Chapter 2

24.6K 415 0
                                    

"Ben ...."

Mama mendorong pintu kamar Ben yang masih tertutup rapat seraya memanggil nama putra kesayangannya. Biasanya pagi-pagi begini Ben sudah bangun dan pergi keluar untuk jogging. Tapi, pagi ini Ben belum juga menampakkan batang hidungnya padahal cuaca di luar sedang bagus-bagusnya. Matahari bersinar dengan cerah tanpa ada segumpal awanpun yang menggantung di langit. Udara pagi juga masih segar dan tentu saja minim polusi.

Mama menggelengkan kepala begitu mendapati Ben yang masih berbaring di atas tempat tidur dengan selembar selimut tebal menutup sebagian tubuhnya. Namun, wanita itu tak serta merta membangunkan Ben. Ia malah berinisiatif untuk membuka tirai jendela yang tepat berada di sisi tempat tidur putranya.

Ben mulai bereaksi usai tirai yang menutupi jendela kamarnya terkuak. Cowok itu menggeliat pelan dan memutar tubuh ke sisi lain karena sinar matahari pagi jatuh tepat di atas wajahnya.

"Nggak mau bangun, Ben?" tegur Mama begitu melihat reaksi putranya. Wanita itu mendekat lantas duduk di tepi tempat tidur Ben. Tangannya terulur lalu mengusap kepala Ben dengan gerakan lembut dan penuh kasih sayang. Sudah lama sekali ia tak melakukannya. Terakhir kali ia mengusap kepala Ben seperti ini adalah saat putranya duduk di bangku SD. Dan itu terjadi sudah bertahun-tahun yang lalu.

"Mama tahu kamu kecewa," tandas Mama sejurus kemudian. Memulai percakapan yang entah Ben mendengarnya atau tidak. Kedua mata Ben masih terpejam erat dan wanita itu terus mengusap kepala putranya dengan gerakan yang sama. "Kamu tahu, Ben? Mama dilahirkan di sebuah keluarga sederhana. Orang tua Mama hanya seorang pedagang asongan dan mereka harus bekerja sekuat tenaga demi bisa menyekolahkan Mama. Mama juga belajar dengan keras karena Mama sadar, Mama harus bisa mengubah nasib. Demi masa depan orang tua Mama juga anak-anak Mama kelak." Mama Ben menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan penuturannya.

Lanjutnya kemudian ...

"Suatu saat jalan di depan Mama terbuka lebar. Sebuah kesempatan tidak terduga datang pada Mama. Mama memperoleh beasiswa di sebuah universitas elite di negeri ini. Di sanalah Mama mengenal Papamu. Mama akui, pada awalnya Mama sama sekali nggak mencintai Papamu. Saat itu Mama hanya berpikir Papamu-lah jalan Mama untuk merubah nasib dengan cepat dan mudah. Karena Papamu anak orang kaya. Akhirnya Mama menikah dengan Papa dan lahirlah kamu. Mama hanya berpikir, Mama melakukan semua itu hanya demi masa depan Mama dan anak Mama. Mama nggak mau anak Mama kelak bernasib sama seperti Mama dulu, hidup serba kekurangan. Tapi, seiring berjalannya waktu, Mama jatuh cinta pada Papamu. Dia sangat baik dan mencintai Mama apa adanya. Dia adalah cinta pertama Mama ...."

"Tapi ini berbeda, Ma ...." sahut Ben setengah bergumam. Ia membuka matanya setelah mendengar penuturan panjang Mamanya. Padahal sejak tadi cowok itu terus memejamkan kedua matanya selama Mama berbicara. Tapi, suara lembut Mama sanggup menembus gendang telinga cowok itu.

Mama mengembangkan senyum mendengar komentar putranya. Tak sia-sia ia bicara panjang lebar tentang masa lalunya yang kurang menyenangkan.

"Tapi, itu adalah bentuk baktimu pada Papa," ucap Mama bijak. "Kita berdua bisa hidup senyaman ini karena Papa, bukan? Karena Papa juga, kamu bisa menikmati semua fasilitas yang nggak semua orang bisa menikmatinya. Apa kamu mau hidup dalam keterbatasan seperti yang Mama alami dulu?"

"Mom..."

Ben bangun lantas menatap Mamanya dengan tatapan sayu. Setengah memohon. Meski rambut cowok itu lumayan berantakan, tapi tak sedikitpun mengurangi ketampanan yang dimilikinya.

"Cepat bangun dan mandi," suruh Mama bermaksud mengakhiri percakapan kecil itu. Wanita itu sengaja menghindar sebelum Ben mengeluarkan sederet argumen dan dia kewalahan untuk menjawabnya. Ben yang sekarang bukan Ben kanak-kanak yang manja dan penurut. Ia sudah dewasa dan memiliki sejumlah pemikiran di dalam kepalanya. "Mama sudah bikin nasi goreng telur mata sapi kesukaan kamu."

Mama beranjak keluar dari kamar Ben beberapa saat kemudian tanpa menunggu jawaban dari bibir putranya yang sedang tertegun menatap dirinya. Mungkin Ben sedang konsentrasi untuk mengumpulkan nyawanya yang tercecer selama ia terlelap.

°°°

Ben telah berpakaian rapi. Sehelai kemeja lengan panjang putih polos dipadu dengan sebuah jas berwarna biru pekat membalut tubuh atletis cowok itu, senada dengan warna celana yang menjadi bawahannya. Hobinya jogging sejak SMU lumayan membuat tubuhnya terbentuk bak atlet. Namun, Ben masih saja duduk di atas sofa dengan tatapan kosong ke suatu tempat di depan tubuhnya. Tertegun dengan berbagai pikiran yang kerap menyerang kepalanya.

"Ben, are you ready?"

Mama datang tergopoh-gopoh sembari merapikan gaun yang membalut tubuhnya dan langsung menegur Ben yang masih saja tertegun di atas sofa ruang tengah. Ah, kenapa ia jadi ikut-ikutan sok Inggris seperti Ben? keluh wanita itu dalam hati.

Ben mengulum senyum melihat kemunculan Mama. Wanita itu terlihat cantik dan anggun dengan balutan gaun berwarna putih berhias ornamen bunga sakura. Di usianya yang ke-sekian tahun ia masih tampak awet muda. Ben semakin yakin jika gen Mama-lah yang berperan penting dalam urusan ketampanan yang dimilikinya.  

"Kita tunggu Papamu sebentar," ucap mama sembari menepuk pundak Ben.

Ben memang sedikit gelisah saat ini. Ia akui, ia memang nervous. Tapi, ia masih baik-baik saja dan bisa mengendalikan diri seperti yang seharusnya cowok itu lakukan. Ia hanya perlu melakukan apapun yang diperintahkan Papa sebagai tanda bakti seorang anak pada orang tuanya. Bukankah begitu?

"Yuk, berangkat!"

Papa muncul tiba-tiba dan mengagetkan Ben. Laki-laki itu berjalan sambil menepuk-nepuk permukaan jas hitamnya yang tak kotor.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Mama Ben seraya melangkah ke dekat suaminya.

"Tentu saja," sahut Papa cepat.

"Pa ...," cegah Ben cepat. "apa boleh Ben berubah pikiran sekarang?" tanya Ben hati-hati. Meski ia sendiri tidak yakin Papa akan mengabulkan permintaannya di detik-detik terakhir.

"Dasar bocah tengik!" seru Papanya kesal. Ia memukul kepala Ben dengan keras seolah tidak takut jika putranya itu akan menderita gegar otak karena pukulannya. Sepasang matanya melotot marah. "Ayo, berangkat sekarang!"

Ben meringis kesakitan seraya memegang kepalanya bekas dipukul papa. Ben tahu ia tak akan berhasil. Tapi, tetap saja mencoba menghentikan kehendak Papa. Papa adalah seseorang yang tidak suka dikecewakan.

"Sakit Ben?" Tangan mama mengusap kepala Ben dengan lembut saat mereka bertiga melangkah keluar rumah.

"Iya nih, Ma," rajuk Ben manja. Tentu saja dengan suara pelan agar Papa yang berjalan di depan tidak mendengar suaranya.

"Sini Mama tiup."

"Ayo cepat. Kita sudah terlambat, Ma!"

"Iya, Pa."

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang