"Aku tadi pergi mengunjungi psikiater," ucap gadis itu sesaat setelah keduanya mengambil tempat duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di taman tak jauh dari pintu masuk gedung. Taman kecil itu cukup rindang saat siang hari dan sering dimanfaatkan para staf kantor untuk beristirahat atau sekadar ngobrol. Sebenarnya Ben sudah menawarkan pada gadis itu untuk pergi ke resto yang letaknya tak begitu jauh dari kantor, tapi ia menolak. Dan Ben tak ingin memaksa. "Aku ingin sembuh, Ben." Anne menoleh ke arah Ben demi menunjukkan kesungguhan yang terlukis di wajahnya pada cowok itu.
Ben lumayan terkejut mendengar pengakuan gadisnya.
"Tapi kamu nggak sakit, Ne."
Anne mengukir senyum tipis di bibirnya.
"Mungkin nggak," ucapnya. "Tapi aku perlu menjalani terapi, Ben. Aku juga ingin hidup normal seperti yang lain. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa terbebani masa lalu. Seperti kamu bilang." Gadis itu setengah tertunduk dan memainkan ujung-ujung jarinya. Keresahan terlihat jelas dari setiap gerak tubuhnya.
Ben mengangguk tak kentara. Setidaknya Anne sudah menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Tapi mungkin juga gadis itu memerlukan terapi.
"Jangan terlalu memaksakan diri," tandas Ben sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menampilkan sikap sedikit acuh. Entahlah, rasanya masih agak sulit menerima Anne begitu saja setelah kejadian pagi itu. Gadis itu masih belum sepenuhnya merelakan kepergian Niel. "Aku nggak mau kamu melakukan semua itu demi aku."
"Aku melakukan itu demi diriku sendiri, Ben." Anne menukas seraya menatap wajah Ben yang masih mengarah ke depan. "Juga demi kamu."
Setengah hati Ben bersorak girang mendengar pengakuan Anne. Tapi ia tak bisa serta merta menunjukkan kebahagiaannya di depan gadis itu. Masih terlalu dini untuk mengumbar kebahagiaan sekarang. Mungkin saja Anne masih menyimpan kenangan indahnya bersama Niel jauh di dalam hati. Who knows?
"Kamu datang ke sini hanya untuk bilang itu?" tanya Ben kemudian.
Kepala Anne menggeleng dua kali.
"Aku datang ke sini karena aku merindukanmu, Ben. Juga untuk menunjukkan ini," ucap Anne seraya mengeluarkan selembar kertas dari dalam sling bag miliknya lalu menyodorkan benda itu ke hadapan Ben.
"Apa ini?" Kening Ben langsung mengerut begitu melihat apa yang tergores di atas kertas itu.
"Itu adalah desain gaun pengantin," ungkap Anne sembari menyembunyikan seulas senyum di bibirnya. "Aku ingin memakai gaun pengantin hasil rancanganku sendiri saat menikah nanti. Bagaimana menurutmu, Ben?"
Ben tak langsung menjawab. Baginya itu hanya sebuah coretan pensil yang sama sekali tak dimengerti oleh pikirannya. Tapi bagi Anne, gambar itu punya sejuta arti. Tentang harapan, masa depan, kebahagiaan, dan cinta.
"Apa kamu benar-benar ingin menikah denganku?" Ben menatap ke dalam kedua mata Anne dan seolah ingin menghancurkan binar-binar terang di sepasang telaga sayu itu.
Gadis itu tercekat. Ia tak pernah menduga akan mendapat pertanyaan menohok seperti itu dari Ben.
"Kenapa bertanya seperti itu?" Anne menarik selembar kertas itu ke atas pangkuannya dengan perasaan kecewa.
"Aku hanya ingin tahu, Ne. Aku tahu kamu udah melakukan banyak hal demi aku. Tapi aku nggak mau kamu terpaksa melakukan semua ini. Kalau hatimu masih belum siap, aku akan menunggu. Aku udah pernah bilang, kan?"
Anne bergeming. Hanya desau angin yang berembus lembut ke wajahnya yang mendadak terasa hangat.
"Aku juga udah pernah bilang kalau aku menyukaimu, kan?" gumam gadis itu tanpa menatap ke arah Ben.
Ben menghela napas panjang. Anne memang pernah bilang padanya dan Ben sempat melambungkan khayalannya terlalu tinggi saat itu. Tapi mendadak Anne datang lalu menghancurkan semuanya.
"Iya." Ben bergumam. "And you kissed me."
"Ben!" Pipi gadis itu mendadak merona bak semangka.
Cowok itu hanya terkikik pelan melihat reaksi Anne yang lagi-lagi menurutnya sangat menggemaskan.
"Aku selalu menyediakan banyak waktu untuk menunggu kamu, sampai kamu benar-benar yakin pada perasaanmu sendiri, Ne. Tapi terus terang aku nggak bisa menunda pernikahan kita lagi karena aku nggak mungkin menundanya dua kali."
"Sejujurnya aku takut kamu marah."
"Marah?"
"Beberapa hari terakhir kamu nggak muncul di butik dan Ibu bilang kamu sibuk."
Ben menahan napas. Yes. Sekarang ia menjadi menyesal dan merasa bersalah terhadap gadis itu.
"Aku memang sibuk," kilah Ben membela diri.
"Sesibuk apa?" tukas Anne seolah tak sabar. "Apa nggak ada sedikit waktu untuk pergi ke butik?"
Ben menggaruk tengkuknya seraya mengulur waktu untuk menyusun kata-kata yang tepat.
"Sorry," gumam Ben diselimuti perasaan bersalah. "Sebenarnya aku cuma ingin memberimu waktu untuk berpikir, Ne. Tentang perasaanmu padaku."
Anne terdiam. Perlahan ia bisa mencerna maksud perkataan cowok itu.
"Dan nyatanya aku sangat merindukanmu, Ben. Apa itu udah cukup untuk membuktikan kalau perasaanku benar-benar tulus buatmu?"
"Lalu Niel?"
Anne mendesah berat.
"Aku akan menyimpan kenangannya di dalam hatiku. Karena bagaimanapun juga dia pernah mengisi hari-hariku. Apa kamu keberatan, Ben?"
"No." Ben menggeleng samar. Mungkin dengan begini lebih baik. Meski sedikit berbagi tempat dengan Niel di hati Anne, itu sudah cukup untuknya. Setidaknya ia memiliki Anne seutuhnya, cinta dan raganya. Ben merasa jauh lebih beruntung ketimbang Niel dan mulai sekarang ia tidak akan merasa cemburu lagi pada cowok itu.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ben."
"Pertanyaan?"
"Uhm." Anne mengangguk cepat. "Menurutmu apa aku cantik memakai gaun itu?" Gadis itu mengingatkan kembali tentang topik awal percakapan mereka.
"Aku nggak ngerti, Ne. Itu kan masih berupa gambar. Lain ceritanya kalau gaun itu benar-benar ada dan nyata."
Anne mencebik lucu sambil melayangkan pukulan manja ke lengan Ben.
"Aku serius, Ben."
"Aku juga serius, Ne. Aku benar-benar nggak bisa membayangkan gambar itu menjadi sebuah gaun dan kamu memakainya. Tapi aku yakin kalau apapun yang kamu pakai, pasti akan terlihat cantik," ucap Ben diselipi sebuah kalimat pujian. Dan ia berhasil membuat gadis itu tersipu malu.
"Jangan bercanda, Ben."
"Itu kenyataan, Ne. Oh ya, tumben hari ini kamu berdandan cantik. Apa itu khusus buatku?"
"Iya," angguk Anne masih dengan ekspresi malu-malu. "Apa kamu suka, Ben?"
"Nggak."
"Kok nggak?"
"Karena aku nggak suka kamu terlihat terlalu cantik di depan umum, Ne. Wajah cantikmu cuma buatku aja, ngerti?" Ben mendekatkan wajahnya pada Anne sembari mengedipkan mata jenaka.
"Dasar gombal," maki Anne sambil tergelak.
Setelah puas ngobrol di bangku taman, Ben mengajak Anne untuk makan malam di rumahnya lalu mengantar gadis itu pulang.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis#
RandomSetelah kepulangannya ke Indonesia, Ben dijodohkan dengan Anne, putri salah satu sahabat Papa Ben. Cinta tidak datang begitu saja pada Ben. Tapi begitu melihat begitu banyak hal misterius pada diri Anne, Ben mulai tertarik dengan gadis itu. Dan suat...