Chapter 14

14.1K 248 4
                                    

Ben meregangkan otot-ototnya setelah ia merasa cukup lelah menatap ke layar laptop yang menampilkan data-data keuangan perusahaan. Cowok itu mengembuskan napas kuat-kuat lalu mengisi kembali paru-parunya dengan oksigen yang baru.

Hari yang melelahkan, batin cowok itu seraya menerawangkan kedua indra penglihatannya ke atap ruangan. Tak terasa sudah seminggu ia menjalani rutinitas sebagai pekerja kantoran yang setiap hari harus pergi pagi dan pulang menjelang petang. Berkutat dengan berkas-berkas dan harus memelototi layar laptop sepanjang waktu. Bahkan saat sampai di rumah tak jarang Ben harus kembali memeriksa file di laptopnya. Sesekali ia juga mesti ikut Papa meninjau pabrik meski Ben merasa tidak nyaman dengan suara mesin produksi. Tapi ia harus menjalankan kewajibannya sebagai pewaris perusahaan. Semua demi Papa dan Mama.

Sebenarnya ada hal lain yang sangat ingin Ben lakukan ketimbang mengelola perusahaan. Cowok itu ingin sekali membuka sebuah cafe baca. Sebuah cafe yang menyediakan berbagai jenis minuman berbahan dasar kopi dan sejenisnya, sekaligus menyediakan buku-buku bacaan bagi para pengunjung. Selagi menikmati minuman, pengunjung bisa mengisi waktu mereka dengan membaca buku. Hal itulah yang paling diinginkan Ben. Tapi tampaknya akan sulit. Bekerja di kantor saja sudah cukup menyita waktunya. Belum tentu juga Papa akan menyetujui keinginannya.

Lalu bagaimana dengan Anne?

Bayangan gadis itu mendadak muncul di benak Ben dan mengacaukan pikirannya. Sudah seminggu ini Ben tak bertemu dengan Anne dan ia tak tahu bagaimana kabar gadis itu. Bahkan sejak peristiwa sore itu Ben belum menghubungi Anne atau Ibunya meski hanya sekadar bertanya kabar. Ben terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Lagi pula ia tidak punya terlalu banyak waktu untuk disisihkan guna berkunjung ke rumah Om Sadewa. Masih belum.

Entahlah. Ben belum tahu harus bagaimana menghadapi Anne dan sifat keras kepalanya.

Lunch time.

Ben bangkit dari atas kursinya setelah merasakan otot-otot punggungnya lebih rileks dan cowok itu bergegas melangkah keluar dari ruang kerjanya menuju ke area parkir. Ada sebuah tempat yang ingin dikunjunginya saat ini.

Ben meluncurkan mobilnya beberapa menit kemudian, membelah jalanan kota yang lumayan padat, panas, berdebu, dan dipenuhi oleh asap kendaraan. Belum lagi suara bising turut melengkapi pencemaran lingkungan. Tapi semua itu tak membuat konsentrasi dan semangat Ben untuk berkendara surut. Cowok itu sudah tak sabar untuk segera sampai di tempat tujuannya.

°°°

Anne masih di sana, seperti biasa. Menyibukkan diri sendiri di dalam butiknya yang tak terlalu luas. Tangannya terus bergerak di atas meja, menggoreskan sebatang pensil gambarnya menjadi sebuah sketsa desain pakaian. Dan Ben nyaris tak berkedip mengintip sosok gadis itu dari balik kemudinya.

Cowok itu sengaja memarkir mobilnya sedikit agak jauh dari butik milik Anne agar ia bisa dengan leluasa mengawasi gadis itu tanpa ketahuan. Meski hanya melalui pintu kaca Ben mengintip kegiatan gadis itu, ia sudah merasa bersyukur. Setidaknya Anne terlihat baik-baik saja sekarang dan sedang beraktifitas seperti biasa. Jadi, Ben bisa meredakan kecemasannya yang sama sekali tak beralasan. Anne masih melanjutkan hidupnya meski beberapa waktu yang lalu mereka berdua bersitegang.

Tapi, Ben hanya menunggu di dalam mobil dan tak ingin beranjak dari sana. Cowok itu bertahan di tempat duduknya meski keinginan untuk masuk dan menemui Anne teramat besar. Karena ia belum memutuskan untuk melakukan apa pada gadis itu.

Namun, Ben tersentak dari lamunannya ketika Anne sudah tak lagi menempati sebuah meja yang berada di sudut ruangan butik. Gadis itu menyambar sebuah tas kecil dan mencangklongnya di pundak lalu ia keluar dari butik. Anne mengunci pintu masuk butik yang terbuat dari bahan kaca tebal lalu gadis itu melangkah menyeberang jalan.

Mau ke mana dia? batin Ben terkesiap. Harusnya di saat seperti ini ia ada di sana untuk mengantar Anne ke manapun gadis itu ingin pergi. Tapi Ben hanya bergeming dan masih belum melakukan sesuatu pun.

Nyatanya Anne menghampiri seorang tukang ojek online yang sedang mangkal di sekitar area itu. Setelah berbincang sebentar dengan sang driver, Anne bergegas naik ke atas motor milik tukang ojek itu dan melesatlah mereka pergi entah ke mana.

Come on, batin Ben geli. Cowok itu sampai menggeleng-gelengkan kepala saat melihat punggung Anne yang sedang bergerak menjauh. Gadis itu memang tak bisa ditebak jalan pikirannya. Di saat gadis-gadis lain berpikir dua kali untuk naik ojek di siang bolong yang super panas ini, tapi tidak dengan Anne. Ia bahkan tak peduli dengan kulitnya yang bisa-bisa gosong terbakar sinar matahari. Belum lagi debu dan asap kendaraan yang memenuhi setiap sudut jalan bisa mengotori wajah cantiknya. Duh, Ben jadi tidak tega membiarkan gadis itu pergi sendirian.

Alhasil, Ben terpaksa membuntuti Anne seperti seorang penguntit dalam film-film detektif. Cowok itu menjalankan mobilnya perlahan dan menjaga jarak dengan motor yang ditumpangi Anne dan sang driver.

Setelah beberapa menit menyusuri jalanan, motor yang ditumpangi Anne berhenti di depan sebuah toko roti. Gadis itu masuk ke dalam toko usai membayar sejumlah uang pada si tukang ojek online. Selang beberapa menit, Anne keluar lagi dengan menenteng sebuah kantung plastik berisi kotak donat berukuran jumbo. Donat yang sama yang Ben beli untuk Anne beberapa waktu yang lalu.

Gadis itu melangkah kembali menyusuri trotoar di bawah guyuran sinar matahari siang yang cukup membuat gerah. Tapi, Anne seolah tak peduli. Ia terus melangkah dan ia baru berhenti manakala secara tak sengaja mendapati seorang penjual balon di area khusus pejalan kaki itu. Sebenarnya ada larangan untuk berjualan di trotoar, namun selalu saja ada pedagang yang melanggar peraturan dan hal semacam itu sudah lumrah dilakukan di negeri ini.

Tak disangka-sangka ternyata Anne membeli semua balon yang dijual pedagang itu. Membuat Ben ternganga takjub. Mau diapakan balon sebanyak itu? batin cowok itu keheranan. Ia menepikan mobilnya beberapa meter jauhnya dan masih tekun mengawasi gerak-gerik Anne.

Ben tersenyum sendirian. Ia tak yakin kalau yang dilihatnya adalah si gadis aneh itu. Ada apa dengan Anne? Apa ia baik-baik saja?

Akhirnya setelah melangkah lumayan jauh, Anne mengarahkan langkahnya ke sebuah bangunan bertingkat dua yang dikelilingi dengan pagar besi. Di depan tempat itu dipasang sebuah papan kayu berbalut cat putih dengan sebaris tulisan berwarna hitam.

PANTI ASUHAN KASIH IBU.

Serombongan anak-anak kecil yang sedang bermain di halaman segera berhamburan ke arah pintu gerbang ketika melihat sosok Anne datang. Anak-anak itu tampak antusias melihat kemunculan Anne dan senyum semringah terlihat menghias wajah-wajah polos mereka.

Anne segera membagikan balon-balon di tangannya satu per satu kepada anak-anak panti tanpa terkecuali. Dan mereka tampak sangat gembira menerima pemberian Anne meski itu hanya sebuah balon yang seolah tanpa arti. Kebahagiaan tidak hanya diukur dari berapa harga yang diberikan pada orang lain, namun lebih kepada ketulusan dan keikhlasan. Anne juga tak kalah bahagianya dengan anak-anak itu. Bahkan gadis itu nyaris lupa jika ia harus membagikan donat yang dibawanya untuk anak-anak itu.

Ben menarik napas lega di balik kemudinya. Cowok itu memarkir mobilnya tak jauh dari pintu gerbang panti. Ia sangat bersyukur dengan apa yang ia lihat barusan. Padahal ia sempat waswas tadi dan mengira yang bukan-bukan tentang Anne. Huft.

Ben menyalakan kembali mesin mobilnya setelah puas mengintip kegiatan Anne hari ini. Perutnya sangat lapar dan harus diisi secepatnya sebelum kembali ke meja tugas.

Hari yang penuh kejutan, batinnya sambil merekahkan senyum kecil.

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang