Chapter 13

14.2K 222 0
                                    

"Bro!"

Ben berteriak sekuat tenaga memanggil Yongki yang tengah berlari beberapa meter di depan. Sementara yang dipanggil seketika menoleh lalu melambatkan laju sepatunya demi mengetahui siapa gerangan yang sudah berteriak sedemikian keras.

"Hei, Bro!" balas Yongki sembari melambaikan tangannya ke udara. Cowok itu memutuskan untuk berhenti berlari dan menunggu Ben yang sedang berusaha mendekat ke tempatnya berdiri sekarang. "Apa kabar, Bro?" tegur Yongki setelah Ben sampai di depan tubuhnya. Cowok itu terlihat ngos-ngosan.

"Baik, Bro," sahut Ben sembari mengatur pernapasan.

"Kok, kelihatan lemes gitu? Ada masalah?" Yongki mengamati wajah sahabatnya yang terlihat tak secerah biasanya.

"Nothing."

Mereka berjalan beriringan menyusuri jalanan di taman komplek yang tak begitu ramai. Hari ini bukan hari libur, jadi hanya beberapa gelintir penghuni komplek perumahan yang melakukan olahraga pagi. Cuaca cerah hari ini. Langit tampak kebiru-biruan dihiasi gumpalan-gumpalan awan putih bersih di beberapa sudut, seperti buih-buih sabun yang mengambang di angkasa. Sinar matahari terasa hangat dan sarat dengan vitamin D.

"Aku akan mulai bekerja hari ini," beritahu Ben memulai percakapan mengisi kekosongan saat mereka berjalan.

"Bagus dong!" timpal Yongki bersemangat. "Jadi, nggak sia-sia kamu kuliah di luar negeri." Ia menepuk-nepuk pundak Ben lantas terbahak cukup keras.

Ben hanya tersenyum kecil.

"Sebenarnya aku ingin ngajak kamu mancing kapan-kapan," ucap Yongki sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sepi. "Tapi, aku nggak yakin kamu punya waktu setelah ini. Kamu pasti sangat sibuk."

"Memancing keributan? Aku nggak mau, Bro," tukas Ben lalu meledakkan tawa renyahnya.

"Ugh, dasar!" olok Yongki sewot. Cowok itu menekuk mukanya karena sebal.

"Okay," sahut Ben akhirnya karena tak tega mengecewakan sahabatnya. "Aku akan usahakan, tapi aku nggak janji, lho."

"Kalau nggak bisa bilang aja nggak bisa," timpal Yongki terlanjur putus asa.

"Duuhh ... ngambek ya?" goda Ben sambil menyikut perut sahabatnya.

Buk!

Ben mengerang kesakitan ketika tiba-tiba Yongki menimpuk pundaknya sekuat tenaga.

"Galak banget, sih?" gerutu Ben sebal. Ternyata waktu yang berjalan dan mendewasakan mereka, tak serta merta bisa mengikis kebiasaan-kebiasaan buruk keduanya. Maksudnya soal kekerasan fisik.

"Jadi ... gimana dengan gadis itu?" tegur Yongki setelah puas menghukum Ben atas ledekan tak bermutunya.

"Gadis yang mana?" tanya Ben seolah hilang ingatan dalam hitungan detik. Padahal Yongki tadi menimpuk pundaknya, bukan kepala Ben. "Oh ... maksud kamu Anne?" Sejurus kemudian Ben baru paham maksud pertanyaan sahabatnya.

"Jadi, namanya Anne?" sambung Yongki setengah bergumam.

Ben mendesah berat. Ia baru ingat kalau belum memberitahukan nama gadis itu pada Yongki. Ben terdiam sebentar untuk berpikir darimana ia harus memulai ceritanya tentang Anne.

"Sebenarnya agak susah untuk dijelaskan. But I love her."

"Hoho ..." Yongki berdecak takjub mendengar pengakuan jujur sahabatnya. Cowok itu sampai-sampai ternganga beberapa detik lamanya. "Akhirnya kamu bisa jatuh cinta juga, Ben," ledek Yongki sambil meledakkan tawa kecil.

"Tapi hubungan kami agak rumit," ungkap Ben tak memedulikan tawa yang keluar dari bibir Yongki.

"Maksud kamu?" Yongki menghentikan tawanya. Seketika ia merasa keheranan mendengar pernyataan Ben yang membingungkan. Serumit apa memangnya?

"Anne punya masa lalu yang menyedihkan," tutur Ben memulai sesi curhatnya. "Kekasihnya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat dan tragisnya jasadnya nggak pernah ditemukan."

"Oh, malang sekali," komen Yongki spontan padahal Ben masih belum menyelesaikan ceritanya.

"Makanya Anne belum bisa move on sampai sekarang," tandas Ben melanjutkan curhatnya. Ia sengaja melewatkan bagian terburuk dari kisah itu, saat Anne dilarikan ke rumah sakit karena percobaan bunuh diri. Juga tentang keyakinan Anne bahwa Niel masih hidup di suatu tempat dan sedang menunggu tim penyelamat datang. "Dia menutup pintu hatinya rapat-rapat, Bro." Cowok itu tidak membeberkan semuanya di depan Yongki karena akan sangat menyita waktu. Lagipula Ben tidak suka jika orang lain tahu tentang calon istrinya terlalu mendalam.

"Wajar kalau dia belum bisa move on, Bro. Kehilangan orang yang dicintai pasti sangat menyakitkan. Anne cuma butuh waktu untuk terbiasa dengan kehilangan yang dialaminya," ujar Yongki memaklumi apa yang dialami Anne. "Sekarang yang kamu harus lakukan adalah membuka gembok hatinya, Bro." Yongki melontarkan ide terbaiknya.

Ben mengerutkan kening mendengar saran sahabatnya.

"Caranya?"

"Kamu harus punya kunci pintu hati gadis itu, Bro. Lakukan pendekatan secara intens padanya. Lama-lama dia akan terbiasa dengan kehadiran kamu."

"Kalau nggak berhasil?" Rasanya Ben sudah melakukan hal itu, tapi belum menampakkan hasil. Atau mungkin terlalu dini untuk menilai keberhasilan usahanya karena durasi perkenalan mereka masih seminggu. Entah kalau pendekatan itu dilakukan selama setahun atau dua tahun.

"Dobrak dengan paksa pintu itu," saran Yongki ngawur.

Ben terkekeh pelan mendengar ide konyol sahabatnya.

"Itu pintu hati, Bro. Bukan pintu kamar," celutuk Ben.

"Pokoknya buat dia jatuh cinta sama kamu, Bro. Apa gunanya punya wajah tampan kalau nggak bisa menaklukkan hati seorang gadis? Bener nggak?"

"Enak aja kalau ngomong," maki Ben kesal, tapi tak digubris sama sekali oleh Yongki.

"Pada dasarnya hati wanita itu sama, Bro. Mereka lemah, rapuh, dan perlu sandaran."

"Masa, sih?" gumam Ben setengah tak percaya. Karena Mamanya sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda rapuh atau lemah. Kalau butuh sandaran memang benar. Mama butuh Papa sebagai sandaran hidup, terutama soal ekonomi.

"Kamu ini dibilangin nggak percaya banget, sih?" Yongki mengibaskan tangannya didepan wajah Ben. "Anne juga sama dengan wanita-wanita lain di dunia ini, Bro. Dia lemah dan rapuh. Dia kesepian. Makanya saat ia ditinggalkan seseorang yang dia cintai, dia merasa hampa karena nggak ada tempat untuk bersandar. Ada ruang kosong di dalam hatinya yang ditinggalkan kekasihnya itu. Dan tugas kamu adalah masuk ke dalam hati Anne, Bro. Kamu harus mengisi kekosongan itu dengan menggantikan posisi kekasih Anne yang udah meninggal. Kamu paham, kan?"

Ben tersenyum kecil usai Yongki mengoceh panjang lebar dan sok bijak.

"Tumben kamu pinter hari ini," puji Ben.

"Itu pujian atau sindiran?" Yongki melipat kedua lengannya di depan dada sambil mendelik tajam ke arah Ben. "Sebaiknya kamu mentraktirku secangkir kopi setelah ini. Gimana?"

"Boleh." Ben langsung menyatakan persetujuannya tanpa berpikir dua kali. Kalimat-kalimat Yongki memang cukup mengena di hati Ben. Dan secangkir kopi rasanya impas untuk semua itu

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang