Chapter 15

14K 270 0
                                    

"Ben ..."

Sayup-sayup alam bawah sadar Ben mendengar seseorang memanggil namanya. Tapi, panggilan lembut itu belum cukup mampu untuk mengusik tidur lelapnya. Cowok itu masih bertahan pada posisinya semula dan kembali melanjutkan mimpi. Padahal cuaca di luar sana cukup  mendukung untuk melakukan jogging, tapi sayangnya Ben sama sekali tak tertarik untuk mengayunkan kedua kakinya seperti biasa.

"Ben ..."

Shit.

Suara itu terdengar kembali menyebut namanya dan kali ini berhasil mengusik tidur Ben.

Please ... it's Sunday!

Ben menggerutu tak keruan dalam hati. Hari ini Minggu dan Ben libur. Tak bolehkah ia menambah jam tidurnya hari ini? Mumpung Ben libur dan inilah satu-satunya kesempatan untuk bermalas-malasan karena tak ada setumpuk pekerjaan yang menunggunya di kantor.

Ben sudah terlanjur terusik dan ia tak bisa melanjutkan tidurnya. Cowok itu memutuskan untuk membuka matanya dan apa yang ia lihat pertama kali membuatnya nyaris terlompat dari tempat tidur.

Oh my gosh!

Dengan gerakan super cepat Ben segera menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan selimut. Pasalnya ia tak memakai pakaian lengkap saat tidur. Hanya sebuah celana boxer saja tanpa atasan apapun dan itupun bergambar Popeye!

Meski tubuhnya terpahat bak seorang atlet, tetap saja Ben merasa malu setengah mati ketahuan sedang bertelanjang dada. Cowok itu gugup bukan main. Kenapa sih, Anne datang sepagi ini ke kamar Ben di saat dia sedang tidur dengan kondisi tidak untuk dilihat oleh seorang gadis?

Apa aku masih tampak ganteng ya, Tuhan? batin Ben salah tingkah. Wajahnya merah padam dan terasa panas.

Anne berdiri kaku di samping tempat tidur Ben. Gadis itu berkali-kali harus memutar bola matanya sekadar mengalihkan tatapan dari wajah Ben. Ia tampak manis memakai dress pink selutut dipadu dengan flat shoes berwarna krem. Di pundaknya menggantung sebuah sling bag kecil berwarna hitam dan tangan Anne sibuk mencengkeram benda itu. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai berhiaskan sebuah jepit berwarna hitam polos. Cantik!

"Pagi, Ben ..." sapa Anne pelan.

"Pagi ..." sahut Ben kikuk bukan main. "Aku ke kamar mandi sebentar, ya."

Ben buru-buru melompat dari atas tempat tidur dan melarikan diri sebelum Anne sempat menjawab. Cowok itu berlari ke kamar mandi dengan membawa serta selimut tebal miliknya. Duh!

Sekitar delapan menit kemudian ...

"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanya Ben setelah keluar dari kamar mandi. Ia sudah mencuci mukanya dengan sabun pembersih wajah, menggosok gigi, dan sedikit membasahi rambutnya agar terlihat segar. Ia sengaja tak mandi karena tak mau membuat gadis itu menunggu terlalu lama.

Anne yang sedang melihat-lihat isi kamar Ben sedikit terkejut karena cowok itu tiba-tiba bertanya. Ia mengulas senyum manis sejurus kemudian untuk menutupi keterkejutannya.

"Wow." Ben berdecak. "Apa senyum itu buatku?" tanya cowok itu percaya diri dan menunjuk ke arah dadanya.

"Itu nggak lucu, Ben," ucap Anne tampak malu. Pipinya merah merona.

"Tampaknya kamu sudah berubah banyak seminggu ini," timpal Ben setengah menyindir. Sejurus kemudian ia menyilakan gadis itu untuk duduk di sofa tunggal di sudut kamarnya.

"Berkat kamu, Ben."

Ben nyengir mendengar namanya disebut. Apa ia tak salah dengar?

"Benarkah?" tanya Ben masih tak percaya dengan apa yang baru saja menyentuh gendang telinganya.

"Aku ingin minta maaf padamu, Ben," tandas Anne seolah tak menggubris keheranan yang melanda cowok itu.

Ben terenyak. Anne minta maaf padanya? Tapi Ben malah merasa perubahan Anne terlalu cepat dan sangat mengejutkan untuknya.

"Untuk apa?" tanya Ben masih dengan rasa heran bercokol di dalam hatinya.

"Untuk keras kepalaku."

Ben mengembangkan seulas senyum pahit.

"Apa aku sehebat itu sampai-sampai bisa membuatmu berubah sedemikian rupa?" Tiba-tiba saja Ben jadi ingat hari itu, di mana Anne sedang berkunjung ke panti asuhan dan membagikan balon pada anak-anak di sana. Gadis itu berbagi senyum dan tawa dengan anak-anak panti.

"Aku banyak berpikir akhir-akhir ini. Dan kupikir ucapanmu benar. Aku memang bukan satu-satunya orang yang pernah kehilangan," ucap Anne. Ia menarik napas sebelum kembali berbicara. "Aku ingin membangun kembali kehidupanku yang sempat hancur dan aku juga ingin melakukan sesuatu yang berguna untuk orang lain. Melakukan kebaikan untuk orang lain nyatanya membawa kebahagiaan bagi diri sendiri."

"That's good," puji Ben. Kepalanya manggut-manggut. Dan ia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Anne telah melakukan kebaikan untuk orang lain dan itu membuatnya bahagia. Syukurlah, batin Ben. "Lalu?" pancingnya penasaran. Apa gadis itu sudah membuka hati lebar-lebar untuk Ben?

"Aku juga ingin memperbaiki hubungan kita," ucap Anne hampir membuat Ben pingsan karena terkejut. "Aku memang pernah kasar padamu, tapi ..."

"Memperbaiki hubungan kita?" sepasang mata Ben menyipit. Cowok itu menukas kalimat Anne begitu saja. Apa aku tidak salah dengar? batinnya takjub. "Maksudnya?"

"Aku ingin mencobanya denganmu ..."

"Mencoba katamu?" ulang Ben dengan kedua alis saling bertaut. Ia benar-benar gagal paham dengan gadis itu. "Waktu aku mendekati kamu, aku nggak pernah main-main, Ne. Dan sekarang kamu bilang ingin mencoba denganku? This is not a game and you can't play with it. Kamu ngerti?"

Anne terdiam sesaat. Gadis itu sedang sibuk mencari padanan kata yang tepat untuk mengungkapkan maksud hatinya.

"Maksudku aku ingin lebih dekat dengan kamu, Ben. Se-nggaknya kita bisa berteman ..."

"Maaf, tapi aku sangat sibuk akhir-akhir ini," timpal Ben cepat. Ia sungguh-sungguh kecewa mendengar pernyataan gadis itu. Apa ia bilang tadi? Berteman? Unbelievable! Mencari teman bahkan bisa ia lakukan di mana saja dan Ben bukan satu-satunya kandidat yang dapat ia jadikan teman. Ben ingin menjadi teman hidup Anne, bukan teman biasa. "Aku nggak yakin punya waktu untuk membuat sebuah pertemanan dengan kamu. Kamu tahu kan, aku sudah bekerja sekarang."

Raut wajah Anne berubah seketika begitu mendengar penolakan Ben. Ada kekecewaan yang jelas-jelas tergambar di sana.

"Apa kamu mulai menyukaiku?" tegur Ben memecah kesunyian yang tiba-tiba tercipta di antara mereka berdua.

Gadis itu masih kukuh dengan kebisuannya. Entah ia tak punya jawaban atau belum mempersiapkannya, Ben tak tahu. Bisa saja Anne sudah tahu perasaannya, bahwa ia tak memiliki perasaan yang sama dengan Ben, namun ia tak mau menyakiti perasaan cowok itu.

Ben tersenyum pahit melihat ekspresi yang terlukis di wajah gadis itu. Ia sudah bisa menebak jawabannya.

"Itulah sebabnya kamu minta kita berteman," tandas Ben. "Karena kamu nggak yakin punya perasaan yang sama denganku. Kamu masih menyimpan cowok itu di dalam hati kamu dan enggan melepaskan dia pergi."

"Aku butuh waktu, Ben."

"Aku tahu," timpal Ben cepat. "Aku nggak maksa kamu untuk menjawab sekarang, Ne. Karena aku nggak mau kamu terpaksa bersamaku. Aku nggak mau hanya dijadikan sebagai tempat pelarian."

"Maaf," gumam Anne lirih. Gadis itu tertunduk.

Aku akan menunggumu, batin Ben sembari tertegun menatap Anne dari atas balkon kamarnya ketika matahari sudah merangkak naik. Ada secuil rasa iba yang ia rasakan ketika melihat langkah-langkah gontai gadis itu yang sedang menyusuri jalan setapak menuju pintu gerbang rumah Ben. Harusnya ia mengantar gadis itu pulang seperti yang dilakukan oleh seorang pria sejati. Tapi Ben membiarkan Anne pergi begitu saja tanpa menawarkan tumpangan sekalipun.

Anne harus mencari tahu perasaannya sendiri, bukan memaksakan diri seperti yang ia lakukan sekarang. Karena Ben bukan tempat untuk mengusir sepi di dalam hatinya. Ben adalah seseorang yang akan menjadi pemilik hatinya kelak, jika Anne memang mengizinkan cowok itu menempati ruang kosong di dalam hatinya.

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang