"Kamu sudah menghubungi Ivan?" Mama menyodorkan piring berisi roti tawar panggang dengan olesan selai kacang di atasnya ke hadapan Ben.
Ben mengernyit.
"Ivan siapa, Ma?"
"Ivan Gunawan. Memangnya siapa lagi? Bukannya kamu mau menikah dua bulan lagi? Kamu harus bersiap mulai dari sekarang, Ben. Kalau untuk urusan gedung dan catering, biar Mama dan Tante Runi yang mengurus."
"Oh." Ben tak berkomentar. Hanya membulatkan bibir dan cowok itu memilih untuk meneguk teh melati buatan Mamanya.
"Kata Tante Runi, Anne ingin merancang sendiri gaun pengantinnya. Jadi tinggal kamu yang harus mempersiapkan pakaian pengantinmu sendiri, Ben."
Ben takjub mendengar sekelumit informasi berharga yang baru saja mengalir dari bibir Mamanya. Bahkan gadis itu dengan sukarela merancang gaun pengantinnya sendiri? Ini sulit dipercaya.
"Kamu juga harus segera mendata calon tamu undangan, Ben. Biar undangannya bisa segera dicetak ...."
"Iya, Ma," jawab Ben kikuk.
"Kenapa? Kamu dan Anne ada masalah? Kalian bertengkar?" Mama menangkap seberkas ketidakberesan terpancar dari sorot mata Ben. Wanita itu mendelik saat mencermati wajah putra semata wayangnya.
Ben menggeleng kuat-kuat seperti robot.
"Nggak kok, Ma. Ben dan Anne baik-baik aja. Kenapa Mama bisa mikir kayak gitu?" Cowok itu segera menyibukkan diri dengan roti panggang dengan selai kacangnya.
"Nggak. Mama cuma menebak," kilah Mama. Wanita itu celingukan mencari Papa Ben yang belum muncul padahal sarapannya telah siap. "Papa mana, Ben?"
"Paling-paling masih di kamar mandi," gumamnya sembari mengunyah.
Setelah menuntaskan sarapannya, Ben bergegas berangkat ke kantor tanpa menunggu Papa. Seperti biasa. Ben lebih suka membawa mobil sendiri ketimbang bareng Papa. Namun saat melintas di dekat taman komplek, ia sempat melihat Yongki sedang jogging bersama seorang gadis. Sepertinya ada kabar menggembirakan, batin Ben sambil mengulum senyum. Bisa jadi dalam waktu dekat bakal ada dua resepsi pernikahan di komplek perumahan itu. Mungkin Ben akan menanyai Yongki akhir pekan nanti saat ia libur. Ketika mereka jogging bersama di seputaran komplek.
°°°
Papa sudah pulang sejam yang lalu. Namun Ben masih bertahan di ruangannya dan menatap lurus ke arah layar laptop. Mengabaikan betapa bersahabatnya cuaca di luar sana. Matahari senja menyorot dengan hangat dan menampilkan pemandangan menakjubkan di langit. Sapuan warna oranye terlihat bak selembar kain sutra yang terbentang di atas sana. Tapi cowok itu masih tekun dengan pekerjaannya dan tak sadar jika waktu terus merambat.
Ponsel milik Ben bergetar singkat, mengisyaratkan satu notifikasi masuk. Entah dari siapa, tapi sudah cukup mengusik konsentrasi cowok itu.
Ben menggeliat pelan dan tersadar jika ia harus segera pulang sekarang. Atau Mama akan mengomel lagi seperti kemarin karena ia pulang terlambat. Memangnya perusahaan itu milik siapa, kenapa harus lembur segala? Sebagai calon pewaris tunggal segenap aset perusahaan, Ben tak perlu bekerja sekeras itu. Bahkan sederet omelan Mama masih terngiang jelas di telinganya. Sungguh, Ben tidak mau mendengarnya lagi.
Cowok itu melenguh pelan ketika membaca pesan singkat yang dikirim dari operator ponselnya. Mereka menawarkan paket internet murah mulai dari harga dua ribu rupiah. Oh my god!
It's time to go home.
Ben bergegas mengemasi meja kerjanya dan bersiap untuk pulang. Pemandangan langit yang menampilkan warna oranye di langit telah pudar, pertanda matahari sudah pulang ke peraduannya. Ben juga. Ia harus segera angkat kaki dari kantor sebelum jalanan gelap dan kemacetan luar biasa menahannya lebih lama di jalanan. Dan bisa jadi sederet omelan akan diterima Ben lagi.
Kantor telah sepi. Hampir semua staf telah meninggalkan meja kerja masing-masing, namun Ben masih sempat berpapasan dengan petugas kebersihan di depan pintu lift. Dan ketika langkah-langkah Ben menapaki lantai lobi, cowok itu terpaksa menghentikan gerakan sepatunya begitu ia menangkap penampakan sesosok tubuh sedang berdiri kaku di ujung sana.
Ben benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat gadis itu berdiri di dekat pintu masuk gedung. Benarkah itu dia? batinnya ragu.
Gadis itu mengurai senyum tipis ketika melihat Ben muncul dari pintu lift. Dengan langkah-langkah kecil ia berusaha mendekat ke tempat Ben berdiri kaku.
"Ben," sapanya manis.
Ben mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia takut dirinya hanya berhalusinasi. Tapi bayangan gadis itu tak kunjung lenyap dari pandangannya. Itu memang Anne. Tapi apa yang membawa gadis itu datang jauh-jauh ke kantornya? Apa ia naik ojek lagi?
"Kenapa kamu ke sini?" tegur Ben setelah yakin jika gadis yang sedang berdiri di depannya benar-benar Anne. Ia tampak cantik dengan balutan cardigan cokelat dipadu dengan celana pensil hitam. Rambut panjangnya yang biasa terurai bebas tak tampak lagi. Anne menguncir rambut panjangnya kali ini. Riasan wajahnya juga terlihat lebih tebal dari biasanya. Hanya saja di pundaknya masih menggantung sling bag yang biasa ia pakai. Selebihnya ia terlihat sangat cantik. Dan bersemangat.
"Kamu nggak suka aku datang ke sini?" Wajah cerah gadis itu sedikit memudar karena pertanyaan Ben.
"Bukan." Ben menggeleng dengan cepat. "Bukan itu, Ne. Aku cuma kaget aja karena tiba-tiba kamu datang ke sini tanpa pemberitahuan. Untung aku masih di kantor, kalau aku udah pulang gimana?"
Anne tersenyum kecil.
"Maaf, Ben," ucapnya.
Ben mendesah berat. Gadis itu memang susah ditebak apa maunya. Terakhir kali mereka bertemu terjadi ketegangan luar biasa yang membuat cowok itu nyaris putus asa. Tapi sekarang, sikap Anne yang menggemaskan itu membuat seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan Ben masih menyimpan sebaris pertanyaan di dalam kepalanya. Apa Anne masih mengharapkan Niel kembali?
"Lalu apa yang membawamu ke sini?" tanya Ben penasaran. Beberapa hari yang lalu Anne datang dan menceritakan soal mimpinya tentang Niel. Bagaimana jika kali ini ia datang dengan membawa cerita lainnya? Mungkin tentang Niel juga?
"Aku merindukanmu, Ben."
Ben terperangah mendengar sebaris pernyataan gadis itu. Anne merindukannya? Benarkah?
"Aku nggak."
"Ben!"
Rasanya Ben ingin sekali meledakkan tawa melihat ekspresi Anne. Gadis itu mencebik kesal dan seketika menekuk wajahnya. Dan pukulan kecil harus Ben terima di lengannya.
Tapi sejujurnya Ben sangat bahagia mendengar pengakuan gadis itu. Meski ia harus berbagi ruang di dalam hati Anne dengan Niel, Ben tetap merasa senang. Setidaknya ia masih punya sedikit arti untuk gadis itu.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis#
RandomSetelah kepulangannya ke Indonesia, Ben dijodohkan dengan Anne, putri salah satu sahabat Papa Ben. Cinta tidak datang begitu saja pada Ben. Tapi begitu melihat begitu banyak hal misterius pada diri Anne, Ben mulai tertarik dengan gadis itu. Dan suat...