Nana membuka kaca di sebelahnya, lalu menyuruh pak satpam yang bekerja di rumah itu untuk membukakan gerbang lebih lebar lagi agar mobil yang ia naiki dapat masuk ke dalam.Setelah gerbang tinggi berwarna hitam itu terbuka, Deva menginjak pedal gasnya dan memarkirkan mobilnya di parkiran rumah Nana. Mereka berdua pun turun.
Nana mengajak Deva untuk masuk ke dalam rumahnya yang bernuansa serba putih. Ia lalu berteriak memberi salam kepada siapa pun yang ada di ruang tamu, "Assalamualaikum."
Tak ada orang, dan tak ada pula jawaban.
Nana mengernyit sebelum menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah orang yang mengikutinya sedari tadi.
"Duduk dulu aja, Dev. Gue mau cari nyokap di kamar."
"Oh, yaudah." Laki-laki itu berjalan seorang diri menuju sofa dan langsung menjatuhkan bokongnya di atas benda empuk tersebut.
Sedangkan yang perempuan, ia berjalan ke lantai atas untuk memanggil Alona, sekaligus meletakkan tasnya di kamar dan mengganti pakaian.
"Ma?" kepala Nana menyembul dari balik pintu kamar Alona. Memperlihatkan bagaimana ibu dua anak itu sedang bersandar pada tumpukan bantal-bantal sembari menonton televisi.
"Eh, anak Mama udah pulang." Balas Alona yang kini mulai beranjak menuruni tempat tidur.
"Itu, Ma,"
"Itu apa?"
"Itu— ada temen aku di bawah."
Wanita itu mengubah posisinya dengan membuka pintu lebih lebar, "lah ya udah, biasanya juga kalo ada mereka langsung kamu ajak ke kamar."
"Ih, bukan!" Nana membantah dengan nada yang tidak terlalu tinggi, "bukan Rara, Vally sama Nayla."
Lantas mata Alona membulat saat itu juga, "Ih, atuh, kenapa kamu nggak bilang-bilang sih kalo Dimas mau dateng. Kan Mama bisa suruh Mbak masak dulu tadi sebelum pulang."
For your information, keluarga Edrian memiliki pembantu rumah tangga yang jam kerjanya hanya sampai pukul 4 sore saja.
"Allah," Nana mengusap wajahnya malas.
Alona langsung berbalik dan berjalan ke arah meja riasnya kemudian menguncir rambutnya dengan ikat rambut yang warnanya serasi dengan bajunya. Setelah itu ia kembali menuju pintu dan mendorong Nana untuk keluar bersamanya.
"Ih, apa sih Mama, alay banget dorong-dorong segala."
"Mama mau masak dulu," kata Alona, "kamu temenin Dimas sana— eh enggak! Mandi dulu, bau."
"Sumpah ya, aku nggak bilang kalo ada Dimas loh. Lagian, emang Mama bisa masak?"
Kalimat pertama yang anaknya ucapkan itu, sontak membuat Alona yang terlihat gusar langsung terdiam.
"Di bawah tuh ada Deva." Lanjut Nana yang mana membuat Alona menganga dalam beberapa detik setelahnya.
"Ih, Kakak mah!" wanita itu menghentakkan satu kakinya, kesal. "Mama nggak suka ya."
"Ya Allah, nyonya besar Alona Diandra. Ketemu dulu aja kali sama Deva, dia nggak seburuk yang Mama pikir kok," balas Nana. "Lagian, please deh, Mama nggak suka sama Deva cuma karena waktu itu aku pulang telat sama dia? Kan udah dibilang, itu tuh macet, Ma. Macet!"
"Tetep aja judulnya kamu telat pulang kan? Lah, ya udah, kelar."
"Au ah gelap."
Setelah itu, keadaan hening. Tak ada di antara ibu dan anak itu yang bersuara. Mereka hanya saling melempar tatapan dengan sinis.
"Sumpah!" buka Nana. "Jangan kayak a-be-ge deh, Ma. Masa ngambek sama Deva sampe segininya?"
"Ya udah iya, Mama turun." Alona pun melanjutkan langkahnya untuk menuruni tangga, sedangkan Nana memasuki kamarnya untuk meletakkan tas dan mengganti seragamnya.
Seusai mengganti seragam sekolah, perempuan yang kini mengenakan kaus santai dengan celana selutut itu berjalan menuruni anak tangga, dan suara Alona yang cukup besar langsung memasuki indra pendengarannya. "Iya, jadi, Dimas tuh pertama kali ke rumah pernah bawain Nana donat madu. Enak deh, Nak Deva."
Mulai deh si Mama, gumam Nana dalam hati.
Ia pun berjalan mendekat ke arah kedua orang tersebut, menjatuhkan bokongnya tepat di samping Deva dan langsung menatap Alona dengan tatapan sebal.
"Iya kan, Kak?"
Nana membalasnya dengan gumaman.
"Tuh," Alona menjentikkan jarinya. "Dimas juga udah deket banget sama adeknya Nana. Mereka pernah main playstation bareng, bahkan Dimas per—"
"Bisa nggak, kalo yang dibahas tuh jangan Dimas terus?" Nana menyela. "Nanti, kuping orangnya panas gara-gara diomongin."
Deva terkekeh sejenak mendengar ucapan Nana. Sedangkan yang perempuan mengalihkan perhatian ke arah laki-laki di sebelahnya.
"Lo mau minum apa?"
"Apa aja deh," Deva menunjukkan senyumannya.
Mendengar hal itu, akhirnya Nana berdiri dari posisinya dan beranjak menuju dapur. Setelah ia kembali dengan dua gelas jus jeruk di tangannya, suara Alona lagi-lagi terdengar.
"Ohh, jadi Nak Deva ini satu tim basket sama Dimas? Wah, Dimas pasti jago banget ya mainnya?"
"Iya, tapi jagoan Deva. Dia kan ketuanya." Balas Nana acuh. Ia lalu menyerahkan salah satu gelas di tangannya ke arah Deva.
Alona mencebik. "Ketua tuh gak harus yang paling jago kali, Kak."
"Kalo dia nggak jago gak bakalan ke pilih jadi ketua kali, Bu Haji."
Ibu dan anak itu berbalas tatap dalam waktu beberapa detik dengan sorot mengintimidasi. Merasa tidak enak, Deva pun berdeham, membuat kedua orang di sekitarnya menoleh ke arah anak laki-laki itu. "Dimas emang jago banget kok, Tan."
Alona tersenyum puas. "Nah, Deva aja mengakui kalo Dimas jago."
Orang yang namanya disebut hanya bisa tersenyum sebelum meminum jus jeruk yang diberikan oleh Nana tadi.
"Cocok banget deh emang Nana sama Dimas tuh."
Satu detik kemudian,
Uhuk.. uhuk.. uhuk..
Deva segera menjauhkan gelas di tangannya. Meletakkan benda bening itu di atas meja, lalu mengusap dadanya berulang.
Lantas, perempuan yang duduk di sampingnya menjulurkan tangan untuk menepuk punggung Deva. "Eh? Lo nggak apa-apa?"
Deva mengangguk singkat untuk membalasnya. "Gue balik ya, Tri. Gue lupa kalo gue ada urusan lain."
Anak laki-laki itu berdiri dari posisinya dan segera menyalim tangan Alona.
"Biar gue anter—"
"Nggak usah, nggak apa-apa."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Deva sudah berjalan menjauh dan punggungnya menghilang di balik pintu utama.
Suara mesin mobil yang dinyalakan membuat Nana yakin bahwa laki-laki itu serius untuk pergi dari rumahnya. Padahal, belum 30 menit Deva ada di rumah ini.
Sontak, Nana menoleh, menatap mata Alona dengan tatapan kesal. "Jangan pernah pasang-pasangin aku sama Dimas di depan Deva. Aku nggak suka."
Setelah itu, Nana berlari untuk menaiki anak tangga dan masuk ke kamarnya setelah menutup pintu dengan kencang.
◎◎◎
Maaf karena part ini amit-amit tralala...
Gue sendiri gak ngerti kenapa jadinya begini😞
Mood w sedang buruq.
Ya udah itu aja deh.
Jangan bosen-bosen buat nunggu kelanjutannya. Janji deh gak se-abal ini:(
-kim

KAMU SEDANG MEMBACA
After Ten
Teen FictionI'm just too afraid of being the only one who falls || Copyright © 2017, Michelle Kimberly - All Rights Reserved