Chapter 1

37.7K 525 0
                                    

"Morning, Mom..."

Ben melangkah memasuki ruang makan sembari menebar ucapan selamat pagi pada mamanya. Wanita itu tengah duduk di sana seraya sibuk mengupas bawang, namun sempat melirik ke arah Ben.

Cowok itu segera membuka pintu kulkas dan mengambil sebuah botol air mineral lantas meneguk isinya. Sensasi dingin mengalir perlahan di dalam tenggorokannya.

"Habis jogging, Ben?" tegur Mama Ben tanpa menoleh. Perhatiannya masih saja terfokus kepada bawang yang sedang ia kupas. Semenjak seminggu belakangan, wanita itu mulai terbiasa melihat putra semata wayangnya pulang jogging dengan kaus yang lembab, juga beberapa kosakata bahasa Inggris yang sering putranya lontarkan. Rasanya Ben perlu beradaptasi lagi setelah sekian lama berada jauh di negeri orang.

"Uhm." Ben hanya menggumam pelan merespon pertanyaan mamanya. "Papa mana? Udah berangkat, Ma?" Ben melangkah ke meja makan usai mengembalikan botol air mineral kembali ke sarangnya dan menutup rapat pintu kulkas. Sebelum meletakkan pantat di kursi ia sempat mencomot sebuah pisang dari atas meja makan.

Mama Ben mengangguk. "Kamu mau makan sesuatu, Ben? Mama bikin omelet keju lho..." tawar wanita itu sambil melirik ke arah Ben yang sudah menggigit ujung pisang dalam genggamannya.

"Ntar aja, Ma," tolak Ben mentah-mentah.

"Oh ya, Papa menyuruhmu datang ke kantor siang ini. Kamu bisa, kan?" tanya mama Ben tiba-tiba berganti topik.

Ben mendesah pelan. Jengah.

"Mom," Ben menghela napas panjang. "kita sudah pernah membahas ini sebelumnya, kan?"

"Mama tahu," timpal Mama dengan nada kalem. "Tapi kamu bahkan belum memberi jawaban pada papa."

Ben mengunyah pisangnya lebih lambat dari sebelumnya. Ia jadi sedikit menyesal pulang lebih cepat dari jadwal yang ditentukan. Harusnya ia lebih lama tinggal di New York. Mungkin satu atau dua bulan lagi. Mencari pekerjaan di negeri Paman Sam itu juga bukanlah sebuah ide buruk baginya.

"Ben." Mama bersuara kembali. "Papa nggak suka dikecewakan. Kamu tahu itu kan?" Wanita itu menatap putranya dalam-dalam. Gerakan tangannya mengupas bawang juga terhenti.

"Yes, Mom. I will..." Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Ben beberapa saat kemudian. Setelah terjadi peperangan di dalam batinnya. Papa tidak suka dikecewakan, batinnya mengulangi ucapan mama.

"Thanks," sahut Mama Ben cepat. Senyum lebar langsung terkembang di bibir wanita berusia 50 tahun itu. Ia tahu Ben terpaksa menyatakan persetujuannya. Tapi, Ben juga tidak akan pernah tega mengecewakan hati kedua orang tuanya.

°°°

"Kamu tahu kan, Papa mengirimmu jauh-jauh ke Amerika untuk belajar bisnis?" Papa Ben yang sedang menyandarkan punggung di sandaran sofa, menatap putra semata wayangnya dengan lekat-lekat. Laki-laki itu duduk dengan menyilangkan salah satu kakinya.

Ben yang setengah tertunduk hanya mengangguk tanpa berkomentar apapun.

"Jadi ...," Papa Ben menghela napas panjang. "kapan kamu siap bergabung dengan perusahaan?" lanjutnya. Secercah pengharapan terbit di kedua matanya yang terlihat mulai redup termakan waktu. Papa Ben sudah tidak muda lagi. Usianya lebih dari setengah abad sekarang.

"Pa ...."

"Ben." Papa menukas kalimat putranya dengan cepat. Sebelum Ben benar-benar mengajukan sebuah penolakan dan mengecewakan dirinya. "Papa tahu kamu sama sekali nggak tertarik dengan bisnis yang Papa jalani. Tapi, bagaimanapun juga kamu adalah putra satu-satunya Papa sekaligus pewaris tunggal semua aset milik keluarga kita. Jadi, Papa mohon mulai sekarang kamu harus belajar mengelola perusahaan. Kalau bukan sekarang kapan lagi, Ben? Papa sudah tidak muda lagi, kamu tahu itu kan?"

Ben terdiam dan menatap gusar ke satu titik fokus di lantai. Tanpa dijelaskan pun, Ben sudah tahu maksud Papa memanggilnya ke kantor. Soal perusahaan.

"Ben ...," tegur Papa kembali. Karena kediaman Ben malah membuatnya punya banyak kesempatan untuk mengatakan semua yang ada dalam pikirannya.  "kapan kamu bisa mulai bekerja? Papa nggak sabar ingin memperkenalkanmu pada relasi Papa," desak Papa setengah memaksa.

Ben mengangkat dagu dan menatap wajah Papanya. "Apa harus secepat ini, Pa?"

"Nggak juga." Papa menggeleng sebentar dan mulai berpikir untuk merubah strateginya. Jika terlalu dipaksa nanti Ben malah terbebani. "Papa bisa menunggu. Terserah kamu mau bekerja kapan. Papa nggak akan memaksa. Tapi jangan lama-lama, Ben."

"It's ok," sahut Ben akhirnya setelah tertegun selama berdetik-detik lamanya. Toh, ia tak bisa mengelak dari kewajiban ini. Perusahaan yang dibangun Papa dari nol ini kelak akan menjadi tanggung jawab Ben sepenuhnya. "Ben akan bergabung dengan perusahaan ini."

Papa mengembangkan senyum semringah mendengar jawaban putranya. Harusnya dari awal Ben tidak berbelit-belit seperti ini dan membuatnya sedikit khawatir, kan?

"Ben. Papa punya satu permintaan lagi buat kamu," ucap Papa selang beberapa detik kemudian setelah senyum di bibirnya surut. Namun, kebahagiaan masih terpancar jelas dari dalam matanya.

Ben mengerutkan kening. "Permintaan?" gumam cowok itu dengan tampang bingung.

"Menikahlah ...."

Ben terenyak. Kaget bukan kepalang mendengar permintaan Papa. Ia sama sekali tak menduga Papa punya ide se-mengejutkan itu untuk dirinya. Menikah? batinnya syok.

"Pa!" Ben setengah berteriak. Hendak protes. Papa sudah berhasil membujuknya untuk bekerja di perusahaan, lalu sekarang ia meminta Ben menikah. Unbelievable!

"Papa berencana menjodohkan kamu dengan putri sahabat Papa," jelas Papa seperti tak terpengaruh dengan sikap dan teriakan Ben yang cukup mengganggu pendengarannya. "Papa sudah bersahabat  dengannya semenjak SMA. Sampai sekarangpun kami masih berkomunikasi. Dan kebetulan sahabat Papa itu pindah ke sini setahun yang lalu. Papa juga sudah pernah bertemu dengan putri sahabat Papa itu. Dia cantik Ben ...."

Ben menghela napas panjang mendengar penuturan singkat tentang riwayat persahabatan Papa dengan temannya di masa lalu. Dadanya sedikit terguncang, tapi ia masih baik-baik saja sampai detik ini.

"Pa ...," Ben mulai angkat bicara setelah berhasil menenangkan guncangan di dalam dadanya. "it's ok-lah kalau Papa menyuruh Ben meneruskan bisnis Papa, Ben nggak keberatan. Tapi, kalau dijodohkan, Ben rasa ini nggak masuk akal, Pa. Ben udah dewasa dan Ben bisa nentuin masa depan Ben sendiri. Termasuk dalam memilih pasangan," tutur Ben dengan nada sedikit merangkak naik.

"Papa tahu ini sedikit kolot," sela Papa menyadari apa yang ia dan sahabatnya lakukan. "Tapi, Papa hanya berusaha mencarikan istri untuk kamu yang jelas asal usulnya, Papa kenal baik orang tuanya, dan kalian bisa langsung menikah. Pacaran hanya akan membuang waktu, Ben."

"Sorry, Pa!" potong Ben cepat. "Untuk yang satu ini Ben nggak bisa. Ben belum ingin menikah sekarang ini," tegas cowok itu dengan rahang mengeras. Seumur hidup, ia tidak pernah sekecewa ini pada Papa. Menikah adalah hal paling sakral dan akan Ben lakukan sekali seumur hidup. Tapi, bagaimana mungkin ia menikah dengan pilihan Papa dan bukan dengan cara yang natural seperti kebanyakan orang lain lakukan?

"Benedict Andrianus!"

Teriakan Papa menggema di dalam ruangan itu. Namun Ben sudah terlanjur bangun dari atas sofa dan bersiap melangkah pergi dari ruang kerja Papanya yang mungkin kelak akan menjadi miliknya itu.

"Ben pergi dulu, Pa," pamit Ben seraya melirik Papa sesaat sebelum akhirnya mengambil langkah-langkah panjang keluar dari ruangan itu. Bahkan ia sama sekali tak menghiraukan teriakan Papa yang memanggil nama panjangnya. Papa marah. Begitu juga dirinya.

Ben menggerutu sendirian saat keluar dari kantor Papanya. Bahkan sapaan dari Lala--sekretaris Papa--sama sekali tidak digubrisnya.

Perjodohan? Di abad ini? Lucu sekali. Juga tidak logis. Bukannya jodoh di tangan Tuhan? batinnya sambil terus melangkah keluar dari gedung megah itu.

•••


Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang