Anne menaikkan dagunya saat mengetahui kedatangan Ben yang tiba-tiba padahal sekarang masih siang dan belum waktunya untuk menutup butik. Bahkan cowok itu meletakkan sekotak donat ke hadapan Anne seolah tak pernah terjadi sesuatu yang menegangkan kemarin. Gadis itu terperangah menyaksikan tingkah laku Ben yang menurutnya sangat tidak wajar.
"Apa ini?" tanya Anne bingung.
"Donat," jawab Ben pendek. Setelah mengunjungi Ibu Anne beberapa saat yang lalu, Ben sengaja mampir ke toko roti langganan Mamanya dan membeli sekotak donat. Cowok itu punya rencana lain di dalam kepalanya usai mengetahui sekelumit kisah hidup Anne.
Anne melenguh pelan. Ia tak pernah berharap bisa bertemu lagi dengan Ben setelah peristiwa kemarin.
"Aku nggak lapar," tandas Anne sejurus kemudian. Gadis itu menggerakkan tangannya kembali di atas meja. Pasalnya kedatangan Ben benar-benar mengganggu konsentrasinya menggambar.
"Kamu sangat kurus, Ne," ucap Ben tak kehilangan akal. Terlalu dini untuk menyerah di saat ia baru saja ingin berjuang meraih perhatian gadis itu. "Lagian ini udah jam makan siang. Kamu harus makan meski cuma sedikit, okay?"
Anne menghela napas kesal mendengar kalimat Ben yang mirip rayuan gombal.
"Aku sudah bilang kan, kalau aku nggak lapar," kata Anne ketus.
"Kalau kamu nggak mau makan donat itu, buang aja," tukas Ben enteng dan seperti tanpa beban sama sekali. "Tempat sampahnya ada di dekat kakimu tuh," tunjuk cowok itu masih dengan gaya kalem seperti tak terpengaruh dengan sikap dan ekspresi wajah Anne yang menyiratkan kemarahan. Pasti sulit untuk melupakan peristiwa buruk yang terjadi kurang dari 24 jam lalu.
"Ben ..." Anne terperangah mendengar kata-kata Ben. Apa cowok itu sudah gila sampai-sampai menyuruhnya membuang-buang makanan? batin Anne tak percaya. Ben bisa membawa makanan itu pulang atau memberikannya pada orang lain, kan?
"Kenapa? Sayang, ya?" Ben tersenyum pahit sambil terus mengawasi perubahan mimik wajah Anne. Ia memang sengaja ingin memancing reaksi gadis itu. "Harga donat itu nggak mahal kok. Tadi kebetulan ada diskon. Lagian apa sih artinya uang segitu?" Ben berlagak sombong.
Anne mendelik tajam ke arah Ben dan tingkah lakunya yang menyebalkan itu.
"Sebenarnya apa sih yang kamu inginkan, Ben?"
"Ne ...," Ben menatap lurus ke arah sepasang mata milik Anne yang menyorot tajam padanya. Di sana, di dalam kedua mata Anne, begitu banyak cerita sedih yang tersimpan. Entah berapa banyak air mata tertumpah dari kedua telaga bening itu. "apa susahnya sih, makan pemberian orang lain? Kamu nggak sadar kalau di luar sana ada ribuan bahkan jutaan orang meninggal karena kelaparan? Harusnya kamu lebih menghargai makanan, Ne. Kamu ngerti kan?" Ben sedikit menekan intonasi suaranya.
Anne bergeming. Gadis itu merasa tertohok akan ucapan Ben. Ia merasa diceramahi cowok itu sekarang. Sungguh, Anne tidak pernah bermaksud tidak menghargai makanan seperti perkataan Ben tadi. Ia hanya ....
"Aku juga punya sesuatu yang lain buat kamu," kata Ben seketika menghancurkan lamunan gadis itu. Dari dalam saku kemejanya, Ben mengeluarkan dua lembar kertas undangan dan mengulurkan benda itu pada gadis di hadapannya.
Anne mengernyitkan dahi. Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tadi Ben membawakan donat untuknya dan sekarang cowok itu mengulurkan dua lembar kertas entah apa isinya.
"Apa ini?" gumam Anne pelan. Ia bahkan belum berniat meraih ujung lembaran kertas yang disodorkan Ben kepadanya.
"Undangan fashion show Ivan Gunawan," jelas Ben kemudian. Ia berharap Anne terkejut sekaligus gembira bukan kepalang menerima undangan itu.
"Oh ..." Anne terperangah. Takjub. Bahkan gadis itu tidak tahu harus bersikap bagaimana. Apa ia harus gembira atau mengabaikan undangan itu seperti ia menolak donat pemberian Ben tadi? Tapi bagaimana Ben bisa memperoleh undangan fashion show Ivan Gunawan? batin Anne yang masih bergelut dengan kebimbangannya.
"Kita bisa pergi bersama kalau kamu mau," tawar Ben setengah tersenyum. Karena ia berhasil membuat gadis itu tak berkutik di depannya kali ini. "Kalau kamu nggak mau, buang aja. Kamu tahu kan tempat sampahnya?"
"Ya, aku mau," sahut Anne tanpa diduga. Gadis itu buru-buru menyambar dua lembar kertas undangan di tangan Ben dengan gerakan cepat.
Ben bersorak dalam hati. Rencana pertama berhasil, batinnya girang. Setelah ini tinggal memikirkan rencana berikutnya.
"Sekarang kamu makan donatnya, ya?" Ben mengingatkan gadis itu agar segera menyantap donat pemberiannya.
"Tapi Ben ...."
"Kamu nggak suka?" tukas Ben cepat. "Aku bisa membelikanmu makanan lain kalau kamu nggak suka," tawarnya tak kurang ide.
"Baiklah," ucap Anne tiga detik kemudian setelah menimbang-nimbang. "Aku akan makan."
Yes! Ben berteriak kegirangan dalam hati. Akhirnya Anne mulai mencairkan hatinya. Yeah, meski cuma sedikit, tapi ini adalah permulaan yang cukup baik. Ben hanya perlu berjuang sedikit lagi untuk benar-benar bisa membuat gadis itu luluh.
°°°
Ben terjaga dari tidur kecilnya.
Oh my gosh! desis Ben setelah membuka lebar-lebar kedua matanya dan tersadar dengan dunia di sekitarnya. Kenapa ia bisa tertidur di dalam butik Anne? sesal cowok itu. Dan sudah berapa lama?
Ben menggeliat sekadarnya untuk meregangkan otot-otot punggungnya yang kaku. Jam dinding yang dipasang di butik sudah menunjuk angka tiga. Tanggung, pikirnya. Lebih baik menunggu beberapa jam lagi sekalian mengantar Anne pulang.
"Apa kamu bisa merancang pakaian buatku?" tegur Ben mengusik kesibukan Anne yang tengah menggoreskan sebatang pensil di atas kertas gambar. Desain pakaian miliknya setengah jadi dan tinggal memoleskan warna yag cocok. Tapi suara Ben berhasil membuatnya terhenti sejenak.
Gadis itu mengangkat wajah lantas menggeleng tanpa suara. Dan sejurus kemudian ia melanjutkan pekerjaannya kembali.
"Kenapa? Apa sulit menggambar pakaian cowok?" desak Ben bawel. Ia mulai memberanikan diri untuk sedikit menggoda gadis itu. Undangan fashion show itu merupakan jalan untuk membuka hati Anne. Semoga lancar ke depannya.
Anne mendengus dan menatap kesal ke arah Ben. Ia tak bisa konsentrasi menggambar jika ada seseorang yang mengganggunya seperti yang dilakukan Ben saat ini.
"Aku nggak bisa," jawab Anne akhirnya. Berharap Ben berhenti mengganggu kesibukannya. Tapi nyatanya cowok itu masih ingin mengusik konsentrasinya.
"Uhm ... kalau begitu, jika suatu saat nanti aku ingin membeli pakaian, kamu harus menemaniku dan memilihkan pakaian yang cocok buatku," cerocos Ben yang tak memperhatikan perubahan raut wajah Anne. Cowok itu menerawangkan matanya ke atas dan berkhayal jika hari itu tiba. Di mana ia dan Anne belanja berdua di mal. Pasti menyenangkan.
"Hentikan, Ben," ucap Anne ketus. Gadis itu sudah tidak tahan lagi dengan sikap Ben yang menyebalkan. Memang ia bersedia pergi ke fashion show itu bersama Ben, tapi bukan berarti Ben bisa melakukan apa saja semaunya sendiri. Anne tidak sedang membuka hatinya saat ini. "Aku nggak suka kamu atau siapapun mengganggu pekerjaanku. Kamu paham?" delik gadis itu jengah.
Ben terenyak melihat reaksi Anne yang ternyata di luar dugaan. Padahal tadi Ben sempat berpikir kalau ia sudah berhasil memecahkan bongkahan batu di dalam hati Anne. Nyatanya bongkahan itu hanya sebagian kecil dari gunung yang berdiri angkuh di sana. Dan sepertinya Ben sudah membuat kesalahan sehingga membuat gadis itu marah. Anne memang sudah ditebak.
"Sorry ..."
Ben buru-buru meminta maaf sebelum gadis itu benar-benar marah. Lebih baik segera memperbaiki keadaan sebelum semuanya bertambah buruk. Kejadian kemarin masih terbayang jelas di dalam benak Ben. Dan ia tak mau menciptakan ketegangan serupa di antara mereka. Ben tak mau menyakiti hati Anne.
Suasana di dalam butik kembali hening dan Anne kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat terganggu karena ulah Ben.
Be patient, Ben.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis#
RandomSetelah kepulangannya ke Indonesia, Ben dijodohkan dengan Anne, putri salah satu sahabat Papa Ben. Cinta tidak datang begitu saja pada Ben. Tapi begitu melihat begitu banyak hal misterius pada diri Anne, Ben mulai tertarik dengan gadis itu. Dan suat...