...