Rion berada di kamarnya. Diam, duduk bersandaran di ranjang. Pandangannya kosong, dengan wajah yang sulit dikatakan baik-baik saja. Penampilannya pun acak-acakan, bahkan dia lupa kapan terakhir dia mandi. Hanya mengenakan celana pendek dan kaus seadanya. Rion banyak melamun, dan bolos beberapa hari. Padahal minggu depan, dia sudah ujian kelulusan.
Istirahat? Tidak. Rion bahkan tidak tidur beberapa hari. Matanya itu memerah, sedikit membengkak, dan memiliki lingkar hitam yang cukup tebal. Rambutnya yang sudah spikey itu makin spikey—acak-acakan tanpa aturan. Tapi, cowok ini tidak peduli. Yang terus bersarang pada otaknya hanyalah masalah, masalah, dan masalah. Terlebih, terhadap apa yang sudah diperbuatnya malam itu, yang membuatnya merasa bersalah sekali.
Dia.. Fey.. di apartemen itu..
“ARGH!”
Teriakan Rion menggema diruangan luas ini, frustasi kembali mengingatnya. Dia bahkan tidak sadar terhadap apa yang telah dilakukannya. Rion tidak tau waktu itu dia ngapain, dan bertanya-tanya kenapa bisa-bisanya dia masuk ke apartemen itu. Ya, apartemen itu adalah apartemennya dan Karel, juga Keenan. Mereka bayar patungan. Tadinya mereka selalu ke sana untuk menghilangkan suntuk, karena di sana mereka bisa melakukan apa saja yang mereka suka. Mabuk, menonton film serial triple X, merokok, etc.
Wajah Rion lebam. Cowok itu ingat sekali, dia sempat berkelahi dengan Alvaro. Emosi karena bisa-bisanya cowok berambut merah itu membunuh Cherry, sahabatnya. Juga emosi, kenapa Alvaro masih dekat-dekat Kana. Ini juga, lukanya disebabkan oleh pukulan-pukulan brutal dari Fey yang memberontak saat itu. Rion bangun saat itu, dan sadar ternyata Fey tengah menangis sesenggukan. Ketika cowok ini bertanya kenapa, Fey malah bolak-balik menamparnya. Mengatakan Rion bajingan dan sebagainya.
Ceklek.
“Rion?”
Suara lembut yang menenangkan itu..
“Orion?”
langkah kaki Kana perlahan masuk. Mendekati Rion di atas ranjang. Gadis itu duduk di hadapannya, menatap si spikey dengan pandangan bingung, namun siratnya lembut sekali. “Kamu apa kabar, Rion?”
Rion tak menyahut apa-apa. Dia tau-tau tersenyum, samar.
“Kamu sakit?” tanya Kana lagi, penuh kekhawatiran begitu menyadari wajah Rion yang jauh lebih parah daripada biasanya. Gadis itu tidak salah karena baru tau bagaimana keadaan Rion. Kamar ini saja gelap sekali, padahal jam masih sore. Tirai jendelanya ditutup, dan hanya disinari lampu cokelat remang-remang. Wajah si spikey ini bahkan baru bisa dilihat jelas jika dari dekat.
“Badan kamu panas, Rion.” ucap Kana lagi, tak berhenti dengan nadanya yang begitu terdengar perhatian tulus. “Kamu berantem lagi, ya? Kamu udah makan?”
Oh iya, makan. Rion bahkan hampir lupa rasanya nasi.
“Kata bibi kamu gak keluar kamar terus. Kenapa, sih?”
Rion tetap bungkam. Tapi pandangannya menatap Kana lurus-lurus.
“Maaf aku baru ke sini.” suara lembut kana terdengar lagi.“Aku kemarin sak—eh, kemarin papa pulang. Dan kamu tau kan, papa kalo udah pulang bakal over banget gak ngizinin anaknya pergi kemana-mana?” lanjutnya lagi, berbohong sedikit. Karena, selain ayahnya yang pulang kemarin, Kana juga sakit. Suhu tubuhnya begitu tinggi kemarin, dan juga tidak masuk sekolah lebih dari dua hari. Gadis itu juga tidak menyangka, jika Rion juga sama-sama tidak masuk.
“Makan yuk, mau?”
Dengan gerakan pelan, Rion menggeleng.
Kana menghela nafas napas. “Mau dikompres lebamnya?”

KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy
Teen FictionKana; Cewek berumur 17th yang berstatus sebagai pacarnya Orion sejak 2tahun yang lalu, penyayang, lemah lembut, sabar banget ngadepin Orion, orang yang paling mengerti Rion Orion; cowok berumur 20th tetapi masih duduk dibangku SMA, playboy, pemaksa...