Chapter 3

21.6K 350 0
                                    

Anne.

Sebuah nama panggilan yang sederhana, singkat, dan manis terdengar di telinga. Rasa-rasanya baru kali ini Ben mendengar nama itu sepanjang hidupnya. Pasalnya nama itu tidak sepopuler nama 'Anna' atau 'Ani'. Tapi nama 'Anne' akan sering Ben dengar setelah malam ini usai.

Cantik?

Ada yang bilang, semua wanita cantik. Itu benar. Dan istilah cantik bagi Ben relatif. Terkadang cantik tidak sekadar dinilai dari wajah dan penampilan, tapi lebih menjurus pada kecantikan dari dalam. Singkatnya Anne lumayan cantik, namun Ben belum bisa menentukan jika gadis itu benar-benar sesuai tipenya sebagai pendamping hidup.

Perawakan gadis itu tak begitu tinggi. Jika disandingkan dengan Ben tingginya hanya sepundak cowok itu. Mungkin hormon pertumbuhan pada diri Ben saja yang terlalu bagus sehingga ia tumbuh mencapai angka 180 centi.

Tubuh Anne langsing, bahkan bisa dikatakan cenderung kurus. Karena tulang pipi dan tulang di lehernya sedikit mencuat keluar.
Mata gadis itu tak begitu lebar dan menyorot dengan sayu. Bibirnya tipis, hidungnya agak mancung. Rambutnya panjang sepunggung dan sedikit ikal pada bagian ujungnya.

"Dengar-dengar Ben baru pulang dari New York, ya?" tanya Om Sadewa, Ayah Anne. Laki-laki paruh baya itu berhasil mengalihkan perhatian Ben dari sosok gadis yang duduk di sebelah Om Sadewa. Anne dan kebisuannya.

"Iya, Om," sahut Ben sedikit kaku. Ia sedang mencoba mengembangkan senyumnya sealami mungkin. Ah, apa sedemikian sulit berbincang dengan 'calon mertua'? batinnya gusar. Setidaknya ia harus menjaga sopan santun demi kedua orang tuanya, kan?

"Kapan datang?" sambung Ayah Anne kembali.

"Dua minggu yang lalu, Om," jawab Ben sopan.

"Baguslah," sahut Ayah Anne setengah berdecak. "Adik Anne juga sedang kuliah di Jepang. Tahun depan dia lulus. Nggak tahu mau kerja di mana nantinya. Katanya dia betah tinggal di sana. Ah, waktu terasa begitu cepat berjalan. Anak-anak juga tumbuh semakin dewasa." Laki-laki itu menderaikan tawa renyah ke sekeliling ruang tamu dan semua orang melakukan hal yang sama. Kecuali Ben dan Anne yang malah terperangkap dalam situasi canggung.

"Kita juga bertambah tua ...." sambung Papa Ben masih dengan seulas tawa menghias bibirnya.

"Waktu berjalan sesuai alurnya. Hanya saja kita yang terlalu sibuk dengan urusan dunia sampai-sampai nggak sadar kalau umur semakin tua. Dan sudah saatnya menyambung generasi. Bukan begitu?" ucap Ayah Anne masih dengan topik yang sama. Tetapi di telinga Ben ini malah terdengar sebagai basa basi ringan yang sepertinya tak perlu dibahas sedemikian rupa.

"Kamu bisa saja, Wa. Kamu nggak berubah dari dulu, suka bicara muluk-muluk," ucap Papa Ben sambil mengibas lalu terbahak cukup keras.

"Salah sendiri mau berteman dengan orang yang suka bicara muluk-muluk," balas Ayah Anne diikuti deraian tawa.

Perbincangan antara Papa Ben dan Ayah Anne terdengar sangat akrab dan kerap kali diselingi canda tawa. Seolah mereka menjadikan pertemuan keluarga itu sebagai reuni kecil-kecilan dan bukan acara perkenalan dalam rangka menjodohkan putra putri masing-masing pihak. Memaksa Ben harus berkali-kali menahan napas geram ketika melihat Papanya bersenda gurau dengan Ayah Anne. Padahal kemarin mereka sempat bersitegang saat berbincang di kantor Papa. Tapi sekarang, semua ketegangan itu sudah lenyap tak bersisa di wajah Papa Ben.

°°°

Ini adalah tugas pertama Ben sebagai 'calon suami' Anne. Pasalnya beberapa detik yang lalu Ibu Anne meminta Ben agar menjemput putrinya di butik. Terang saja Ben tak bisa menolak dan langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang.

Ben menengadah ke atas dari balik jendela kaca yang terpasang di salah satu bagian dinding kamarnya setelah menutup sambungan telepon. Langit terlihat berwarna putih pucat dengan sedikit gumpalan awan kelabu pekat dan sedang meneteskan titik-titik air ke bumi. Bisa dipastikan gerimis akan bertahan cukup lama sore ini. Itulah kenapa Ibu Anne meminta Ben untuk menjemput putrinya. Karena hujan. Dan konon Anne tak bisa terkena air hujan. Gadis itu bisa sakit jika kehujanan sedikit saja. Serentan itukah fisik Anne? batin Ben tak yakin. Atau ini hanya akal-akalan Ibu Anne agar Ben dan Anne lebih dekat?

Damn it! keluh Ben kesal seraya membanting ponselnya ke atas tempat tidur. Cowok itu paling malas kalau disuruh keluar saat hujan atau gerimis sekalipun seperti sekarang. Karena hujan bisa membuat suasana hatinya buruk dan ia enggan untuk berbasah-basahan.

Ben menghela napas panjang lantas berjalan gontai ke kamar mandi untuk mencuci muka sebelum akhirnya menyambar selembar jaket yang tergantung di balik pintu kamarnya. Ia merasa tak perlu membasuh tubuh atau berganti pakaian kalau hanya untuk menjemput Anne. Ia masih setampan biasanya meski belum tersentuh sabun mandi.

Memang, Anne cantik. Tapi Ben merasa belum tertarik pada gadis itu.

"Mau kemana Ben?!"

Mama berteriak begitu melihat putra semata wayangnya turun dari tangga dengan langkah terburu-buru. Berjaket pula. Wanita itu sampai mengerutkan kening saking herannya. Setahunya Ben adalah tipe orang yang tidak suka keluar di saat hujan dan lebih memilih menghabiskan waktunya untuk tidur ketimbang bercengkrama dengan air hujan.

"Menjemput Anne, Ma." Cowok itu menghentikan langkah setelah berhasil menapaki seluruh anak tangga. "Tadi Tante Runi menyuruh Ben untuk menjemput Anne di butik," jelas Ben menjawab seluruh keingintahuan Mamanya.

"Oh." Mama hanya manggut-manggut tanpa mengeluarkan komentar apa-apa.

"Ben pergi dulu, Ma," pamit Ben sejurus kemudian.

"Hati-hati bawa mobilnya, Ben!" pesan mamanya setengah berteriak. Karena anak itu sudah terlanjur mengayunkan langkah-langkahnya. Semoga Ben masih mendengar suaranya, harap wanita itu sembari tak lepas menatap punggung putra semata wayangnya sampai menghilang di balik pintu depan.

Ben tak menyahut. Ia menutup pintu depan dan bergegas melanjutkan langkah menuju ke garasi mobil seolah tak pernah mendengar pesan Mamanya. Beberapa saat kemudian mobil Ben meluncur menembus tetes-tetes air hujan yang berjatuhan.

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang