Chapter 11

15.1K 263 0
                                    

Anne sakit. Semenit yang lalu Ben menelepon Ibu Anne dan menanyakan keadaan gadis itu.  Bukankah ia adalah tipe orang yang tidak boleh terkena air hujan meski setetes pun? Awalnya Ben sempat tak percaya jika Anne serentan itu, tapi sekarang ia sudah meyakininya.

Ben mengutuk dirinya puluhan kali. Harusnya ia bisa menjaga Anne dengan baik, bukan malah membuat gadis itu jatuh sakit seperti ini. Stupid!

Ben bisa mati karena cemas jika begini terus. Ia tidak bisa hanya diam menunggu di kamar sembari meratapi penyesalan yang seakan tak ada habisnya. Cowok itu bergegas meluncur ke rumah Anne usai mandi dan mengenakan kemeja kesayangannya. Bahkan teriakan Mama yang mengingatkannya untuk sarapan diabaikan oleh cowok itu begitu saja. Ada yang lebih penting dari sekadar sarapan, batinnya seraya menyambar kunci mobil. Dan beberapa menit kemudian ia memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah Anne.

"Dia demam tinggi," beritahu Ibu Anne begitu Ben sampai di rumah gadis itu. Wanita itu segera mempersilakan Ben masuk ke kamar Anne untuk melihat kondisi putrinya.

"Apa dia sudah diperiksa dokter?" tanya Ben tak sabar sekaligus cemas. Ia terlihat khawatir melihat kondisi Anne yang sedang terbaring di atas tempat tidur. Wajah cantik gadis itu tampak pucat dan kedua matanya tertutup rapat.

"Sudah," sahut Ibu Anne. Wanita itu sama sekali tak terlihat cemas seperti yang dialami Ben sekarang. "Nggak perlu khawatir, Ben. Ini bukan pertama kalinya Anne demam. Nanti sore juga demamnya turun," paparnya berusaha menenangkan hati Ben. Wanita itu menghampiri tempat tidur Anne lalu membenahi selimut tebal yang menutupi tubuh putrinya.

"Oh, begitukah?" Ben bergumam lirih, nyaris tak tertangkap telinga Ibu Anne.

"Tante ke dapur sebentar, ya," pamit Ibu Anne sejurus kemudian, seolah ingin memberikan Ben waktu dan ruang agar bisa berdua saja dengan putrinya. Wanita itu bergegas meninggalkan kamar Anne yang mendadak hening sesaat kemudian.

Ben menghampiri tempat tidur Anne dan menyentuh pipi gadis itu saat hanya ada mereka berdua di dalam kamar itu. Hangat diatas normal, batin Ben setelah menyingkirkan tangannya dari kulit Anne.

"Sorry ..."

Ben menggumam lirih. Ia tak berharap Anne akan mendengar suaranya, tapi rasa bersalah terus menghinggapi hati cowok itu dan memaksanya meminta maaf untuk ke sekian kali. Dan Anne masih bergeming dengan sepasang mata terkatup rapat.

Ben berusaha meraih tangan Anne yang bersembunyi di balik selimut dan menggenggamnya dengan lembut. Mencoba menunjukkan secuil perhatian dan kasih sayang untuk gadis yang beberapa hari terakhir kerap mengganggu pikirannya.

Namun beberapa saat kemudian, bibir Anne tampak bergerak seperti sedang menggumamkan sesuatu. Suaranya lirih dan nyaris tak tertangkap oleh indra pendengaran Ben.

Cowok itu tersentak dari lamunan kecilnya.

"Ne?"

"Niel ...."

Samar-samar Ben mendengar nama itu terucap dari bibir Anne dengan suara lemah. Nama Nathaniel. Dan igauan Anne barusan membuat Ben menyadari sesuatu. Cowok itu menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan.

Di atas meja belajar milik Anne dan di salah satu sudut kamar itu, Ben mendapati beberapa buah foto yang terbingkai dalam frame berbahan kayu.

Ben melepaskan tangan Anne lalu beralih dari tempatnya berdiri. Cowok itu menghampiri meja kecil yang berada tak jauh dari tempat tidur milik Anne dan sejurus kemudian tangannya terulur untuk meraih sebuah  bingkai foto. Selembar foto di dalam bingkai kayu yang menampilkan gambar Anne menjadi pusat perhatian Ben pada detik berikutnya. Gadis itu tersenyum riang dan kentara sekali jika ia sangat bahagia saat itu, tapi ada seraut wajah seorang cowok di samping gadis itu. Ia juga memamerkan senyum yang sama dengan Anne.

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang