Hari ini, Nana terlambat ke sekolah. Ia membuka mata sekitar pukul setengah tujuh dan memerlukan waktu 20 menit bagi anak perempuan itu untuk bersiap. Setelah turun dari kendaraan roda empat yang dibawa oleh Nael—ayahnya, Nana segera mendekati gerbang sekolah yang sudah tertutup dengan wajah memelas.
Pak Satpam dan Bu Roro berdiri di balik gerbang, menatap kedatangan Nana seperti seekor kucing yang melihat ikan raksasa berjalan. Bu Roro menyuruh satpam itu untuk membuka gerbang dan membiarkan Nana masuk, tapi tentu saja ia harus menjalani hukuman bila ingin masuk ke dalam kelas.
"Siapa nama kamu?" tanya Bu Roro sembari menatap buku di tangannya, bersiap untuk mencatat nama Nana dalam daftar pelanggaran siswa.
"Renata Astriara, Bu." Ucap perempuan itu pelan.
Bu Roro nampak mengangguk dan menulis nama yang disebutkan. "Kelas berapa?"
"XI IPA 2."
Untuk kedua kalinya, wanita paruh baya itu mengangguk. "Pelanggaran telat kamu tidak banyak," katanya memberi jeda. "Namun, pelanggaran tetap pelanggaran. Jadi, tugas kamu sekarang menyiram tanaman di depan lobby. Mengerti?"
Yang diberikan perintah hanya dapat mengangguk pasrah. Ia pun melepaskan tas yang digunakannya, hendak berjalan ke dalam lingkungan sekolah untuk mengambil selang dan menyambungkannya ke sumber air di bagian depan lobby.
Setelah selesai melakukan tugasnya, Nana menghapus keringat yang mengucur di pelipis. Ia pun kembali mengenakan tas, menyalim tangan Bu Roro dan berjalan menuju kelas.
Sudah satu jam pelajaran yang ia lewatkan karena harus menjalani hukaman. Dan itu artinya, tidak ada cara lain selain meminjam catatan Rara untuk menyalin materi yang terlewat.
Namun, belum sempat perempuan itu berbelok memasuki kelasnya, beberapa meter di depan sana terlihat Deva yang sedang berjalan keluar kelas seorang diri.
Mereka berdua bertatap muka dalam kurun waktu singkat, sampai akhirnya Nana memutuskan untuk menghampiri anak laki-laki itu.
"Ha—hai," sapanya canggung.
Deva hanya tersenyum singkat untuk membalasnya, yang mana membuat Nana kembali mengingat kejadian kemarin sore. Kejadian memalukan yang tidak pernah terpikir olehnya.
"Gue minta maaf soal nyokap gue," Nana langsung saja berucap dengan posisi kepala yang menunduk. Mencoba untuk tidak membalas tatapan Deva, karena ia sudah cukup malu. "Dia— dia cuma masih kesel aja, gara-gara waktu itu gue pulang telat," sambungnya tanpa diminta.
Melihat usaha Nana yang seakan tak ingin membuat emosi Deva berlangsung lebih lama lagi, yang laki-laki pun menyerah. Ia terkekeh ringan kemudian mencubit pipi Nana dengan gemas. "Gue tau, Astriara."
Setelah melepas cubitan itu, ia meneruskan, "Nanti, gue bakalan buat nyokap lo ngubah mindset-nya tentang gue. Lo tenang aja."
Nana ikut tersenyum, tidak percaya bahwa seorang Deva akan semudah itu memaafkan perbuatan ibunya. "Lo gak kapok kan main-main ke rumah gue?"
Dan sekarang Deva tertawa karenanya. Walaupun Nana tidak tahu di bagian mana dari ucapannya yang mengandung humor. Laki-laki itu lalu menggeleng, "Nanti gue main lagi, boleh?"
Mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan dari bibir orang di hadapannya, lantas mata Nana berbinar senang. "Boleh banget!"
◎◎◎
"Nana! Oh my God, lo dateng juga?" pekik perempuan yang duduk di posisi terbelakang dari barisan meja nomor empat.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Ten
Teen FictionI'm just too afraid of being the only one who falls || Copyright © 2017, Michelle Kimberly - All Rights Reserved