Chapter 24

3.1K 57 0
                                    

"Udah punya pacar tapi nggak pernah bilang, sekarang mau nikah lagi! Teman macam apa itu, hah?!" teriak Ben sembari mencengkeram erat kerah kaus olahraga milik Yongki yang terlihat lembab. Sementara itu kepalan tangan Ben siap menghantam wajah sahabatnya sewaktu-waktu.

"Aku nggak bermaksud kayak gitu, Ben. Sumpah," ucap Yongki ketakutan. Bagaimana ia tidak cemas melihat sorot mata Ben yang menyiratkan emosional tingkat tinggi seperti itu? Apalagi tinjunya yang sudah membayang di depan wajah Yongki. Ia tidak bisa membayangkan saat menikah nanti wajahnya penuh dengan luka lebam akibat pukulan Ben.

"Selama ini aku curhat panjang lebar dan kamu diam aja, tahu-tahu mau nikah. Apa itu adil?" hardik Ben dengan menggertakkan gigi-giginya.

"Tenang dulu, Ben. Aku bisa menjelaskan semuanya." Yongki meratap penuh harap sembari melepaskan tangan Ben perlahan dari kerah kausnya.

Ben mendengus kesal dan terpaksa melepaskan kerah kaus Yongki.

"Apa kamu semarah itu?" tegur Yongki hati-hati. Ia mengamati wajah Ben lamat-lamat.

"Nggak juga," gumam Ben sembari membuang tatapan ke sekeliling taman yang cukup ramai di hari Minggu pagi. Beberapa anak kecil tampak giat berlatih dengan skate board mereka. Sebagian lagi lebih senang bersepeda dan kebanyakan orang dewasa memilih jogging seperti yang Ben dan Yongki lakukan sekarang. "Aku cuma sebel, kenapa kamu nggak pernah cerita soal gadis itu, Ki. Padahal aku udah cerita semua soal Anne sama kamu."

"Sebenarnya aku mau cerita sama kamu, Ben. Tapi aku tahu kamu sibuk akhir-akhir ini."

"Aku emang sibuk, tapi aku bisa menyisihkan waktu buat kamu ...."

"Aku nggak yakin kamu bisa."

"Kenapa nggak bisa?"

"Karena kamu sibuk mempersiapkan pernikahan. Aku betul, kan?" Yongki menyikut lengan sahabatnya sambil mengulum senyum menggoda.

Ben mengembangkan senyum. Ekspresi marah yang sempat tergambar di wajahnya memudar dengan cepat. Sebenarnya ia tidak sungguh-sungguh marah tadi. Ben hanya ingin mengerjai Yongki.

"That's right." Ben menghela napas dalam-dalam. "So, gimana dengan gadis itu? Apa dia sama seperti kebanyakan wanita di dunia ini? Apa dia rapuh, lemah, dan butuh sandaran?"

Yongki tergelak cukup keras mendengar serentet pertanyaan Ben yang cenderung meledek.

"Emang pada prinsipnya semua wanita itu rapuh dan butuh sandaran, Ben. Aku pernah bilang itu, kan? Tapi dia beda. Dia menyembunyikan semua itu dan hanya menampilkan ketegaran dan kekuatan. She's a strong girl." Yongki merekahkan tawa cukup lebar saat mengumandangkan sanjungan pada gadis terkasihnya. Kepalanya tiba-tiba dipenuhi dengan bayangan gadis itu.

Ben turut mengembangkan senyum mendengar sanjung puji Yongki tentang kekasihnya. Dan seketika ia teringat pada Anne.

"Emang sekuat apa dia? Jangan sampai kamu terlihat lemah di depannya. Ingat itu," ucap Ben mengingatkan. Wanita yang kuat dan mandiri memang mengesankan, tapi pada kodratnya tugas laki-laki adalah melindungi dan menjaga mereka.

"Tenang aja, Ben. Dia itu manja banget kalau sama aku. Gimana aku nggak langsung jatuh cinta sama dia, hah?" Yongki menderaikan tawa girangnya.

"Jadi kamu langsung memutuskan untuk menikahinya, gitu?"

"Yup." Yongki mengangguk penuh keyakinan.

Ben menggeleng-gelengkan kepalanya samar. Tampaknya perjalanan cinta Yongki begitu mudah dan mulus, tak seperti dirinya yang penuh liku-liku. Anne yang masih terikat masa lalu, trauma mendalam akan kehilangan, dan usaha keras Ben untuk menaklukkan hati gadis itu. Ben telah menjalani semua itu, sementara Yongki mendapatkan hati seseorang dengan begitu mudah. Perjalanan cinta memang tak selalu sama.

"Ben!"

Kedua cowok itu tertegun ketika seorang gadis tampak berlari kecil sembari melambaikan tangannya. Rambut panjangnya yang digerai terlihat bergoyang seirama dengan gerakan kakinya. Juga gaun berwarna merah muda selutut yang membalut tubuhnya membuat gadis itu terlihat manis.

"Apa dia Anne?" Yongki berbisik di dekat telinga Ben dan hanya ditanggapi anggukan samar dari cowok itu. "Dia cantik, Ben."

"Hei, dia milikku, tahu nggak?" Ben langsung menoleh ke samping dan membelalakkan matanya.

"Iya, iya. Aku juga nggak bakalan merebut dia, kok. Kecuali kalau dia mau," balas Yongki sambil terkekeh pelan.

"Coba aja kalau berani," desis Ben penuh ancaman. Kalau saja Anne tak ada di sana, ia pasti sudah melayangkan sebuah pukulan serius pada sahabatnya itu. Meski Ben tahu Yongki hanya bercanda.

"Hai, Ben." Anne langsung menyapa Ben begitu sampai di hadapan cowok itu dan sahabatnya. Senyum hangat tersungging di bibir merah jambu gadis itu.

"Kok yang disapa cuma Ben? Aku bukan makhluk gaib, lho," celutuk Yongki bermaksud menggoda Ben. Dan ia berhasil membuat cowok itu merengut.

"Udah, deh. Mendingan kamu pergi sono, fitting baju atau pergi ke salon. Bukannya sebentar lagi kamu mau nikah?" Ben sengaja mendorong tubuh Yongki agar segera menyingkir dari sampingnya.

"Sadis." Yongki memaki tak serius. Tapi cowok itu sepenuhnya sadar jika ia memang harus pergi dari tempat itu sebelum Ben murka. "Selamat bersenang-senang!" teriak cowok itu sambil mengayunkan kedua tungkai kakinya menjauh. Namun, ia sempat melambai dan melempar tawa ke arah Ben.

"Dia temanmu?" tegur Anne sembari menatap wajah Ben yang masih mengawasi Yongki. Ia sedikit khawatir jika sahabatnya itu akan kembali dan mengganggu kebersamaannya dengan Anne.

"Ya." Ben segera mengalihkan perhatiannya pada gadis itu. Yongki semakin menjauh dan mustahil akan memutar arah kembali ke tempat Ben berdiri. "Tumben pagi-pagi ke sini. Ada apa? Apa kamu merindukanku?" goda Ben sambil mendekatkan wajahnya pada gadis itu.

"Menurutmu?"

Ben mendesah dan menegakkan tubuhnya. Ia memutar mata, seolah sedang berpikir mencari jawaban untuk Anne.

"Kamu sangat merindukanku sampai-sampai nggak bisa tidur. Jadi pagi-pagi sekali kamu datang ke sini. Apa aku benar?" tebak Ben penuh percaya diri.

Anne memilih untuk mengembangkan senyum ketimbang mengiyakan tebakan Ben.

"Kenapa? Apa tebakanku salah?" Ben menautkan kedua alisnya melihat reaksi Anne.

"Nggak, Ben. Kamu benar. Aku memang merindukanmu. Kamu juga, kan?" Gadis itu meraih lengan Ben mesra.

"Nggak."

"Ben!"

"Kan kamu udah di sini, Ne. Jadi rinduku udah terobati, kan?"

"Dasar," gerutu gadis itu pelan.

Ben menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen baru dari sekeliling taman komplek. Kini mereka berdua sedang melangkah beriringan menuju ke rumah. Anne seolah tak ingin melepaskan Ben. Gadis itu menggamit lengan Ben dan menyandarkan kepalanya di pundak Ben.

Usai kehilangan, sesuatu datang untuk menggantikan. Dan Anne tak mau kehilangan lagi untuk kedua kalinya. Ia hanya ingin mengisi hari-harinya bersama Ben, berbagi cinta dan segalanya bersama cowok itu. Tanpa melupakan Niel yang pernah singgah dan menetap di hatinya selama beberapa waktu. Niel akan tetap hidup dan menempati ruang di sudut hatinya. Sampai kapanpun.

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang