Sore ini Ben mendapati Anne sedang duduk di atas kursi di salah satu sudut kamarnya seraya memeluk lutut. Sepasang mata gadis itu menatap kosong keluar jendela yang terbuka lebar dan menampilkan pemandangan hujan di luar sana. Angin dingin berembus menerpa wajah Anne dan sesekali mempermainkan ujung-ujung rambutnya yang tergerai bebas.
Gadis itu memiliki sistem imun yang benar-benar ajaib. Kemarin dia terbaring lemah di atas tempat tidur karena terserang demam tinggi akibat terkena hujan. Tapi, sekarang ia tampak baik-baik saja dan sedang duduk melamun sembari menerawangkan pandangan matanya ke arah hujan.
Ben melangkah tanpa suara dan meletakkan sebuah buket bunga mawar putih di atas meja belajar milik Anne tepat di samping bingkai foto gadis itu dan Niel. Ben hanya melirik foto itu sekilas lalu berjalan menghampiri tempat duduk Anne.
Gadis itu seketika menoleh saat Ben meraba keningnya tiba-tiba. Namun, ia segera menepis tangan Ben begitu tahu kalau cowok itu sudah berbuat lancang padanya.
Demamnya sudah turun, batin Ben dalam hati. Ia merasa lega melihat perkembangan kesehatan gadis itu. Pantas saja kemarin Ibu Anne menyuruhnya untuk tidak terlalu mencemaskan putrinya.
"Kamu baik-baik aja?" tegur Ben berusaha selembut mungkin. Ia menyeret sebuah kursi ke dekat Anne dan meletakkan pantatnya di sana.
Anne tak ingin menyahut. Gadis itu kembali menatap hujan dan terlihat begitu menikmati setiap tetes air yang tercurah dari langit. Seolah ingin mengabaikan kehadiran Ben di sisinya.
"Kamu udah makan?" Ben melontarkan pertanyaan kembali.
"Ben," Barulah Anne memberikan respon. Ia tampak jengah ketika mengalihkan tatapannya ke arah Ben. "berhentilah mencemaskanku. Aku baik-baik aja bahkan sebelum kamu datang dalam hidupku. Kamu ngerti?"
Ben terenyak mendengar ucapan tegas Anne. Untuk sejenak ia lupa jika Anne punya segudang kata-kata kasar di balik tatapan sayunya. Gadis itu memiliki gunung batu di dalam hatinya dan Ben baru memecahkan bagian kecilnya saja.
"Begitukah?" Ben mengulum senyum pahit di bibirnya. "Tapi kenapa aku malah berpikir sebaliknya? Hidupmu sangat menyedihkan sebelum aku datang. Bahkan lebih parah dari yang pernah kubayangkan. Bukankah begitu?" sindir Ben jelas-jelas ingin menyinggung perasaan gadis itu. Sebenarnya ia tidak mau menyerah begitu saja untuk bisa menaklukkan hati gadis itu, tapi Ben sudah pernah menggunakan cara halus untuk mencapai maksudnya. Dan nyatanya cara itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Jika menggunakan tetesan air tak bisa mengikis sebongkah batu, kenapa tidak memakai palu besi sekalian?
"Bukannya kamu pernah mencoba bunuh diri beberapa kali?" tanya Ben semakin menjadi. Ia sudah terlanjur memulai pertaruhan dengan gadis itu dan apapun resikonya Ben akan memikirkannya nanti. Ia harus mengoyak keangkuhan hati gadis itu. "Kamu ingin mati, kan? Apa kamu pikir kamu bisa bertemu kekasihmu itu setelah mati? Lalu bagaimana dengan Ayah dan Ibumu? Apa kamu senang melihat mereka menangisi kematianmu? Apa itu keinginanmu? Katakan, Ne!"
Plak.
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi kiri Ben. Meski tak begitu keras, tapi lumayan sakit juga. Ben hanya bisa mengeluh dalam hati. Semua itu karena kalimat-kalimat pedasnya.
"Kamu nggak pernah tahu rasanya kehilangan, Ben." Bibir Anne tampak gemetar. Sepasang matanya juga terlihat berkaca-kaca dan siap menumpahkan bulir-bulir air mata. "Orang yang kucintai meninggal dalam kecelakaan dan jasadnya nggak pernah ditemukan. Bagaimana jika kamu mengalami hal yang sama? Apa kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan?!"
Gadis itu mulai terisak. Air mata mendadak berjatuhan dan membuat genangan di pipinya seperti air hujan yang tumpah di dalam kubangan.
"Aku tahu. Tapi, apa semua orang harus ikut merasakan apa yang kamu rasakan, baru mereka mengerti kenapa kamu melakukan semua itu?" balas Ben tak mau kalah. "Kamu hanya ingin dikasihani kan?"
"Ben!" Gadis itu berteriak dan ingin melontarkan sejumlah pembelaan diri. Tapi, Ben sudah terlanjur angkat bicara terlebih dulu.
"Dengar ...," tukas Ben cepat."di luar sana ada banyak orang yang mengalami hal yang sama denganmu. Bahkan lebih. Orang-orang itu kehilangan anggota keluarga dan harta bendanya karena bencana alam, anak-anak nggak berdosa yang ikut menjadi korban perang ... mereka masih kecil dan harus kehilangan semuanya. Orang tua, teman-teman, tempat tinggal, sekolah, dan mereka kehilangan masa kecil yang menyenangkan. Tapi, orang-orang itu nggak menyerah dengan takdir, Ne. Mereka nggak putus asa atau menyerah pada keadaan. Mereka bangkit dari keterpurukan dan berjuang untuk tetap melanjutkan hidup. Mereka membangun harapan di masa depan demi anak cucu mereka kelak. Karena hidup nggak akan berhenti hanya karena kita menyerah. Kamu mengerti, kan?" Ben mencoba menggugah hati gadisnya. Tangan cowok itu terulur ke wajah Anne yang sudah bersimbah air mata. Ia mengusap pipi Anne lembut.
"Kamu nggak pernah tahu apa yang kurasakan ...." Anne menepis tangan Ben. Sepertinya gadis itu masih kukuh pada pemikirannya sendiri.
"Aku tahu apa yang kamu rasakan," tutur Ben pelan. Setelah apa yang ia paparkan panjang lebar, Ben mencoba melakukan pendekatan dengan cara yang lebih lembut.
"Nggak Ben, kamu nggak akan pernah tahu ...."
Ben menghela napas panjang. Cowok itu tak ingin mendebat Anne yang memiliki hati sekeras batu. Rasanya sudah cukup ia mengeluarkan sejumlah kalimat untuk menggugah perasaan gadis itu. Mungkin Anne akan memikirkan kembali penuturan Ben di lain waktu.
"Baiklah." Ben memutuskan untuk mengakhiri perbincangan mereka sore itu. Hujan sudah reda di luar sana. Cowok itu bangkit dari kursinya dan bersiap untuk angkat kaki dari rumah Anne. Ia sudah terlalu jengah menanggapi si keras kepala itu. "Aku memang nggak pernah tahu apa yang kamu rasakan. Jika kamu ingin hidup seperti itu selamanya, silakan. Teruslah hidup seperti itu. Dan abaikan ucapanku tadi."
Anne bergeming. Gadis itu membisu bahkan di saat Ben menyentuh ujung pundaknya, ia hanya diam. Tak ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya.
"Aku pulang."
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis#
RandomSetelah kepulangannya ke Indonesia, Ben dijodohkan dengan Anne, putri salah satu sahabat Papa Ben. Cinta tidak datang begitu saja pada Ben. Tapi begitu melihat begitu banyak hal misterius pada diri Anne, Ben mulai tertarik dengan gadis itu. Dan suat...