Chapter 10

15.7K 262 0
                                    

Parah!

Pagelaran fashion show Ivan Gunawan dibuka dengan penampilan penyanyi cantik Raisa. Tapi kenapa ia menyanyikan lagu 'All I ask'? gerutu Ben kesal setengah mati. Lagu itu seketika mengingatkan Ben pada peristiwa di mobil saat Anne tiba-tiba mematikan radio miliknya. Gadis itu bahkan bertingkah aneh dan Ben belum bisa menyimpulkan apa sebabnya. Tapi, sekarang cowok itu mulai bisa membaca situasi. Memang ada yang salah dengan lagu itu.

Ben merasa sangat bersalah pada Anne saat ia melirik dan menelusuri ekspresi gadis itu. Air mukanya terlihat sedih dan matanya berkaca-kaca. Kelihatan sekali jika ia susah payah menahan gejolak dalam dirinya sepanjang lagu itu mengalun. Kedua tangannya yang sedang mengepal tampak bergetar. Ben sangat ingin menggenggam tangan gadis itu, tapi ia terlalu takut untuk melakukannya. Salah-salah Anne malah tersinggung nantinya. Alhasil Ben hanya bisa merutuki diri sendiri.

Awal yang buruk untuk suasana hati Anne.

Suara tepuk tangan yang begitu meriah mengakhiri lagu sekaligus membangunkan kesadaran Ben. Sejak tadi ia hanya melirik ke samping tanpa bisa berbuat apa-apa padahal sang diva sedang menampilkan performa terbaiknya. Jarang-jarang bisa melihat penampilan Raisa sedekat ini, tapi Ben tak menyesal melewatkan pertunjukan sang diva. Para peragawati muncul bergantian sesudah Raisa menghilang di balik panggung. Membuat hati Ben berangsur tenang meski masih ada setitik kecemasan bersarang di dalam benaknya.

Namun, lagi-lagi perhatian Ben tak tertuju pada para peragawati yang sedang berlenggak-lenggok dengan sangat anggun di atas catwalk, memamerkan karya-karya terbaru sang designer. Mereka terlihat cantik, tinggi, langsing, dan seksi. Namun tak ada satupun yang menarik perhatian Ben. Konsentrasi cowok itu hanya terpusat sepenuhnya pada gadis yang sedang duduk di sampingnya. Anne.

Senyum tak berhenti merekah di bibir gadis itu sepanjang pagelaran busana berlangsung. Binar matanya memancar cerah dan terasa hidup ketika menatap ke atas panggung di mana para peragawati sedang hilir mudik memamerkan hasil rancangan terbaru Ivan Gunawan. Kentara sekali jika Anne tak ingin melewatkan setiap momen acara pagelaran busana itu. Ben menyadari sesuatu sekarang, bahwa salah satu hal yang membuat Anne tetap berjuang untuk tetap hidup adalah fashion. Dan Ben haruslah menjadi sebuah alasan lain bagi Anne untuk membuka hatinya. Apa mungkin?

Pagelaran berakhir saat Ivan Gunawan muncul di atas catwalk dengan didampingi segenap pendukung acara yaitu peragawati yang memamerkan hasil rancangan terbaiknya. Tepuk tangan riuh terdengar di segenap penjuru dan kilatan lampu flash menyerang panggung bertubi-tubi.

Ben bergegas menyeret lengan Anne menuju ke backstage ketika panggung telah kosong dan beberapa hadirin sudah meninggalkan kursi mereka. Cowok itu berinisiatif untuk mempertemukan Anne dengan sang bintang, Ivan Gunawan, sesuai rencana. Setelah berbasa basi sebentar dengan Ivan, Ben segera memperkenalkan Anne dan bercerita sedikit tentang gadis itu pada sang designer. Mereka berbincang sebentar sebelum akhirnya berfoto bersama guna mengabadikan kenangan berharga itu. Karena Ivan harus pergi ke tempat lain setelah pagelaran busananya berakhir. Profesinya sebagai perancang busana dan artis mengharuskannya memiliki jadwal yang sangat padat.

Ben melengkapi kejutannya hari ini dengan mengajak Anne makan malam di sebuah restoran western dan gadis itu sama sekali tidak mengajukan penolakan. Mungkin ia sudah kelaparan sama seperti Ben. Cowok itu memesan menu yang sama untuk mereka berdua, beef steak, jamur crispy, dan lemon tea.

"Kamu suka fashion shownya?" tanya Ben memulai percakapan sebagai mengisi waktu selagi pesanan mereka dibuat.

"Ya," jawab Anne singkat. Sisa-sisa kebahagiaan masih terlukis di wajahnya. Ben berharap ini adalah sebuah awal untuk menaklukkan hati Anne.

"Kamu manis saat tersenyum," puji Ben sejurus kemudian.

Anne tak menyahut. Gadis itu malah tertegun dan sesekali matanya menatap keluar jendela kaca yang terbentang di samping tempat duduk mereka seolah tak pernah mendengar pujian Ben yang ditujukan untuknya. Tetes-tetes air hujan mulai berjatuhan di luar sana dan lebih menarik perhatian gadis itu ketimbang seraut wajah tampan di hadapannya.

"Suatu hari nanti aku ingin menjadi alasanmu untuk tersenyum."

"Ben ..." Anne mengalihkan tatapannya pada Ben saat cowok itu mengusik kebisuannya.

"Aku menyukaimu," tukas Ben seketika membungkam bibir gadis itu sebelum ia sempat melontarkan sesuatu.

Anne terperangah begitu mendengar ungkapan hati Ben. Gadis itu sama sekali tidak menduga Ben akan menyatakan perasaannya. Setidaknya tidak untuk saat ini.

"Ben ..."

"Aku nggak minta kamu untuk menjawab atau membalas perasaanku." Lagi-lagi Ben menukas seolah sengaja tak ingin memberi Anne kesempatan bicara.

"Aku nggak bisa Ben," ucap Anne terbata.

"Karena masa lalumu?"

Anne kaget setengah mati mendengar pertanyaan Ben. Jadi, Ben sudah tahu masa lalunya? Sejak kapan?

"Ibu yang cerita semuanya?" tanya gadis dengan suara tersendat.

"Maaf," ucap Ben cepat. "Aku yang udah mendesak Tante Runi untuk cerita tentang kamu," ungkap cowok itu sejujurnya. Rasanya tidak ada yang perlu disembunyikan lagi sekarang. Terbuka satu sama lain terdengar lebih baik ketimbang menyimpan rahasia yang menyesaki dada.

Dada Anne bergemuruh hebat seolah ingin meledak saat itu juga. Bayangan buruk masa lalu mendadak menyerang benaknya bertubi-tubi. Satu per satu bermunculan di sana. Tentang Niel, rumah sakit, obat-obatan yang mesti ia telan beberapa kali dalam sehari, juga tentang sebilah pisau yang terlihat basah oleh cairan berwarna merah pekat. Rasa sakit perlahan menghunjam ulu hatinya.

"Dan kamu sedang mengasihaniku sekarang?" tanya Anne sembari menahan geram. Kedua tangannya mengepal di atas meja.

"Nggak ... bukan seperti itu."

"Lalu seperti apa?" Anne makin tak betah duduk di sana. Gadis itu bangkit dari kursinya karena merasa tak nyaman dengan perbincangan mereka. Tapi ia masih berdiri di sana untuk menunggu jawaban Ben.

"Aku menyukaimu apapun yang ada dalam dirimu, Ne. Nggak peduli apa yang udah terjadi di masa lalu," tandas Ben berusaha meyakinkan gadis di hadapannya.

"Itu bukan cinta Ben, tapi rasa kasihan. Dan aku paling nggak suka dikasihani, kamu ngerti?"

"Mau ke mana, Ne?" Ben terlihat panik ketika Anne mulai mengayunkan langkah menjauh dari meja yang mereka tempati.

Tapi sial bagi Ben. Tepat di saat cowok itu hendak mengejar langkah Anne, seorang pelayan malah datang membawa pesanan mereka.

Shit!

Ben merutuk dalam hati dan bergegas mengejar gadis itu setelah berbincang sebentar dengan pelayan.

Ben menemukan gadis itu berdiri di tepi jalan menunggu taksi. Tubuhnya basah oleh tetes-tetes air hujan yang berhamburan jatuh dari langit. Ia bergeming di sana seolah tak peduli dinginnya air hujan yang bisa saja membawa dampak buruk bagi tubuh kurusnya.

"Dengar penjelasanku!" teriak Ben sembari mencekal lengan gadis itu. Air hujan sudah membasahi wajah dan pundak cowok itu, juga menelan suaranya.

"Lepaskan Ben!" Anne mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan Ben. Tapi gagal. Peristiwa di butik beberapa hari lalu sudah cukup membuktikan kalau ia bukan tandingan Ben.

"Okay, kamu boleh nggak percaya padaku. Tapi, aku nggak pernah main-main saat menyatakan perasaanku. Aku benar-benar tulus, Ne. I really love you," tandas Ben bersaing dengan suara riuh air hujan. Setelah menuntaskan kalimatnya barulah Ben melepaskan lengan Anne. Ia tadi hanya ingin gadis itu mendengar ucapannya karena sebuah taksi sudah berhenti tepat di depan mereka. Bersiap membawa tubuh Anne pergi dari hadapannya.

Malam itu Ben membiarkan Anne pergi begitu saja. Namun setumpuk harapan masih bersarang di dalam dadanya. Anne mendengar semuanya tadi. Gadis itu hanya butuh waktu untuk menerima ketulusan hati Ben. Ya, pasti begitu.

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang