The Bad Boy [20]

5.6K 265 31
                                    

Minggu. Siang pada akhir pekan ini, Kana ke rumah sakit lagi untuk kembali menemani Bastian. Seperti halnya kemarin-kemarin, gadis itu ditemani Keenan yang selalu siap ada untuknya kapan saja.

“Lo tuh ngeborong buat cemilan lo apa buat belanja bulanan?”

Keenan nyengir lebar. Tangan kirinya memang tengah memegangi sebuah plastik besar berwarna putih, yang isinya snack-snack ringan semua—dan minuman soda. Sedangkan pada tangan kanannya, Keenan memegangi sebatang coklat yang sejak dari parkiran rumah sakit tadi sudah dia makan, sambil jalan.

“Ya abisan kan lo suka lama kalo udah sama Bastian. Gue kan gampang laper.”

Kana hanya geleng-geleng kepala. Ternyata ini alasan kenapa Keenan tadi mengajaknya ke minimarket terlebih dahulu. Keduanya sampai di depan ruangan Bastian sekarang. Dengan gerakan pelan Kana memegangi kenop pintu, dan membukanya.

“Hei, Man! Yang mana yang lo boleh makan?”

Seruan dari Keenan menyeruak akrab, mengangkat plastik besar berisi makanannya ke arah Bastian yang masih terbaring. Di sisi kanan cowok itu ada suster yang memang ditugaskan pribadi untuk menjaga Bastuan.

“Gue ada root beer, nih! Ato lo mau greensand aja? Eh iya lupa.. lo kan penyakitan, yah ada susternya ya di situ.. aduh jadi gak bisa bebas dong lo makan ginian..”

Pluk!

Satu bantal melayang tepat mengenai wajah Keenan. Bastian dengan raut muka yang bete abis, melengos tak peduli. Pura-pura ngambek.

“Suster, usir dia suster! Dia jelas-jelas mau bunuh gue tuh, Suster! Masa iya gue lagi kayak gini dikasih root beer? Mana ngatain kalo gue penyakitan, lagi!”

Suster tersebut malah terkekeh ringan, bersamaan dengan derai tawa dari Kana juga yang menyaksikan. Pemandangan seperti ini hampir tiap hari terjadi, dan sudah menjadi hiburan tersendiri.

***

Karel menghela napas beratnya. Di sela-sela jarinya, sebatang rokoknya tinggal setengah. Entah itu rokok ke berapa yang barusan dihabiskannya. Cowok itu berdecak lidah, lalu dengan sengajanya membubuhkan rokoknya itu ke dalam asbak. Kemudian menyandarkan bahunya, pada punggung sofa. Matanya mengerjap jengah, kini menatap ke depan. Kosong.

“Fey..” bisiknya samar-samar, kemudian mengerjapkan mata lagi. Berusaha meyakinkan bahwa bayangan seseorang di sana itu hanyalah ilusinya semata. Tapi, berkali-kali Karel mengusap matanya, bayangan itu tidak hilang. Cowok itu kini menahan napas.

“Iya, take away aja ya.. oh iya, sama sirloin steak-nya, deh..”

Suara khas gadis itu terdengar begitu lembut, saat Karel menghampirinya dengan sengaja. Fey tersenyum pada seorang pelayan yang melayaninya barusan, dan langsung terkesiap begitu menoleh dan menatap Karel yang barusan memegang bahunya.

“Apa-apaan lo?!”

Karel tak menjawab. Cowok itu dengan cueknya, menarik tangan Fey menjauh dari pelayan tadi dan mengajaknya keluar, tak peduli pada Fey yang terus memberontak, hingga keduanya sampai di dekat mobil Karel yang bersituasi sepi.

“Sakit!” sentak Fey tinggi, menghempaskan tangan Karel yang mencekalnya. Gadis itu menatap Karel marah, “Brengsek lo! Apa lagi sih mau lo?!!”

Karel sendiri balas tersenyum, lalu bersedekap. “Sensi banget sih yang lagi ngandung.”

Kedua mata Fey yang ditutupi lensa minus itu membola lebar. Tapi, gadis itu seperti berusaha mengendalikan emosinya. Dia mengerjap cepat-cepat, dan berkata dengan nada yang lebih rendah, “Kalo lo ke sini cuma buat ngehina gue, gue udah siap.”

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang