Enam

674 56 0
                                    

Davin mengacak rambutnya frustasi. Haruskah dia marah? tapi pada siapa?, pada Laura dengan kecerobohannya yang entah bagaimana bisa sampai bergulung-gulung ditanjakan curam itu kemarin?. Atau pada dirinya dan teman-teman panitia lain yang tidak bisa menjaga dan memastikan keamanan Laura, Juniornya?. Entahlah!

Davin melirik ranjang Laura sekilas, sepertinya dia masih tertidur. Davin menyandarkan kepalanya ke dinding, pasrah. Membayangkan kemarahan kedua orang tua Laura jika sampai mengetahui anaknya harus terluka karena acara OSJUR yang menjadi tanggung jawabnya dan teman-teman panitia lain.

♡♡♡

-Brak-

Pintu kamar dibuka dengan kasar.

"Lauraaa, kamu nggak apa-apa sayang?" Mama Widya menjerit.

Buru-buru menghampiri anak gadisnya yang terbaring diranjang dekat jendela.

Mengabaikan Davin yang sudah terjaga dan berdiri tegak disebelah pintu. Entah Mama Widya melihat lalu sengaja mengabaikannya, atau memang dia tidak melihat karena terlalu khawatir dengan Laura, sehingga konsentrasinya tidak terpecah dengan kehadiran Davin disana.

Laura yang sudah duduk disandaran ranjangnya tersenyum

"Nggak apa-apa, Ma. Cuma gulung-gulung manja aja kok."

Laura nyengir, mengabaikan kekhawatiran Mamanya.

-Brak-

Pintu terbuka lagi, masih dengan cara yang kasar. Laki-laki tegap itu pun berjalan setengah berlari kearah ranjang Laura. Sekali lagi, mengabaikan keberadaan Davin yang sudah mengangguk sopan padanya.

"Sayang, kamu nggak apa-apa? Coba Papa lihat jari kaki kamu yang patah,"

Mama Widya terbelalak hebat,

"Jari kaki kamu patah,?!"

Kembali, Mama Widya menjerit, dengar kasar membuka selimut Laura. Menemukan Jari Laura yang dililit perban dan gips kecil, yah, tidak terlalu besar memang gipsnya.

Davin yang sudah mengetahui apa yang akan terjadi ini, memilih bungkam. Mengingat tadi Doker di UGD sudah memberitahu Davin bahwa jari kaki tengah Laura pengalami fraktur karena sebuah benturan. Entahlah! Davin sama sekali tidak mengerti tentang benturan apa itu, yang Dia tahu, hanya Laura yang sekarang salah satu jari kakinya patah, Yah. Semoga ini kasus fraktur yang tidak parah. Davin berdoa.

"Duh Ma, minggu depan juga udah bercokol lagi tulangnya,"

"Dokter bilang gitu?"

"Enggak, Sih. Cuma Laura udah searching tadi. Tapi nanti paling Dokternya bilang gitu deh, Ma."

Karena merasa kehadirannya yang terlalu tak dianggap, Davin berjalan membuka pintu. Dia merasakan perutnya seperti dihantam sesuatu yang keras.

-Buk-

Davin melihat bocah setinggi perutnya dengan bando kuning berbentuk pokemon mengusap kasar keningnya sambil menatap marah kearahnya.

Bocah perempuan itu terlihat sangat mirip dengan Laura. Sikapnya yang menyebalkan, juga fashionnya yang childish serba kuning. Entahlah, Laura hanya menganggap bocah itu fans fanatiknya, sekaligus penjiplak mode fashion-nya. Biarlah.

"Ma-"

Ucapan Davin terpotong seketika saat tubuhnya digeser dengan keras kesamping dengan dua tangan kecil bocah itu. Entah dari mana bocah itu mendapat kekuatan seketika mendorong tubuh tegap Davin sampai mengenai pintu.

"AMEL!" Seisi ruangnya menjerit padanya, tak terkecuali perempuan diambang pintu yang kini sudah menatap Davin dengan penuh tanda tanya besar.

Davin sedikit meringis memegangi lengannya.

Cappuccino CupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang