I will leave my heart at the door
I won't say a word
They've all been said before, you know
So why don't we just play pretend
Like we're not scared of what is coming next
Or scared of having nothing left
Look, don't get me wrong
I know there is no tomorrowAll I ask is
If this is my last night with you
Hold me like I'm more than just a friend
Give me a memory I can use
Take me by the hand while we do what lovers do
It matters how this ends
Cause what if I never love again?I don't need your honesty
It's already in your eyes
And I'm sure my eyes, they speak for me
No one knows me like you do
And since you're the only one that matters
Tell me who do I run toLet this be our lesson in love
Let this be the way remember us
I don't wanna be cruel or vicious
And I ain't asking for forgiveness
***Ben merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur lantas menarik napas panjang. Sayup-sayup lagu itu terdengar mengalun dari ponsel miliknya. Lagu yang sama, yang sempat menimbulkan reaksi berlebihan dari Anne kemarin sore saat Ben mengantar gadis itu pulang. Tapi mungkin saja bukan karena lagu itu yang membuat Anne mematikan radio di mobil Ben dengan tiba-tiba. Bisa saja ia tidak suka dengan suara berisik yang akan mengganggu lamunannya, kan?
Sejak tadi Ben tak lepas berpikir tentang gadis aneh itu. Karena Anne tak seperti kebanyakan gadis yang ia temui sebelumnya, yang langsung tertarik pada fisik Ben yang bisa dikatakan nyaris sempurna. Tampan, tinggi, postur atletis, plus senyum menawan. Bahkan jika Ben mau, ia bisa mendapatkan gadis mana saja yang ia inginkan. Hanya saja ia tidak mau bermain-main soal cinta dan perasaan. Ben percaya, jika saatnya telah tiba ia akan menemukan seseorang yang membuatnya jatuh hati. Di saat itulah ia akan berkomitmen serius.
Apakah seseorang itu Anne? Ben tidak tahu.
Anne benar-benar berbeda dari yang lain. Tak seperti Amber, Michelle atau Lindsay. Mereka semua gadis normal dan memiliki sisi humanisme yang tinggi. Ramah dan ceria serta bisa menunjukkan sisi hangatnya pada orang lain. Tapi Anne? Gadis itu seolah hidup dalam dunia yang ia bangun sendiri. Berselimut ego dan hanya Anne yang tahu penyebabnya.
"Ben!"
Ben terguncang mendengar teriakan Mamanya. Cowok itu terbangun dan segera bangkit dari tempat tidur.
"What happen, Mom?"
"Mama panggil-panggil kamu dari tadi, tapi kamu nggak jawab," ujar Mama sewot. Wanita itu sudah berdiri di depan pintu kamar Ben yang terkuak lebar. Seingat Ben, ia sudah menutup pintu kamarnya rapat-rapat
Ben mendengus. Cowok itu segera mematikan musik di ponselnya.
"Nggak ada acara menjemput Anne, Ben?" cecar mama Ben penuh selidik.
"Kan nggak hujan Ma," celutuk Ben sekenanya sambil mengusap kepalanya. Apa itu kode bahwa ia tidak ingin kepalanya basah oleh air hujan?
"Hush! Apa harus nunggu hujan dulu baru menjemput Anne?" kilah Mama kesal. "Dia kan calon istrimu, Ben," Mama mengingatkan.
"I know," gumam Ben pelan.
"Menurut kamu Anne gimana?" tanya Mama seraya melangkah ke tempat tidur Ben lalu meletakkan tubuhnya di sana. Sementara kedua matanya sibuk memperhatikan raut wajah Ben.
"Gimana apanya?" tanya Ben cuek. Berlagak tak paham maksud Mamanya. Ia merebahkan kembali tubuhnya ke atas tempat tidur. Malas menanggapi pertanyaan Mamanya. "Baru juga kenal dua hari," selorohnya.
"Menurut kamu dia cantik nggak?" tanya Mama kemudian. Setengah mendesak karena ia belum menemukan sesuatu reaksi aneh dalam gelagat putranya.
"Cantik itu relatif, Ma," sahut Ben asal-asalan.
"Mama tahu itu," sahut Mama Ben kesal. "Tapi secara pribadi, gimana Anne? Cantik nggak?" Mama sampai harus mengulangi lagi pertanyaannya. Kali ini dengan kata-kata yang lebih diperjelas lagi.
"Menurut Ben, Mama lebih cantik," tandas Ben bermaksud menggoda sekaligus menguji kesabaran Mamanya.
"Mama serius, Ben," geram wanita itu menunjukkan kekesalannya. Padahal pertanyaan seperti itu mudah sekali menjawabnya, tapi Ben malah berbelit-belit dan memancing emosi. "Memang sih, Anne nggak secantik Kim Tae Hee atau Song Hye Kyo. Tapi setiap wanita memiliki sisi cantik tergantung siapa yang melihatnya. Kamu mengerti maksud Mama, kan? Jangan sok bego, deh."
Ben tersenyum kecil mendengar serentet kalimat yang baru saja meluncur dari bibir Mamanya.
"Yang Mama maksud tadi siapa, Ma? Ben nggak kenal," tanya Ben sambil mengerutkan kening. Perasaan tadi Mama menyebut beberapa nama asing yang baru kali ini Ben dengar. Tapi Ben sama sekali tidak familiar dengan nama-nama itu.
"Mereka itu aktris Korea favorit Mama. Sekali-kali coba deh nonton drama Korea. Akting mereka bagus, Ben. Kamu pasti suka," jelas Mama sekaligus berpromosi. Seketika kekesalan di wajahnya lenyap digantikan senyum tipis menghias bibir wanita yang sudah melahirkan Ben itu.
"Nggak deh, Ma," tolak Ben mentah-mentah. Sebuah senyum pahit turut diukir cowok tampan itu. "Mama aja yang nonton."
"Sebaiknya kamu jemput Anne, deh," suruh Mama sejurus kemudian karena bicara dengan Ben terkadang melelahkan juga dan tidak ada ujungnya. Ben juga sedikit menyebalkan. Pasalnya tiap diajak bicara serius, tanggapan Ben selalu sebaliknya. "Senggaknya kamu punya kegiatan sampai kamu bekerja di kantor Papa," imbuhnya lagi mencari alasan.
Ben tertegun mendengar perintah Mama. Meski hati kecilnya ingin sekali menolak, tapi ia tak kuasa melakukannya.
"Yes, Mom."
Karena Ben tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Mamanya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis#
RandomSetelah kepulangannya ke Indonesia, Ben dijodohkan dengan Anne, putri salah satu sahabat Papa Ben. Cinta tidak datang begitu saja pada Ben. Tapi begitu melihat begitu banyak hal misterius pada diri Anne, Ben mulai tertarik dengan gadis itu. Dan suat...