22. Bohong

101 17 9
                                    

"Hah? Gimana sih maksudnya?" Nana mengernyit bingung saat mendengar apa yang baru saja Dimas katakan.

Sedangkan yang laki-laki mengangguk antusias, kemudian memberikan apa yang ia pegang ke arah orang di hadapannya.

"Ih gue masih nggak paham," lagi-lagi Nana berucap sangsi.

Dimas menghela napas sejenak dan mulai mengulang ucapannya, "Iya Astri, jadi gue bakal ngomong serius sama lo setelah kita selesai nonton itu," kini mata Dimas mengarah ke arah dua tiket bioskop yang sudah berada di tangan Nana.

Setelah kejadian di sekolah beberapa jam lalu, di mana Dimas mengatakan bahwa ia ingin bicara serius dengan Nana di tempat lain, Dimas pun menggiring perempuan itu untuk ke parkiran  dan mereka berdua mulai beranjak dari sekolah ke salah satu mall ternama di kawasan Jakarta.

Nana masih tidak mengerti saat Dimas mengajaknya turun dari mobil dan mengantar perempuan itu ke Sushi Tei, sedangkan Dimas menyuruhnya untuk menunggu di sana karena ia ada urusan sebentar. Setelah hampir satu jam berlalu dan apa yang Nana pesan sudah hampir habis, akhirnya Dimas menunjukan batang hidungnya. Membuat yang perempuan bernapas lega karena ia sempat berpikir kalau Dimas akan meninggalkannya di sana.

Namun yang makin membuat perempuan bernama asli Renata itu kebingungan adalah ketika wajah murung Dimas sebelumnya sudah digantikan dengan senyum sumringah. Laki-laki itu lalu duduk di hadapan Nana dan mengeluarkan apa yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang punggung, yang ternyata adalah tiket Incredibles 2.

"Liat gue bawa apa?" tanya laki-laki berseragam putih abu itu sambil terus memancarkan senyuman.

Nana mengangguk, "Ya liat, kan gue punya mata."

"Ya udah yuk, 10 menit lagi theater-nya dibuka," Dimas pun berdiri dan bersiap untuk berjalan ke arah kasir.

Melihat pergerakan itu, lantas mata Nana membulat, ia ikut berdiri dari tempatnya, mengambil tas, kemudian mengikuti langkah Dimas menuju kasir. Namun belum ada tiga langkah, Nana sempat berbalik badan ke arah tempat ia duduk tadi, mengambil tisu untuk membersihkan mulut dan memperhatikan keseluruhan meja, takut ada sesuatu yang tertinggal.

Iya, itu memang kebiasaan Nana yang diturunkan dari Alona, ibunya.

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Nana segera mengambil langkah untuk menyusul Dimas yang kini sudah memasukan kembali kartu yang ia gunakan ke dalam dompet, lalu Dimas menyelipkan dompet itu di saku belakang celana.

"Dim, ini gimana sih maksudnya?" Nana yang sudah bisa menyamakan langkah dengan Dimas pun mulai melontarkan apa yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

"Apanya?"

"Ya lo katanya mau ngajak gue ngomong," Nana menghentikan ucapannya sebentar selagi melangkah naik ke eskalator. "Tapi ko kita malah mau nonton?"

Dimas yang berada satu tangga di atas Nana pun menoleh dan menundukan wajahnya agar dapat melihat perempuan itu. "Emang gak boleh ya nonton dulu baru ngomong?"

"Hah? Gimana sih maksudnya?"

Melihat kernyitan di kening Nana, Dimas hanya mengangguk sembari memberikan tiket itu padanya, kemudian ia kembali memalingkan pandangan ke depan. Menahan tawa karena ekspresi Nana yang terlihat begitu lucu.

"Ih, gue masih gak paham,"

Lagi-lagi suara Nana terdengar, yang mana membuat Dimas terpaksa mengulum bibir agar tawa tidak keluar dari mulutnya. Namun setelah dirasa ia bisa menahannya, Dimas pun mulai menghela napas dan kembali mengarahkan pandangan pada lawan bicara.

After TenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang