11. Dari Mata

309 47 29
                                    

Dimas membuka pintu mobil, ia langsung berlari ke arah orang yang berdiri di sisi mobil putih sembari menahan Nana di sampingnya.

Tanpa banyak bicara, satu pukulan sudah mendarat di wajah orang itu. Nana terlepas dari genggaman laki-laki tersebut.

Nana berteriak saat dilihatnya Dimas dan salah satu laki-laki dari kumpulan orang yang mengganggunya tadi sedang saling hantam. Sedangkan Deva, ia sudah berurusan dengan Mario dan ketiga teman lainnya.

Mungkin perkelahian satu banding satu dapat dimenangkan dengan mudah oleh Dimas. Namun Deva, laki-laki itu justru menjadi samsak dari empat orang lainnya.

Dimas berlari ke arah Nana, menyuruh perempuan itu untuk menunggu di mobil karena ia ingin membantu Deva terlebih dahulu.

Setelah mengangguk dengan wajah yang pucat, Nana segera melangkah memasuki mobil Dimas yang sebelumnya dibawa oleh Deva. Perempuan itu mengeluarkan ponselnya dari saku rok. Tangannya yang gemetar membuat ia kesulitan untuk menghubungi seseorang. Saat sekiranya nomor yang akan ia hubungi sudah ditemukan, ia langsung menekan tombol hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Halo?"

"Ha-halo, Ra?" suara Nana terdengar lirih.

"Loh, lo kenapa?"

"Tolongin gue," Nana terisak pelan, "Deva sama Dimas digebukin orang."

"Hah?! Lo dimana sekarang?! Biar gue sama Arsen ke sana, nanti gue kabarin Nayla, Vally sama cowok-cowok mereka juga."

"Gue nggak tau ini ada di mana, yang jelas gue abis dari Cafe di samping toko buku di jalan Bhinneka, abis itu gue jalan ke arah kanan, ngikutin trotoar,"

"Yaudah, tunggu gue, ya, lo tenangin diri dulu."

"Iya, makasih, Ra."

Setelah sambungan telepon terputus, Nana menoleh ke arah luar jendela dan melihat kedua orang laki-laki yang ia kenal masih mempertahankan diri dengan melawan lima orang lainnya.

Nana menunduk, air matanya mengalir tanpa bantahan. Ia merutuki perbuatannya hingga membuat Dimas dan Deva terpaksa mempertaruhkan nyawa mereka demi dirinya.

Sepuluh menit berlalu dengan cepat, namun, ketujuh remaja yang sedang melakukan aksinya di luar sana masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, sampai sebuah motor hijau berhenti di samping mobil yang Nana naiki.

Perempuan yang berada di boncengan segera turun dan mengetuk jendela mobil putih itu. Nana menoleh, ia terkejut bukan main saat sadar bahwa itu Rara.

Nana menyuruhnya masuk lewat pintu belakang, dan perempuan itu langsung menoleh ke belakang saat dilihatnya Rara sudah memasuki mobil Dimas.

"Na, lo nggak apa-apa?! Ya ampun gue panik banget, sampe gue suruh Arsen naik motor ke sini biar cepet," perempuan yang sudah dibalut dengan baju santai memegang tangan Nana yang berada di depannya.

"Gue takut," tangis Nana pecah saat itu juga.

Rara sebenarnya ingin memeluk sahabatnya. Tapi karena posisi duduk mereka yang tidak memungkinkan, jadi Rara hanya membelai rambut Nana menenangkan.

"Nggak apa-apa, Dimas sama Deva pasti baik-baik aja, Na," jelasnya. "Udah ada Arsen ko yang bantu mereka."

"Tetep aja, gue tuh khawatir, apalagi jumlah mereka tadi kalah banyak sama orang-orang yang gangguin gue," Nana mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya.

Rara mengangguk mengerti, "emang gimana ceritanya sih?"

Perempuan yang masih mengenakan seragam sekolahnya dan sweater cokelat itu menarik napas dalam-dalam, ia mulai menceritakan awal di mana kejadian ini dapat bermula.

After TenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang