Keempat remaja duduk di salah satu meja di Cafe yang letaknya tak jauh dari toko buku. Satu dari tiga orang lainnya hanya diam, menatap semua orang di tempat itu dengan tatapan sinis, terutama saat ia lihat perempuan yang duduk di sisi Deva yang kini tengah tertawa karena cerita lucu dari laki-laki di depannya."Iya, Tri, lo gak akan tahan buat nggak ketawa deh kalo liat mukanya langsung,"
"Tolong ya, jangan bahagia di atas penderitaan orang," Dimas berujar, walau masih dengan sarat tawa di kalimatnya.
Nana menelungkupkan wajahnya di atas meja dengan satu tangan yang memegang perut, rasanya ia tak sanggup lagi untuk tertawa. "Aduh, sakit perut, mau pipis,"
Lagi-lagi ketiganya tertawa, sedangkan Cacil berdecih malas, "apanya yang lucu sih? Lebay," katanya.
Sontak Dimas dan Deva menoleh bersamaan ke arah perempuan itu.
"Eh iya, ada Cacil ya? Sampe lupa," Dimas menjawil dagu perempuan yang duduk di sampingnya sembari tersenyum miring.
Cacil menepis tangan Dimas, "apaan sih lo!"
"Oh iya, Ca," laki-laki itu merangkul Cacil dengan mata yang tak lepas darinya, "Tante Tiara bil-"
"Iya, lo mau ke rumah kan abis ini? Gue udah tau. Mama udah bilang," potongnya dengan nada dingin.
"Nah ya udah bera-"
"Berarti gue dianter Deva balik dan lo ikutin dari belakang." Potongnya -lagi.
"Lah, terus Astri sama siapa?" kini suara Deva yang terdengar, membuat Nana langsung memalingkan wajah ke orang yang duduk di sisi kirinya.
"Lo sama gue aja, Ca, biar efektif," Dimas menjeda kalimatnya sembari menatap Deva, "nah, lo anter Astri, gimana, Dev?"
Deva tersenyum dan menoleh ke arah Nana, "ya gue mah nggak apa-apa," katanya. "Lo mau kan bareng gue aja?" sambung Deva bertanya pada Nana.
"Ya.. gapa-"
"Lah, apaan sih?!" Cacil memicingkan matanya ke depan, ke laki-laki yang baru saja bersuara, "lo sama gue, Devarya!"
"Ya kenapa lo nggak sama Dimas? Kan Dimas emang mau ke rumah lo," Deva membenarkan posisi duduknya sejenak, "maksud gue tuh, biar Astri juga ada yang nganter, Ca."
"Ya kan bisa aja Dimas anter dia dulu baru ke rumah gue, lagian dia ke sini juga sama Dimas, dan yang sama lo tuh, gue!"
"Apa salahnya sih kalo lo sama gue? Emang gue bau ya?" Dimas mengarahkan wajahnya ke arah bawah sembari mengangkat tangannya sedikit ke atas, "ah, gue nggak bau ketek ko."
Perempuan yang duduk di sisinya memutar bola mata malas.
Nana beranjak, berdiri dari duduknya dengan satu tangan yang meraih tas yang ia letakkan di bawah kursi, "ya udah nggak apa-apa, gue bisa naik taksi ko,"
"Tuh! Dia aja gapapa!" perempuan yang bersweater putih melipat kedua tangannya di depan dada, dengan mata yang menatap Deva dan Dimas bergantian.
"Ih, jangan lah,"
Nana terkekeh sembari memakai tas punggungnya, "udah, santai aja kali," jawabnya. "Ya udah deh, gue duluan ya, nanti dicariin nyokap."
Tak ingin memperkeruh suasana, Nana berjalan begitu saja, meninggalkan ketiga orang di meja Cafe tersebut dengan langkah terburu-buru. Jujur saja, dia merasa tak enak juga lama-lama menjadi orang asing yang datang dan seakan-akan langsung membuat ketiga sahabat itu bertengkar. Oh, ralat, kedua orang lainnya bahkan berstatus mantan.
Cacil tersenyum penuh arti dan ikut berdiri dari posisinya, "ya udah yuk, Dev, udah jam tujuh,"
◎◎◎

KAMU SEDANG MEMBACA
After Ten
Novela JuvenilI'm just too afraid of being the only one who falls || Copyright © 2017, Michelle Kimberly - All Rights Reserved