Nana berjalan seorang diri melewati koridor utama menuju ke arah koperasi sekolah untuk membeli pena baru setelah Kiara teman sekelasnya mengaku bahwa pena yang kemarin ia pinjam telah hilang.Dengan helaan napas yang cukup panjang, akhirnya Nana sampai di tempat yang ia tuju. Baru saja ingin melangkah memasuki ruang koperasi, langkah perempuan itu terhenti saat seorang anak laki-laki dengan seragam yang sama dengannya keluar dari koperasi pada waktu yang bersamaan, beruntung mereka tidak bertabrakan di depan kusen pintu putih tersebut.
Untuk beberapa detik, hanya pandangan mata saja yang mengisi, seakan menyapa satu sama lain setelah lama tidak berbicara.
Yang laki-laki mulai tersenyum. Hingga akhirnya mengundang senyum yang perempuan juga.
"Abis ini bisa ngobrol sebentar?"
Dan Nana menjawabnya dengan anggukan singkat.
∞∞∞
Anak laki-laki dengan seragam yang tidak dimasukkan ke tempat yang seharusnya itu, mulai mendaratkan bokongnya di samping Nana setelah meletakan dua gelas berisi es teh manis ke atas meja.
"Makasih, Dim."
Yang namanya disebut tersenyum simpul, lalu mengambil gelasnya dan menyeruput teh itu dengan sedotan. Keduanya terdiam untuk waktu yang cukup lama, canggung dengan suasana yang kini sudah berbeda. Hingga akhirnya Dimas berdeham dan membuat Nana menoleh kepadanya.
"Gimana lo sama Deva?"
Nana tersenyum, mengingat hubungannya dengan laki-laki yang disebut oleh Dimas semakin membaik. "Ya, lumayan, Dim. Ada kemajuan lah, walau sedikit."
Kali ini, Dimas lah yang tersenyum. Namun bukan jenis senyuman bahagia, entah harus disebut apa, namun senyum miring Dimas seakan menggambarkan kekecewaan di dalam sana.
"Bagus lah kalau ada kemajuan."
"Semua juga kan berkat bantuan lo selama ini."
Lagi-lagi Dimas tersenyum mendengar pernyataan perempuan itu, "Iya, semua karena bantuan gue juga."
Nana tak membalasnya. Detik hingga menit-menit berikut, suasana menjadi hening, keduanya tidak tahu harus membahas apa. Membuat kehadiran hembusan angin menjadi begitu terasa dan berarti.
Mengingat suatu hal yang menyenangkan, Nana pun berniat untuk membagikannya pada Dimas. Ia lalu menoleh cepat ke arah orang di sampingnya dengan cengiran lebar.
"Dim, lo tau nggak, kemaren Deva main ke rumah lagi."
Hampir semenit tidak ada jawaban, senyum Nana perlahan menghilang, ia melihat ada keanehan dari laki-laki di sampingnya.
Kening Nana pun mulai mengerut. Ia lalu memajukan wajahnya ke arah orang tersebut untuk mendapati lebih jelas raut wajahnya. Dan dari sorot mata yang Dimas berikan, Nana semakin menyakini pemikirannya beberapa detik lalu.
Nana pun mengembalikan posisi duduknya seperti semula dan berdeham sekali, berniat untuk menyadarkan Dimas yang sedang mengaduk es teh manisnya dengan tatapan kosong.
Melihat bahwa Dimas tak kunjung menyadari tingkahnya, Nana pun kembali berdeham dan sedikit menyerong posisinya ke arah laki-laki itu. Namun, Dimas tetap bergeming.
"Dim,"
Yang namanya dipanggil mulai mengerjap, lalu menoleh ke samping dan menunjukan deretan giginya yang rapi, "Eh iya, kenapa, Tri? Gue nggak denger."
Nana menghela napasnya perlahan-lahan, "Lo yang kenapa?"
Pertanyaan telak itu jelas menghapus senyum paksa yang Dimas buat. Laki-laki itu mengembalikan pandangannya ke depan dan terkekeh sebentar. "Gue kenapa? Nggak apa-apa."

KAMU SEDANG MEMBACA
After Ten
Teen FictionI'm just too afraid of being the only one who falls || Copyright © 2017, Michelle Kimberly - All Rights Reserved