"Apa kamu udah merasa lebih baik?" tegur Ben sembari menoleh ke samping, sebelum ia menyalakan mesin mobil dan meninggalkan area parkir rumah sakit. Anne baru saja selesai menjalani sesi terapinya beberapa saat yang lalu.
"Iya."
"Are you sure?"
"Ben ...." Anne mencubit lengan Ben pelan sembari mengurai senyum manis. "Aku baik-baik aja selama ada kamu di sisiku, ngerti?"
Ben terbahak penuh kemenangan mendengar kalimat romantis yang baru saja meluncur dari bibir gadisnya. Seketika hatinya meleleh bak es krim yang terkontaminasi suhu ruangan.
"I trust you." Ben mengangguk sarat dengan keyakinan. Barulah ia menjalankan mobilnya keluar dari area parkir rumah sakit masih dengan senyum bahagia menghias wajah tampannya. "Mau mampir makan?"
Tapi Anne menolak dengan sekali gelengan kepala.
"Bukannya kita mau ketemu Mama kamu hari ini?" ingatnya kemudian. Mereka sudah berjanji akan ketemu Mama Ben hari ini.
"Maaf, aku lupa."
°°°
"Ma! Ada Anne!" Ben berteriak ketika memasuki ruang tamu, memberitahukan kedatangan Anne pada Mama yang keberadaannya entah di mana. Ruang tamu dan tengah sepi.
"Ben. Jangan teriak-teriak, seperti anak kecil saja," sahut Mama Ben yang mendadak muncul sambil memasang wajah cemberut. Wanita itu berjalan tergopoh-gopoh menuju ke ruang tamu usai mencuci tangannya. Ia baru saja selesai mengupas bawang putih beberapa saat yang lalu. Sedianya ia akan memasak sup ayam untuk makan siang mereka. Tapi rencananya mesti tertunda karena Ben terlalu cepat datang dan ia belum sempat menyelesaikan masakannya.
"Halo, Tante," sapa Anne yang segera menyambut kedatangan Mama Ben dengan mencium tangan wanita itu.
"Kok manggilnya tante, sih. Panggil mama, dong," seloroh Mama Ben sambil mengulas senyum tipis. "Sebentar lagi kan, kalian mau menikah."
Anne menatap sekilas ke arah Ben seolah meminta persetujuan cowok itu. Dan Ben hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Iya, Ma," ucap gadis itu akhirnya.
"Nah, gitu dong. Oh ya, silakan duduk, Ne," suruh Mama Ben pada calon menantunya. "Bagaimana kabar Ibu dan Ayahmu? Sudah lama kami nggak ngobrol."
"Mereka baik, Ma."
Ben hanya mengulum senyum saat memperhatikan keduanya berbagi basa basi.
"Terus butikmu bagaimana? Tutup?"
"Nggak, Ma. Anne udah mencari karyawati untuk menjaga butik."
"Oh, baguslah kalau begitu. Kamu pasti akan sibuk mempersiapkan pernikahan kalian. Kalau ditutup kan sayang juga. Lalu bagaimana dengan gaun pernikahanmu? Kamu jadi merancang sendiri gaunnya? Sudah jadi kah? Atau masih dalam proses pengerjaan?" cecar Mama Ben tanpa jeda.
Ben tertawa kecil melihat Mama memberondong Anne dengan begitu banyak pertanyaan. Semoga Anne tidak bingung menjawabnya.
"Masih dalam tahap pengerjaan, Ma. Mungkin dua minggu lagi selesai," jawab Anne seperlunya.
"Mama nggak sabar ingin melihat kamu memakai gaun pengantin. Mantu Mama pasti cantik banget," kekeh Mama Ben sambil berkhayal.
"Ben lebih nggak sabar lagi, Ma." Ben menyelutuk juga akhirnya.
"Dasar," gerutu Mama melempar pelototan ke arah putra tunggalnya. "Oh ya, tadi Yongki ke sini nitip undangan buat kamu. Mama taruh di atas meja makan."
"Undangan?"
Ben melompat dari atas sofa dengan gerakan lincah. Cowok itu bergegas meluncur ke ruang makan dan menyambar sebuah kertas undangan yang diletakkan Mama di atas meja.
Shit.
Yongki mau menikah? batin Ben takjub. Ini sama sekali tidak adil. Sahabatnya itu sudah mencuri start. Padahal ia belum sempat bertanya tentang gadis yang dilihat Ben sedang jogging bersama Yongki di taman beberapa waktu lalu. Tahu-tahu mereka sudah mau menikah. Ben berjanji akan menagih traktiran kopi gratis selama sebulan penuh jika bertemu Yongki kapan-kapan.
Ben meletakkan kembali kertas undangan itu ke atas meja lalu berbalik ke ruang tamu untuk bergabung dengan Mama dan Anne. Sepertinya mereka berdua sedang sibuk memilih desain undangan pernikahan. Padahal Yongki sudah menyebar undangan dan Ben baru akan memilih desainnya. Ugh!
"Menurut kamu bagus yang mana, Ben?" Mama menyodorkan tiga contoh undangan pernikahan ke hadapan Ben. Cowok itu mengambil tempat duduk persis di samping Anne.
"Bukannya kalian udah memilih?" Ben menatap Anne dan Mamanya bergantian.
"Tapi tetap saja kalian yang mau menikah, kan?" Mama balas menatap Ben. Lalu Anne.
"Terserah Mama aja, deh." Ben sama sekali tidak memberikan usul kali ini.
"Kok terserah Mama?" protes Mamanya.
"Kan Mama pernah bilang kalau Mama yang mau ngurus semuanya?" balas Ben.
"Iya, tapi Mama juga butuh pendapat kamu, Ben."
"Kalau begitu biar Anne yang memilih, Ma." Ben melirik gadis di sampingnya.
"Kamu lebih suka yang mana, Ne? Pink, putih, atau krem?" Mama Ben langsung bertanya pada calon menantunya.
"Anne suka yang putih, Ma. Tapi kalau Ben nggak suka ...."
"Aku juga suka yang putih," celutuk Ben sembari nyengir.
"Tadi Mama tanya kamu pilih yang mana, katanya terserah Mama. Sekarang kamu bilang suka yang putih," komen Mama Ben sambil menampilkan wajah cemberut. Sementara Ben hanya tergelak pelan mendapat omelan dari Mamanya. "Oh ya, Ben. Kamu sudah bikin daftar tamu undangannya?"
"Belum, Ma. Ini juga mau dibikin."
"Ya sudah kalau begitu. Mama mau masak dulu." Mama Ben bangkit dari tempat duduknya lalu bergegas melangkah ke dapur untuk menuntaskan pekerjaannya. Sementara Ben dan Anne mulai mendata nama kerabat, teman-teman, relasi bisnis, dan kenalan yang rencananya bakal diundang pada acara resepsi pernikahan mereka berdua.
"Anak-anak panti diundang juga ya, Ben?"
"As your wish." Ben mengurai senyum. "Apa perlu hiasan balon juga?" godanya.
"Ben!" Sebuah pukulan ringan melayang ke pundak Ben. Dan Anne pura-pura memasang wajah sewot di depan cowok itu.
"Kamu semakin menggemaskan saat ngambek, tahu nggak?" Ben menyentil ujung hidung gadis itu.
"Ben! Bisa ke sini sebentar nggak? Mama butuh bantuan nih!"
Ben menepuk jidatnya mendengar teriakan Mama yang telah berhasil menghancurkan suasana di antara ia dan Anne.
"Apaan sih, Ma?!"
"Blendernya nggak mau nyala, Ben!"
Astaga! Ada apa dengan blendernya? Apa benda itu juga sekongkol dengan Mama untuk merusak momen-momen kebersamaannya dengan Anne?
Sabar, Ben. Tinggal dua bulan lagi.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis#
De TodoSetelah kepulangannya ke Indonesia, Ben dijodohkan dengan Anne, putri salah satu sahabat Papa Ben. Cinta tidak datang begitu saja pada Ben. Tapi begitu melihat begitu banyak hal misterius pada diri Anne, Ben mulai tertarik dengan gadis itu. Dan suat...