Chapter 18

20.8K 307 13
                                    

"Surprise!"

Sebuah buket berisi selusin bunga mawar putih dan sekotak donat berukuran jumbo, Ben letakkan di atas meja Anne. Membuat gadis itu terperangah takjub saking kagetnya.

"Kamu nggak suka kejutannya?" tegur Ben mencoba menyadarkan keterkejutan gadis itu. Ia melempar seulas senyum manis, setengah menggoda Anne.

Gadis itu menggeleng.

"Suka," tandasnya. "tapi, aku nggak mau jadi gendut gara-gara makan donat sebanyak ini, Ben. Lagian ... bukannya kamu bilang nggak punya waktu karena sibuk bekerja?" Ia sedikit mengerutkan kening.

Ben tersenyum geli.

"Aku memang sibuk," tandas Ben sembari memutar bola mata ke atas. "Tapi aku punya jam istrahat, Ne. Dan ... berapapun berat badan kamu aku akan selalu mencintaimu, okay? Oh, kalau kamu nggak sanggup menghabiskan donat itu, kamu bisa membaginya dengan anak-anak panti asuhan, kok. Ntar aku bisa beli balonnya sekalian."

Mata Anne langsung terbelalak begitu kata panti asuhan dan balon disebut Ben.

"Jadi ... kamu tahu soal anak-anak panti?" tanya Anne penuh curiga. Bahkan ia tak pernah cerita soal kegiatannya mengunjungi panti asuhan dan berbagi sedikit makanan dengan mereka pada siapapun, termasuk pada ibu atau ayahnya. Tapi bagaimana Ben bisa tahu?

"Begitulah," Ben mengangguk penuh kepercayaan diri. Ia merasa senang melihat wajah Anne yang berubah merah merona, malu tiada terkira.

"Kamu mengintipku selama ini?"

Lagi-lagi kepala Ben mengangguk.

"Cuma sekali aja, kok."

"Ben!" Anne meninju pundak Ben untuk melampiaskan rasa malu serta kesal yang menyerbu dirinya bertubi-tubi. Ia merasa seperti orang bodoh seketika. Karena ulah Ben.

Ben terbahak dengan keras melihat tingkah gadisnya. Lama-lama Anne semakin menggemaskan saja.

"Lalu apa lagi yang kamu ketahui tentangku?" desak Anne masih dengan wajah ditekuk.

"Nggak ada." Cowok itu menggeleng sekadar meyakinkan Anne.

"Benarkah?"

"Iya, Sayang ..."

Telinga Anne mendadak merah demi mendengar panggilan barunya. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa senang sekali dan ingin menjerit kegirangan saat itu juga. Tapi, ia tak mungkin melakukannya di depan Ben kan?

"Kamu malu?" tegur Ben.

Anne hanya mengerjapkan kedua matanya tanpa memberi jawaban pasti. Gadis itu sedikit menundukkan pandangannya dari wajah Ben. Bagaimana ia tidak jatuh hati pada sosok Ben yang terlalu memikat untuk dilewatkan begitu saja?

"Kenapa mesti malu?" Ben menderaikan tawa renyah melihat ekspresi gadis itu. "Aku merasa senang melihat kamu punya kegiatan sosial di luar sana. Bahkan aku mendukung apa yang kamu lakukan, Ne. Kapanpun kamu butuh sesuatu, aku selalu siap membantu kamu, kok."

"Aku sadar masih banyak hal yang bisa aku lakukan untuk orang lain, Ben."

"Itu bagus."

"Jadi ... kamu mempercayaiku sekarang?" tanya Anne.

"Percaya tentang apa?"

"Perasaanku."

Ben menggeleng cepat.

"Masih belum. Aku baru akan mempercayai perasaanmu setelah kita resmi menikah nanti," tandas Ben ringan.

Anne tersenyum kecil sembari menggeleng tak begitu kentara.

"Aku senang menjadi alasanmu tersenyum," ucap Ben begitu melihat seulas senyum terbit di bibir gadis itu. Sepertinya usaha dan perjuangan Ben tidak sia-sia. Perlahan namun pasti, gadis itu mulai menemukan keceriaan dalam dirinya. Berkat Ben.

"Aku bahagia kamu hadir dalam hidupku, Ben," sambung Anne.

"Aku juga."

"Thanks."

"For what?"

"For loving me."

Ben menyentil ujung hidung gadis itu dengan jenaka. Anne benar-benar dobel menggemaskan hari ini.

"Ben!" Gadis itu memekik kecil. Manja. Sedang Ben meledakkan tawa melihat gadisnya menekuk wajah.

"Kamu nggak sekalian bilang makasih untuk donat dan bunganya? Sorry, aku bohong soal diskon waktu itu," ungkap Ben jujur. Sebenarnya kalau urusan diskon biasanya toko kue memberikan potongan harga saat toko akan tutup. Atau mereka akan memberi penawaran spesial buy one get one saat hari-hari besar saja.

"Makasih untuk donat dan bunganya," ucap gadis itu akhirnya. "Apa kamu bahagia sekarang?"

"Sure."

"Tapi aku nggak bisa makan donat sebanyak itu, Ben. Bagaimana kalau kita pergi ke panti dan membagikan donat itu pada anak-anak?" usul Anne dengan wajah penuh pengharapan.

"As your wish. Tapi sebelum ke sana kamu harus makan dulu, okay? Ntar kita beli lagi donatnya," ucap Ben memerintah. Setidaknya Anne harus menambah minimal dua atau tiga kilo bobot tubuhnya. Yeah, agar ia tampil menawan saat memakai gaun pengantinnya nanti.

Anne mengangguk tanpa mengajukan protes. Gadis itu mulai melahap donatnya.

"Kamu nggak makan?" tegur Anne sembari mengawasi gerak gerik Ben yang sibuk dengan ponselnya. Pasti soal pekerjaan, tebak gadis itu.

"Aku nggak suka donat, Ne." Ben masih sempat menjawab pertanyaan gadis itu meski jari jemarinya sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponsel pintarnya.

"Terus kenapa kamu beli donat kalau kamu nggak suka?"

"Kan itu buat kamu." Ben memasukkan ponselnya ke saku kemeja dan menatap wajah Anne yang sedang bengong menatap keluar butik. Donat di dalam genggamannya bahkan belum habis separuh. "Cepat habiskan makananmu, Sayang. Bukannya kita mau pergi ke panti setelah ini?"

"Tapi sepertinya kamu sangat sibuk," tandas Anne sembari menatap nanar ke arah saku kemeja Ben. Di mana ponsel milik cowok itu bersarang. Di dalamnya pasti ada banyak notifikasi dari rekan bisnis, jadwal rapat, atau apapun yang berhubungan dengan pekerjaan. Dan Anne sama sekali tak mau mengganggu kegiatan Ben.

"Nggak. Aku nggak sibuk," kilah Ben sembari menggeleng kuat-kuat. "Oh, soal itu? Aku tadi barusan bilang sama Mama untuk mempercepat rencana pernikahan kita. Kamu senang kan?" Cowok itu seakan bisa membaca segenap kegelisahan yang tertulis di pikiran Anne.

Anne tercekat.

"Tapi kamu belum bilang ..."

"Memangnya kenapa? Kamu nggak mau menikah denganku?"

"Bukan itu, Ben."

"Ne," Ben mencekal kedua pangkal lengan gadis itu dan menatap kedua telaga sayunya. "tugasmu sekarang adalah bilang iya dan kedua orang tua kita yang akan mengatur semuanya, okay?"

Anne mengerjap beberapa kali dengan bibir terkunci rapat. Menikah? batinnya mulai gamang.

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang