Delapan anak laki-laki yang sedang menempati meja kantin bernomor 13 itu nampak sudah menyelesaikan acara makannya dan kini berbincang ringan antara satu dengan yang lain.
Tapi, sepertinya tidak semua orang di tempat itu terfokus pada bahasan yang sedang dibicarakan. Salah satu dari mereka sibuk membuka dan menutup kolom obrolan di aplikasi line, walau hanya kolom obrolan dengan satu orang saja yang terus ia perhatikan.
"Eh, kambing!"
Lemparan es batu yang mengenai beberapa helaian rambut Dimas yang merupakan hadiah dari tangan Zean, berhasil menarik kembali laki-laki itu dari aktifitasnya ke dalam obrolan mereka.
"Basah ih, maneh teh goblok sia," Dimas mengangkat tangannya ke arah rambutnya, berniat menghilangkan air yang menempel di sebagian rambutnya.
Gharda berdecak, sebelum tangan kirinya menepuk kepala orang yang duduk di sisinya tepat di bagian belakang, "ye anying, ditanya juga lo,"
"Apa sih apa?"
"Ikut kagak lo entar?"
"Kemana?"
Semua makhluk hidup di tempat itu menghela napasnya dengan posisi tubuh yang sedikit dimundurkan ke belakang, menandakan bahwa mereka tengah menahan emosi.
"Udah gue bilang, dia nggak bakalan dengerin," suara Deva memecahkan suasana.
"Sumpah, ada apaan sih?" laki-laki yang menjadi bahan pembicaraan bertanya tak mengerti.
"Nanti lo ikut ke warung Babe nggak?" Figo menyeploskannya begitu saja, malas berlama-lama menunggu jawaban dari salah satu teman tim basketnya yang terkenal lemot itu.
"Hah? Ngapain?"
"Main enggrang!"
"Serius main enggrang?"
"Allah," Deva memijat pelipisnya, pusing meladeni anak laki-laki yang duduk di antara dirinya dengan Gharda.
"Gue bilang juga apa, nggak usah diajak dia mah. Bocah tolol,"
"Lah, gue tolol, lu apa?" Dimas memicingkan sorot matanya ke Keano yang duduk di arah jarum jam angka dua.
"Udah, lo ikut apa engga?" Zean mengembalikan pembahasan mereka yang hampir hilang.
Laki-laki bermata coklat tua itu nampak berpikir, "boleh deh, gue kangen kopi itemnya Babe," ia menyengir.
"Yee.. ngopi mulu lo. Inget, kebanyakan kafein bisa bikin menstruasi nggak lancar dan berujung kanker rahim." Celetuk Sighar asal.
"Uuuu atut kakak, aku masih perawan," Petrus memajukan tubuhnya hingga dadanya menyentuh meja sembari menahan tawa.
Deva tertawa, ia tak kuasa melihat kekonyolan teman-teman basketnya ini, "jangan pada goblok deh ya, tolong."
Sementara itu, Aska hanya tersenyum miring sembari mengaduk cappucino kesukaannya. Melihat salah satu di antara mereka ada yang tidak turut serta dalam tawa, Keano pun menyenggol lengan Aska.
"Ikut kan lo entar?"
"Nggak tau," suara Aska membuat ketujuh orang lainnya menoleh.
Zean menepuk kedua telapak tangannya di udara, "ah, nggak seru lo, Ka," laki-laki itu menjeda ucapannya sejenak untuk membenarkan posisi duduknya, "padahal kita udah lama nggak kumpul bareng,"
"Eh, tapi gue juga nggak janji ikut,"
Pernyataan yang keluar dari bibir Deva seketika membuat semua orang di meja itu menjadikannya fokus utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Ten
Teen FictionI'm just too afraid of being the only one who falls || Copyright © 2017, Michelle Kimberly - All Rights Reserved