Dimas memandang pantulan dirinya di depan kaca, memperhatikan cara berpakaiannya yang sedikit aneh. Iya, kalau bagi anak laki-laki seperti Dimas, ini sudah pasti aneh. Seragam putih abu-abu yang rapi tersetrika, kemeja yang dimasukkan ke dalam celana, tak lupa juga dasi abu-abu yang bertengger di lehernya, lengkap dengan ikat pinggang hitam.Anak laki-laki itu menghela napas panjang, lalu mengambil sebuah tabung kecil di meja dan membukanya, hendak mengenakan pomade demi membentuk jambul dari rambutnya yang jatuh. Namun, belum sempat jemari Dimas mengambil pomade itu dari tempatnya, sebuah kalimat kembali terngiang di telinganya. Berputar-putar seolah mengintruksi Dimas untuk melakukan apa yang ia bilang.
"Rambutnya nggak gondrong... Rambutnya no pomade. Ih gue nggak suka,"
Anak laki-laki itu menghela napas panjang dan menutup kembali sebuah benda yang sebenarnya sudah cukup mendarah daging untuk seorang Dimas.
"Ngerjain orang aja emang lo, Tri," tangan Dimas kembali terjulur untuk meletakan tabung pomade-nya.
Entah untuk yang keberapa kalinya, laki-laki itu menoleh ke depan kaca sembari menatap pantulan sosok aneh di depan sana. Memutar bola mata dan tak ingin muntah jika harus menerima kenyataan bahwa sosok itu adalah dirinya, Dimas sesegera mungkin berbalik badan dan melangkah untuk keluar dari kamar. Tapi, belum lebih dari tiga langkah, ia sudah berhenti dan kembali mendengus malas. Dimas membalikkan badannya lagi untuk menuju tempat tidur dan mengambil tasnya yang sungguh berat oleh buku-buku pelajaran.
¢¢¢
"Tri, lo dimana?"
Baru sedetik ponsel Nana menempel di telinga, pertanyaan itu sudah memasuki indra pendengarannya.
"Salam dulu kek," jawabnya ketus.
"Oh iya, forget aing." Orang di seberang sana terdiam sejenak demi berdeham. "Assalamualaikum, Cantik."
Nana menjulurkan lidahnya, seolah ingin mengeluarkan isi perut. "Waalaikum salam, kenapa?"
"Posisi?"
"Gaya lilin,"
"Wah, hebat juga lo, lagi gaya lilin bisa angkat telepon."
"Kenapa sih, Dim? Gue lagi sibuk nih, telat bangun tadi. Udah dulu ya, bye,"
"Masih di rumah dong?"
"Di pluto gue," Nana menjawab ketus selagi memasukan beberapa buku yang akan ia bawa ke sekolah, "Lo ngelamain gue deh. Udah ah, gue matiin."
"Ya kan lo yang jawabnya nggak serius dari tadi, lo yang ngelamain lah,"
Perempuan dengan rambut yang dikuncir kuda itu mengerling mata dan bertolak pinggang, sebal. "Ya udah tau gue di rumah, masa di bulan? Neil Amstrong dong gue."
"Kalo gitu gue jemp--"
"Eh, gue tutup ya, Dim. Kasian Deva udah nunggu di luar dari tadi, bye, nanti lanjut di sekolah aja." Dengan sekali tarikan napas, Nana menjawab serta mematikan telepon itu secara sepihak. Setelah itu, ia segera berlari keluar rumah dengan tas merah mudanya yang sudah bertengger manis di salah satu bahu.
Secara bersamaan, mata Dimas terpaku pada sebuah mobil yang ada di depan salah satu rumah di daerah itu. Ia menginjak pedal rem perlahan seraya menurunkan tangannya yang memegang ponsel usai Nana mematikannya.
Beberapa saat kemudian, seorang perempuan keluar dari gerbang rumah itu dengan salah satu tangan yang melepaskan ikatan di rambutnya, membiarkan helai demi helai kecoklatan tersebut dapat bergoyang bebas di udara. Nana memasuki mobil dan mobil mulai berjalan. Tidak cukup cepat, tapi sepertinya kedua insan yang berada di dalam sana terlalu asik sampai tidak menyadari kehadiran mobil Dimas yang berpapasan oleh mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Ten
Teen FictionI'm just too afraid of being the only one who falls || Copyright © 2017, Michelle Kimberly - All Rights Reserved