11

1.1K 79 3
                                    


BELUM DI REVISI!


Mereka berdua sekarang tengah terdiam, dengan Akhseen yang tengah tersenyum dan Adfan yang tengah memberengutkan wajahnya, jelek.

Akhseen merasakan kebahagian di dalam dirinya kala memberitahukan hampir semua kebodohanya kepada Adfan. Meskipun menyampaikanya juga dengan hal yang bodoh kembali, dan tentunya dengan cara Akhseen sendiri.

Setidanya, mungkin, di akhir hidupnya ia butuh dirinya yang dicintainya.

Dia butuh melihat wajahnya, tawanya, cekunganya, kopinya, dan semua yang ada di dalam dirinya.

"Apa lagi yang kurang jelas?" Akhseen bertanya yang langsung di tatap oleh Adfan, ia tersenyum. Sangat manis.

"Satu per satu." Ujarnya, Akhseen mulai berpikir lagi, ia tahu permainnan ini, permainan mengulur waktu agar Adfan dan juga dirinya semakin lama bersama. Dan tanpa sepengetahuan Adfan pula, Akhseen menginginkan hal yang sama.

"Aku bertemu dengan Tya, dia ingin melanjutkan pendidikannya, aku membantunya dan dia juga membantuku yang pada akhirnya kami saling membantu." Adfan langsung manggut-manggut, Akhseen percaya Adfan tak sebodoh apa yang Abangnya pikirkan.

"Yang intinya?" Akhseen mulai jengah, ia tak mau mengulang-ulang pernyataan yang sudah ia ucapkan, tapi apa daya? Ia tak bisa untuk tak menghiraukan orang yang ada di hadapanya bukan begitu?

"Aku bersama Tya, tinggal di sebelah Apartemen ini, dan dengan sesuai dengna perjanjian. Tya, membantuku untuk menyimpan setiap makanan yang aku buat, tentunya di depan pintu." Akhseen mendongakan kepalanya dan menujuk pintu keluar dengan dagunya sendiri.

"Yah, sebenarnya aku tak ingin mendengarkan hal itu." Akhseen mulai mengernyitkan alisnya.

Adfan hanya bisa melihat Akhseen yang tengah melihat jari jemari yang saling membelit.

"Lantas?" jawab Akhseen tanpa melihat ke mata Adfan, Adfan tahu kalau gadis yang ada di hadapanya itu belum rela untuk membahas hal yang berbeda.

"Apa ada sesuatu yang tumbuh di dirimu?" Akhseen mendongakan kepalanya dengan pelototan bulat yang menambah rasa seram menyelimuti sekitaran Adfan.

Apakah dia salah bertanya? Batinya sembari mengangguk-anggukan kepalanya.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" Akhseen mulai berdiri menatap Adfan yang tenga menatapnya balik.

Adfan lagsung mengernyit dan bungkam.

"Ah itu, sepatu kamu nggak ketali dengan benar." Akhseen langsung mengamati sepatunya dan lagi-lagi ia memelotot kearah Adfan.

"Akhhh rasanya aku sangat ingin menyekiku." Kedua tangan Akhseen terangkat seperti ingin mencekik sesuatu.

Adfan langsung terjungkat kebelakang dan langsung melihat kebawah, memastikan apa yang di pakai Akhseen di telapak kakinya.

Ia meringis, kala melihat sepatu datar yang di pakai oleh gadisnya itu.

"Apa?" sinis Akhseen yang mulai terduduk kembali sembari bersedekap dada.

"Aku cinta kamu."

"Gila!"

"Aku tahu."

"Hah?"

"Karena kamu."

Akhseen langsung membuang andanganya kearah lain, ia mencoba menelan salivanya dengan susah. Baru pertama kalli ini ia mendengar kata-kata itu dan sayangnya kata-kata itu datang di waktu yang nggak tepat. Akhseen meringis soal itu.

SHENILFA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang